Seseorang dengan Covid-19 dapat menularkan virus dalam waktu 48 hingga 72 jam sebelum muncul gejala.
Informasi Umum
Nama PenyakitSevere acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja, baik bayi, anak-anak, orang dewasa, lansia, ibu hamil, maupun ibu menyusui.

Berikut ini beberapa fakta yang perlu diketahui oleh orang yang kemungkinan tertular Covid-19, atau memiliki keluarga yang dinyatakan positif.

Cara Mengetahui Tertular Covid-19

Covid-19 sering menyebabkan gejala yang mirip dengan yang dialami orang yang sedang demam parah atau flu. Dan seperti flu, gejalanya bisa berkembang dan mengancam jiwa.

Kamu harus curiga sudah tertular Covid-19 jika demam disertai gejala pernapasan (sesak napas) dan Kamu sebelumnya melakukan kontak dengan seseorang yang diduga menderita Covid-19, atau tinggal di daerah “merah”, atau baru pulang dari keramaian. Gejala lain juga bisa menimpa saluran pencernaan atau hilangnya penciuman. 

"Bahkan selain di pernapasan, Covid-19 juga bisa menyebabkan gejala gangguan pencernaan seperti diare. Namun, ketika kita tiba-tiba kehilangan penciuman dan rasa makanan di lidah, maka bisa dipastikan 100% itu adalah Covid-19. Karena tidak ada penyakit dengan gejala khas seperti itu," jelas dr. jaka.

Tes Paling Akurat untuk Mendiagnosis Covid-19

Tes diagnostik khusus harus dilakukan untuk memastikan bahwa Kamu benar-benar terinfeksi virus korona. Dijelaskan dr. Dirga, tes yang saat ini paling akurat adalah tes swab atau PCR. Ini adalah tes yang mengambil sampel dari hidung dan tenggorokan. Sampel kemudian diperiksa untuk dicari materi genetik virus atau protein virus tertentu (tes antigen).

Bagaimana dengan tes antibodi atau rapid test, apakah tidak akurat? “Tes antibodi dapat mengetahui apakah seseorang telah terinfeksi COVID-19. Dan tidak selalu yang terinfeksi bisa terdeteksi oleh tes ini. Mengapa? Hal ini karena orang yang terinfeksi tidak langsung memproduksi antibodi. Diperlukan waktu selama tiga minggu sampai tes antibodi darah menjadi positif. Itulah mengapa tes antibodi ini tidak berguna sebagai tes diagnostik untuk seseorang yang baru mengalami gejala,” jelas dr. Dirga.

Dr. Adam menambahkan, tes antibodi juga bisa saja terlambat. Artinya, hasilnya memberikan negatif palsu. Ada kemungkinan negatif palsu, padahal sebenarnya sudah terinfeksi namun belum terbentuk antibodi. Namun, orang ini sudah bisa menularkan penyakitnya.

Reinfeksi Covid-19

WHO sudah mengonfirmasi bahwa belum ditemukan kasus orang yang terinfeksi kembali setelah dinyatakan sembuh dari COVID-19. Satu-satunya kasus reinfeksi adalah pada 1 pasien di Hongkong belum lama ini.

Dijelaskan dr. Jaka, yang dimaksud dengan reinfeksi adalah orang yang pernah terinfeksi Covid-19 dan kemudian terinfeksi kembali namun dengan jenis virus berbeda. Umumnya gejalanya lebih ringan. 

Sementara menurut dr. Dirga, “Orang yang sudah dinyatakan sembuh dari COVID-19 namun hasil pemeriksaan PCR masih positif tidak berarti ia terinfeksi kembali. Kemungkinan sisa-sisa virus yang sudah tidak aktif dan tidak lagi infeksius masih terdeteksi,” jelasnya.

Kebanyakan orang yang sudah terinfeksi virus COVID-19 menghasilkan antibodi, yaitu protein yang mempersulit virus untuk menginfeksi sel. Tetapi antibodi hanyalah salah satu bagian dari respon imun tubuh. Sel T, misalnya, dapat menghancurkan sel yang sudah terinfeksi. Dan sel B memori dapat dengan cepat menghasilkan respons antibodi yang kuat terhadap virus yang pernah ditemui tubuh sebelumnya.

Tingkat antibodi biasanya turun begitu ancaman infeksi menurun. Beberapa penelitian baru menemukan bahwa tingkat antibodi COVID-19 menurun, tetapi kemudian menjadi stabil dan tetap berada di dalam darah bahkan dua hingga tiga bulan setelah infeksi.

Studi terbaru lainnya menemukan sel B dan sel T khusus COVID dalam darah, beberapa bulan setelah orang pulih. Ini semua menunjukkan bahwa sistem kekebalan akan siap untuk bereaksi dengan cepat dan kuat jika kembali terpapar virus COVID-19. Meskipun begitu, penelitian belum bisa memastikan seberapa baik respons imun akan melindungi dan memberikan kekebalan.