Kemenkop Apresiasi Startup Moka Dukung Digitalisasi UMKM

Kontribusi UMKM dari lapangan pekerjaan di Indonesia mencapai 96 persen.

oleh Tira Santia diperbarui 30 Jan 2020, 19:30 WIB
Diterbitkan 30 Jan 2020, 19:30 WIB
Penemu Kursi Akupuntur dari Indonesia itu Kini Mendunia
Leonard Theosabrata adalah seorang pemuda jenius penemu Kursi Akupuntur.

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama Lembaga Layanan Pemasaran KUKM (Smesco), Leonard Theosabrata, apresiasi Moka sebagai startup penyedia layanan kasir digital, yang mendukung untuk mendorong Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk naik kelas, dengan memanfaatkan teknologi.

“Kita tepuk tangan untuk Moka, kan kalau kita lihat Moka sudah berkontribusi sebesar Rp21,6 triliun transaksi, dalam perekonomian Indonesia,” kata Leonard dalam acara A Cup of Moka 2020: Menggerakkan Digitalisasi untuk Memajukan UKM Berkelanjutan di Indonesia, di XXI Lounge Plaza Senayan, Jakarta, Kamis (30/1/2020).

Begitu pun dengan Kementerian Koperasi dan UKM, yang sedang gencar melakukan upaya besar untuk bisa memajukan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Jika dilihat dari data yang diperoleh dari kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM dari lapangan pekerjaan di Indonesia mencapai 96 persen. Maka, hal tersebut menjadi tantangan bagaimana pihaknya bisa mengangkat pelaku UMKM naik kelas.

“Kalau dilihat-lihat tadi 90 persen lebih masih dalam skala mikro, so how we do this? Bagaimana kita bisa mengangkat mereka dari kecil menjadi menengah, yang menengah kalau bisa menjadi besar,” kata dia.

Ia mengungkapkan, bahwa sebetulnya banyak sekali upaya yang dilakukan oleh kementrian koperasi dan UKM, salah satunya dengan mengaktifkan kembali Small and Medium Enterprise and Cooperatives (SMESCO) Indonesia.

“Saya kebetulan dipercaya untuk memimpin SMESCO, memang pengalaman saya dulu juga memang selalu bersentuhan dengan UKM, dari mulai sebelumnya saya juga bekerja yang berhubungan dengan kegiatan UKM,” ujarnya.

Sementara itu, ia juga mengatakan memang masalah yang berkaitan dengan UKM itu selalu klasik. Maksudnya, susahnya menaikkan UKM naik kelas, masalah bukan hanya pada pihak pemerintah saja, melainkan juga masalah yang paling utama yakni, pelaku UKM sendirilah yang sulit untuk naik kelas.

“Problem-nya selalu klasik, UKM yang sulit untuk naik kelas. Memang sekarang sedang mempopulerkan hastag koperasi modern dan juga UMKM naik kelas. Saya rasa juga banyak stigma dibalik koperasi dan UMKM, mungkin kalau nanti kita bisa bentuk koperasi modern itu menjadi salah satu strategi yang mau kita lakukan, kemungkinan besar koperasi ini akan naik kelas.,” ungkapnya.

Selain masalah yang berada di pihak UMKM-ny sendiri, masyaraat juga perlu untuk mengubah stigma atau pikiran meremehkan kepada UMKM. Melainkan, harus dilihat bahwa upaya pemerintah untuk UMKM naik kelas itu sedang dalam proses. Seperti salah satunya, dengan mewujudkan koperasi modern.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


UMKM Naik Kelas

Halal Park Senayan
Pengunjung melihat produk UMKM dari Rumah Kreatif BUMN (RKB) binaan BNI saat Launching Halal Park di Senayan Jakarta, Selasa (16/4). Halal Park yang akan bertransformasi menjadi Halal Distrik didesain menjadi ekosistem bagi pelaku industri gaya hidup halal di Tanah Air. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut Leonard bukan hanya pemerintah saja yang melakukan upaya untuk mendorong UMKM naik kelas, melainkan perlu dukungan dari semua pihak, yakni pelaku UMKM, pemerintah, dan masyarakat. Tanpa masyarakat yang mendukung dan membeli produk UMKM maka UMKM sulit untuk berkembang.

“Tugas kita semua untuk mengangkat yang mikro, pemerintah tidak bisa mengangkat itu pemerintah butuh bantuan kita semua,” ujarnya.

Sangat perlu untuk mengubah stigma masyarakat terhadap UMKM dan koperasi. Leonard menegaskan, bahwa seharusnya negara Indonesia mengembangkan terus koperasi, bukannya gagal.

Meskipun dahulu koperasi dipandang hanya untuk simpan pinjam saja, dan masyarakat berpikir sistem koperasi itu kuno, kementrian koperasi dan UKM akan mengubah stigma tersebut.

Padahal di negara maju, banyak koperasi yang berhasil dan pelaku-pelakunya menjadi konglomerat. Karena koperasi di luar negeri tidak hanya menerapkan sistem simpan pinjam uang saja, melainkan membuat sistem koperasi produksi. Misalnya koperasi produksi susu sapi.

“Jadi image daripada koperasi di Indonesia itu gagal, padahal justru di negara seperti kita ini sangat-sangat perlu koperasi. Kalau di luar negeri itu banyak koperasi, koperasi di sana itu sudah jadi konglomerat. Ada koperasi susu yang jadi konglomerat, dan koperasi dalam bentuk lainnya. Sedangkan di negara kita justru koperasi banyak yang gagal, karena sebagian besar adalah koperasi simpan pinjam,” ungkapnya.

Serta koperasi dalam bentuk basis produksi di Indonesia sangat jarang, maka dari itulah pihaknya mengajak masyarakat, dan khususnya entrepreneur muda untuk mendukung upaya yang dilakukan pemerintah.

“Sangat jarang koperasi yang berbentuk berbasis produksi jadi kita ingin mengajak teman-teman terutama di entrepreneur muda, mungkin salah satu bentuk upaya upaya skilling up dan fast yaitu dengan membentuk sebuah koperasi. Nah, koperasinya ini bentuknya harus baru, of course kita sebagai generasi milenial tentu tidak mau Koperasi koperasi zaman dulu ya,” ujarnya.

Maka dari itu, pihaknya berencana akan membuat sebuah “Pallet Project” untuk mewadahi koperasi baru. Ia pun berharap rencan tersebut bisa terwujud dengan baik dan berhasil.

“Nanti juga kita akan membentuk sebuah pallet project, di mana kopasi baru ini akan terlihat bentuknya seperti apa, mudah-mudahan bisa berhasil dan mungkin nanti inisiatif-inisiatif yang kita bangun akan kita kelola sampai high level, Why not?,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya