Krishna Murti lahir pada 15 Januari 1970, ia kini menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Nama Krishna mencuat dalam penanganan sejumlah kasus besar di Jakarta, antara lain: Pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Bom Sarinah, hingga Penertiban Kalijodo.
Terlibat Konflik di Yaman
Tegangnya konflik di Yaman dan dahsyatnya gempa Nepal masih teringat di benak kepala. Guna melindungi WNI yang ada di 2 negara itu, pemerintah pun langsung membentuk tim khusus untuk mengevakuasi WNI yang ada di Yaman dan Nepal.
Sejumlah petugas kepolisian yang tergabung dalam Divisi Hubungan Internasional (Divhubinter) Polri diberangkatkan ke Yaman dan Nepal awal 2015 lalu. Satu di antaranya adalah Direktur Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti.
Saat ditugaskan ke Yaman, Krishna saat itu masih berdinas sebagai analis kebijakan Divhubinter. Dia kemudian ditunjuk sebagai Kepala Satgas Polri untuk membantu percepatan evakuasi WNI di Yaman dan Nepal.
Atas pengabdiannya itu, Krishna dianugerahi penghargaan yang diberikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Tahan Jessica di Kasus Kopi Maut
Dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin,Krishna Murti memutuskan untuk menahan dan menetapkan Jessica Wongso Kumolo sebagai tersangka. Ia mengatakan keputusan untuk menahan Jessica berdasarkan pertimbangan yang cukup matang.
Hal ini, menurut Krishna, berdasarkan atas peristiwa-peristiwa sebelumnya, di antaranya, karena kekhawatiran melarikan diri dan mengulangi perbuatan menghilangkan alat bukti.
Krishna mengatakan, sebelum memutuskan untuk menahan Jessica, pihaknya telah melakukan pemeriksaan intensif sejak pagi hingga malam ini pukul 21.15 WIB.
Dalam pemeriksaan tersebut, ditemukan adanya kejanggalan dan ketidaksesuaian keterangan yang disampaikan Jessica saat masih berstatus saksi dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
Membuat Buku "Geger Kalijodo"
September 2001, saat itu Krishna menjabat sebagai Kapolsek Metro Penjaringan. Sementara Sari melarikan diri dari sebuah bar, di Jalan Kepanduan, kawasan Gang Kambing, Kelurahan Pejagalan.
"Dalam kondisi sakit, dia melaporkan perlakuan biadab yang juga menimpa 16 kawannya yang masih disekap di Bar Cempaka milik Iskandar," tulis Krishna
Pada awalnya, petugas piket yang menerima laporan Sari sempat meremehkan kasus di Kalijodo tersebut.
"Sari mengaku harus berjuang keras untuk bisa lolos dari bar itu. Berbagai usaha dia lakukan untuk bisa keluar dari cengkraman muncikari dan tukang pukul yang selalu mengawasi gerak geriknya," cerita Krishna.
Sari dan kawan-kawannya datang dari berbagai daerah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Namun sesampainya di Ibu Kota, gadis-gadis asal Cirebon, Garut, Tasikmalaya itu malah bertemu para anggota sindikat perdagangan orang.
Di Stasiun Senen dan Terminal Kampung Rambutan para anggota sindikat itu membujuk mereka untuk membantu mencarikan pekerjaan. Jika para wanita tersebut menolak, mereka diancam bakal disekap di rumah-rumah kos milik pelaku.
"Setelah kami menelusuri kasus ini, ternyata para tersangka memang dijebak oleh kelompok sindikat. Dari pengakuan Sari yang dikuatkan keterangan kawan-kawannya setelah kami menggerebek bar tersebut."
Kartu Kredit Dibobol di Amerika Serikat
Direktur Kriminal Umum Polda Metro Kombes Pol Krishna Murti pun punya kenangan pahit jadi korban skimming. Ia bercerita kejadian ini terjadi saat dirinya tugas ke luar negeri, tepatnya ke New York, Amerika Serikat.
Saat itu, Krishna sedang jalan-jalan dan membeli barang di pusat perbelanjaan Venice. Ia tidak membayar secara tunai namun dengan menggesekkan kartu kreditnya.
"Nah saya tidak tahu di situ kartu kredit saya di-skim," kata Krishna
Buat Populer 'Turn Back Crime'
Tak bisa dipungkiri, fenomena 'Turn Back Crime' di Indonesia, khususnya di Jakarta begitu cepat merebak. Kehadiran polisi berseragam Polo biru dongker itu, semakin gencar setelah peristiwa bom Thamrin.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti pun buka-bukaan, soal awal mula Turn Back Crime muncul di institusi yang dipimpinnya.
Pria yang disebut sebagai pelopor Turn Back Crime itu mengakui, setiap polisi memiliki latar belakang berbeda, tidak semua mengerti soal tata cara berbusana.
Begitu masuk ke Polda Metro Jaya, Krishna langsung menularkan ilmu fashion sebagai anggota kepolisian. Ditambah dengan pengalamannya 6 tahun bertugas di luar negeri.
"Polisi kan beda-beda. Kadang enggak paham fashion, kamsupay (kampungan). Akhirnya, pelan-pelan kita bina dengan pengalaman saya 6 tahun di luar negeri," ungkap dia.