Kiprah PSIM Yogyakarta
PSIM Yogyakarta tidak bisa dikesampingkan dalam perkembangan sepak bola di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. PSIM merupakan pionir bagi persepakbolaan di wilayah kerajaan Mataram.
Nama PSIM Yogyakarta begitu melegenda sebagai klub besar dan penuh sejarah di DIY. Sejarah terbentuknya PSIM dimulai pada 5 September 1929 dengan lahirnya organisasi sepak bola yang diberi nama Perserikatan Sepak Raga Mataram atau disingkat PSM.
Nama Mataram berasal dari keberadaan Yogyakarta yang merupakan pusat kerajaan Mataram. PSM kemudian berubah menjadi PSIM yang merupakan singkatan dari Perserikatan Sepak Bola Indonesia Mataram, yang bertahan sampai saat ini.
PSIM menjadi identitas kekuatan sepak bola di DIY, jauh sebelum lahirnya tim-tim di wilayah sekitarnya seperti Persiba Bantul dan PSS Sleman. Dengan warna kebesaran biru, PSIM pernah menjadi kekuatan besar sepak bola Indonesia, terutama saat kompetisi era perserikatan.
Tim yang berjuluk Laskar Mataram dan Naga Jawa ini mengalami periode naik turun. Persoalan klasik tim era perserikatan yang berkaitan dengan pendanaan, membuat PSIM lebih lama berada di kasta kedua, meski perjuangan kembali ke masa kejayaan nyaris berhasil.
Berikut rangkuman kiprah PSIM Yogyakarta, tim yang menjadi legenda di tlatah Mataram, dengan terus berjuang bisa sejajar dengan tim-tim terbaik di negeri ini.
Embrio Lahirnya PSSI
Keberadaan PSIM tak bisa dipisahkan dari lahirnya organisasi sepak bola Indonesia yakni PSSI pada 1930. Satu tahun setelah PSIM terbentuk, PSSI lahir di Yogyakarta, yang ikut diinisiasi oleh enam tim legendaris lainnya, yaitu Persija Jakarta, Persis Solo, Persib Bandung, PSM Madiun, PPSM Magelang, dan Persebaya Surabaya.
Dicetuskannya PSSI tak lepas dari pertemuan yang digelar di Yogyakarta pada waktu itu. Perwakilan dari tiap-tiap Bond atau klub sepak bola di masa itu menyumbangkan gagasan dan ide hingga lahirnya PSSI, yang pertama kali dipimpin Soeratin Sosrosugondo.
Sebagai buktinya monumen PSSI atau dikenal juga dengan wisma Soeratin masih berdiri kokoh di Jalan Mawar Kota Yogyakarta, hanya beberapa meter dari Stadion Mandala Krida. Bangunan yang penuh sejarah, sebagai saksi biksu lahirnya PSSI.
PSIM sebagai sebuah warisan bersejarah, menjadi hal yang membanggakan terutama bagi wilayah Kota Yogyakarta. Slogan Tansah Bungah Marang Warisane Simbah, selalu menjadi semboyan bagi jiwa muda di Kota Gudeg akan keberadaan PSIM.
Slogan yang mengandung arti selalu bangga dan gembira dengan apa yang sudah diwariskan pendahulu. PSIM yang penuh sejarah selayaknya wajib dijaga dan diirawat oleh para penerusnya, baik pemerintah daerah, manajemen klub, skuad, hingga para pendukungnya.
Torehan Prestasi
PSIM sudah eksis saat kompetisi sepak bola Indonesia untuk pertama kalinya bergulir pada era 1930-an. Dengan format kompetisi masih bernama Perserikatan, PSIM pernah mencicipi gelar juara pada edisi 1932.
PSIM mengungguli Persija Jakarta pada laga final. Sekaligus menjadi satu-satunya gelar juara yang pernah direngkuh oleh PSIM pada era perserikatan.
Setelah itu PSIM lebih sering menempati peringkat kedua atau runner-up, seperti pada 1939, 1940, 1941, 1943, dan musim 1948. Beranjak ke kompetisi Liga Indonesia sampai era saat ini, PSIM sempet menyegel juara Divisi I pada 2005.
PSIM juga tak kalah haus gelar juara untuk kasta kedua. Beberapa diantaranya pernah menjadi runner-up Divisi I tahun 1985, 1987, dan 1992. Deretan prestasi yang sangat membanggakan bagi pemerhati sepak bola di Kota Yogyakarta khususnya pendukung PSIM.
Alami Pasang Surut
Sempat begitu digdaya pada awal persepakbolaan Indonesia, PSIM lambat laun mengalami fase naik turun. Pada medio 1970-an, PSIM belum bisa bicara di level kompetisi utama atau kasta tertinggi.
Kemudian saat era Ligina pada 1994, prestasi PSIM mengalami pasang surut. PSIM juga pernah mengalami degradasi pada Liga Indonesia 1994-1995 dan promosi dua tahun kemudian.
Setelah bertanding selama tiga musim di Divisi Utama, PSIM kembali harus terdegradasi ke Divisi I pada musim kompetisi 1999-2000 atau saat kompetisi bernama Liga Bank Mandiri edisi pertama. Empat tahun PSIM berjuang di Divisi I sampai akhirnya naik lagi pada 2005.
Kebijakan PSSI menggabungkan format satu wilayah menjadi ISL pada 2008 membuat PSIM gagal melaju dan terpaksa kembali ke Divisi Utama. Perjuangan tim pujaan Brajamusti dan Mataram Independent ini pun terus dilakukan hingga saat ini.
Prestasi PSIM sempat digeser oleh tim-tim tetangga seperti Persiba Bantul yang mampu menjuarai Divisi Utama pada 2010. Saudara mudanya PSS Sleman dua tahun lalu menyegel juara Liga 2. Kini kiprah manis PSIM sudah sangat dinantikan oleh publik sepak bola di Yogyakarta.
Punya Suporter Loyal
Kiprah PSIM dalam mengarungi kompetisi juga tidak bisa dipisahkan dengan para penggemarnya. Fanatisme dua kelompok suporternya yakni Brajamusti dan Maident tak perlu diragukan lagi untuk PSIM.
Mereka dikenal sebagai satu di antara suporter dengan masa yang terbesar di DIY. Jika PSIM bermain di kandang sendiri, sudah dipastikan Stadion Mandala Krida atau Stadion Sultan Agung Bantul yang pernah menjadi markas, bakal penuh sesak.
Tidak hanya saat tampil di kandang, kedua kelompok suporter tersebut tidak jarang ikut menemani perjuangan PSIM di kandang lawan. Baik Brajamusti dan Maident dikenal dengan nyanyian lantang sebagai teror untuk meruntuhkan mental pemain lawan.
Musim 2019 sebenarnya menjadi waktu yang sangat tepat bagi PSIM untuk bangun dari tidur panjangnya. Mereka baru lepas keterpurukan, termasuk hukuman dari PSSI berupa pemotongan poin dalam keikutsertaan di kompetisi di musim 2017.
Dengan memiliki pemain-pemain lokal dan potensial, nyatanya PSIM mampu memainkan permainan berkarakter ngeyel khas Yogyakarta. Pada musim 2017 PSIM tampil menawan, bahkan mereka bisa menembus babak delapan besar jika tidak dikurangi poinnya sejak awal musim.
Puncaknya ada pada ahun 2019, PSIM mengundang perhatian khusus dari pengusaha besar asal Semarang, Bambang Susanto. Ia menggelontorkan dana besar untuk proyek kebangkitan PSIM.
Stadion Mandala Krida yang baru saja direnovasi menjadi cantik dan mewah. Ditambah ribuan penggemar PSIM dari berbagai sudut Yogyakarta yang sangat antusias melihat tim kesayangannya bangkit lagi.
Benar saja sederet pemain berkualitas didatangkan. Seperti Aditya Putra Dewa, Ichsan Pratama, hingga Cristian Gonzales hadir untuk PSIM. Bahkan di paruh musim merkea menambah kekuatan dengan kedatangan pelatih Aji Santoso dan pemain muda semacam Sutanto Tan dan Witan Sulaeman.
Sayangnya perjalanan tak semulus harapan. PSIM yang tangguh di paruh pertama kompetisi, melempem di putaran kedua. Puncaknya adalah saat tumbang dari rival abadinya Persis Solo di kandang sendiri yang cukup mencoreng karena berujung kerusuhan penonton.
Harapan baru terus didengungkan untuk PSIM termasuk di musim 2020. Sebagian pemain lokal masih dipertahankan, hingga sukses mendatangkan pelatih sekaliber Seto Nurdiyantoro yang tidak diperpanjang di PSS Sleman.
Sayangnya perjalan kompetisi Liga 2 musim 2020 hanya berjalan satu pekan. Pandemi COVID-19 membuat kompetisi harus terhenti dan ditangguhkan sejak pertengahan Maret lalu. Patut ditunggu kiprah klub legendaris dari tanah Mataram ini dalam menghadirkan sederet prestasi.