RUU Daerah Kepulauan Perkecil Disparitas Pembangunan

Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan atau RUU Daerah Kepulauan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Okt 2022, 22:30 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2022, 21:46 WIB
Arsitek Inggris Berencana Bangun Resor Terapung Mewah dari Plastik Laut
Ilustrasi gambar pulau (dok Julius_Silver/pixabay.com)

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan atau RUU Daerah Kepulauan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Namun demikian, hingga kuartal terakhir tahun ini belum terdengar tindak lanjut untuk membahas rancangan undang-undang tersebut. RUU Daerah Kepulauan ini merupakan usulan atau inisiatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sudah masuk parlemen sejak 2015, setelah sebelumnya berubah nama dari RUU Provinsi Kepulauan.

Ketua Badan Kerja Sama (BKS) Provinsi Kepulauan yang juga Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi mengatakan, tantangan dalam pengelolaan daerah kepulauan antara lain mendorong pembangunan di gugusan pulau, mengintensifkan konektivitas penduduk yang bermukim di gugusan pulau, penanganan laut yang umumnya 70-80 persen dari luas wilayah keseluruhan.

Ali Mazi mengatakan, sudah 17 tahun daerah provinsi kepulauan memperjuangkan RUU ini.

"Kami tidak meminta otonomi daerah, melainkan perlakuan yang sama antara daerah berciri kepulauan dengan daerah berdiri daratan," kata Ali Mazi dalam Focus Group Discussion RUU Daerah Kepulauan di Jakarta, dikutip Kamis (13/10/2022).

Ali Mazi menjelaskan, daerah kepulauan di Indonesia meliputi Daerah Tingkat I, yaitu Provinsi Maluku, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Ada pula Daerah Tingkat II, di antaranya Pemerintah Kota Batam, Bima, Ambon, Natuna, Biak Numfor, dan lainnya.

"Negara harus hadir untuk menopang kehidupan rakyat yang tinggal di gugusan pulau," ujarnya.

Dia mencontohkan, pembagian Dana Alokasi Umum atau (DAU) dari pemerintah pusat dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk.

Sementara faktanya, daerah berciri kepulauan memiliki perairan yang lebih luas ketimbang daratan dan jumlah penduduk lebih sedikit yang tersebar di pulau-pulau. "Kalau air pasang, berkurang daratan kami," tuturnya.

Sementara untuk mengelola wilayah laut, menurut Ali Mazi, pemerintah pusat sudah mengatur bahwa tidak ada lagi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan mengelola wilayah laut 0-12 mil dari garis pantai berada di tingkat provinsi, dan selebihnya dipegang oleh pemerintah pusat.

"Indonesia adalah poros maritim dunia dan berciri negara kepulauan. Tetapi masyarakat yang tinggal di kepulauan sangat menderita karena hanya berharap dari laut," kata Ali Mazi.

 

 

Potensi Daerah Kepulauan

Ilustrasi Keindahan Alam Indonesia
Keindahan Pulau Padar, Labuan Bajo. (Bola.com/Pixabay)

Padahal, potensi daerah kepulauan tidak kalah dengan daerah yang didominasi daratan.Wakil Ketua DPD RI Nono Sampono berharap pemerintah pusat dan fraksi-fraksi di DPR memperhatikan keberlanjutan pembahasan RUU Daerah Kepulauan.

"Presiden Joko Widodo dapat memberikan perhatian langsung. Dan setiap kali kami (pimpinan DPD) bertemu dengan presiden, kami selalu menyampaikan RUU ini," kata Nono Sampono. "Kalau presiden memberikan perhatian, terima kasih."

Nono melanjutkan, perjalanan RUU Daerah Kepulauan pada masa kerja DPR periode lalu lebih maju karena sudah terbentuk panitia khusus yang diketuai oleh Edison Betaubun dari Partai Golkar dan wakilnya Mercy Chriesty Barends dari PDIP.

"Ketika sudah di ujung kemudian masuk pembahasan dengan pemerintah, dari tujuh kementerian yang diutus, empat di antaranya tidak menyampaikan daftar inventarisasi masalah (DIM). Artinya, (pembahasan) tidak bisa berlanjut," katanya.

RUU Daerah Kepulauan, Nono menjelaskan, memiliki semangat untuk pemerataan pembangunan antara daerah berbasis daratan atau kontinental dengan daerah berbasis kepulauan atau perairan.

"RUU Daerah Kepulauan tidak meminta otonomi khusus, melainkan perlakuan khusus," ujarnya. "Kalau dibiarkan begini terus, akan menjadi persoalan tak berkesudahan," kata dia.

 

Ongkos Distribusi

Aneh tapi Nyata, Pulau-pulau Ini Bisa Muncul dan Hilang
(Foto: © Pexels/Pixabay) Ilustrasi pulau

Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Daerah Kepulauan dan Pesisir (Aspeksindo) Rokhmin Dahuri mengatakan, mahalnya ongkos distribusi dan biaya transportasi merupakan salah satu dampak dari kondisi daerah berciri kepulauan dibandingkan dengan daerah berciri daratan.

Hingga kini, menurut dia, biaya logistik dan transportasi di Indonesia menjadi yang tertinggi, yakni sekitar 25 persen. Padahal di negara lain, angkanya kurang dari 15 persen.

"Daerah kepulauan akan terus melarat kalau anggaran hanya dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan luas daratan," katanya.

Rokhmin menunjukkan akibat dari disparitas pembangunan yang jomplang ini. Pulau Jawa menopang 58 persen perekonomian nasional, padahal luasnya hanya 15 persen dari total wilayah Indonesia. Sementara daerah lain yang luasnya 85 persen, hanya berkontribusi sebesar 19,5 untuk perekonomian nasional.

Dia pun menukil cerita ketika Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Cina. Saat itu, Megawati bertanya kenapa Cina begitu agresif masuk ke perairan negara lain? Pemimpin Cina menyatakan, daratannya tak akan cukup untuk memberi makan bagi 1,4 miliar penduduk di negara itu.

Sebab itu, Rokhmin mengusulkan agar sejumlah provinsi lain yang juga memiliki pulau-pulau bergabung dalam Badan Kerja Sama Provinsi Daerah Kepulauan. Mereka adalah Aceh, Bengkulu, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat.

Kepala Badan Penghubung Provinsi NTT, Donald Isaac menyampaikan kondisi geografis di daerahnya. NTT memiliki 600 pulau dan yang berpenghuni sebanyak 44 pulau. Masyarakat yang tinggal di pulau-pulau terluar umumnya akan terisolasi selama empat bulan atau selama musim hujan.

"Biasanya sepanjang November sampai Januari angin amat kencang dan ketinggian ombak bisa mencapai enam meter," katanya. Akibatnya, bandara ditutup dan pelabuhan beroperasi sesuai kondisi cuaca. Kondisi ini membuat harga bahan pokok di pulau-pulau tersebut amat tinggi lantaran kendala distribusi.

Pada kesempatan yang sama, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Provinsi Maluku, Samuel E. Huwae mengatakan, salah satu penyebab timpangnya kondisi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat di daerah berciri kepulauan dengan penduduk di daerah berciri daratan adalah metode penghitungan dana transfer dari pemerintah pusat yang berbasis luas wilayah dan jumlah penduduk.

Di daerah berciri kepulauan, jumlah penduduknya memang lebih sedikit dan menempati daratan yang lebih sempit lantaran sebagian besar wilayahnya adalah perairan. "Kami adalah orang-orang yang gelisah dan terus berjuang demi mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah pusat untuk daerah kepulauan," kata Samuel.

Samuel menjelaskan, Provinsi Maluku memiliki 1.340 pulau dan 112 pulau di antaranya berpenghuni. Total wilayah Provinsi Maluku seluas 712.479,69 kilometer persegi dengan 54.185 kilometer persegi (7,6 persen) berupa daratan dan 658.294,69 kilometer persegi (92,4 persen) lautan. Adapun jumlah penduduknya sebanyak 1,88 juta jiwa. Dengan kondisi tersebut, pendapatan asli daerah sebesar Rp 500 miliar dan APBD Rp 4,15 triliun. Artinya, anggaran daerah masih sangat tergantung dari dana transfer pemerintah pusat. Sementara, dana transfer tersebut dihitung berdasarkan luas daratan dan jumlah penduduk yang sempit dan sedikit tadi.

Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Nur Kholis mengatakan, jumlah penduduk di delapan provinsi kepulauan itu sekitar 23 juta jiwa atau 8,37 persen dari jumlah penduduk di daerah non-kepulauan. "Jumlah penduduk di provinsi kepulauan meningkat sepanjang 2010-2021 dengan pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding nasional dan provinsi bukan kepulauan," katanya. "Sementara pembangunan masih bias daratan dan bias penduduk."

 

Problematika Penduduk

Ilustrasi Pulau Tropis
Ilustrasi Pulau Tropis (Foto : Akbar Muhibar/Liputan6.com)

Pernyataan senada disampaikan Asisten I Provinsi Nusa Tenggara Barat, Madani Makarim. Di NTB terdapat 403 pulau dengan status wilayah administratif di pulau-pulau kecil adalah dusun dan kecamatan. Problematika penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil itu adalah aksesibilitas, kerusakan ekosistem, seperti terumbu karang, mangrove, sampah, dan rawan bencana, abrasi pantai, kurangnya sarana pendidikan dan kesehatan, serta kurangnya sarana listrik dan air bersih.

Perihal kesehatan, Madani mencontohkan salah satu isu yang mengemuka di NTB adalah stunting. Dari sasaran riil stunting sebanyak 477.430 orang, yang terjangkau baru 81.015 orang atau 16,9 persen. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil, pemerintah Provinsi NTB membutuhkan penguatan fungsi posyandu, puskesmas, rumah sakit, serta fasilitas ambulans kapal laut. Dari sisi APBD, Madani menjelaskan, pendapatan asli daerah NTB masih rendah sekitar 34,41 persen.

"Artinya, kami masih sangat tergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat," ucapnya.

Sementara Sekretaris Daerah Provinsi Maluku Utara Syamsudin Abdul Kadir mengatakan, RUU Daerah Kepulauan perlu didorong supaya ada manajemen baru tentang pengelolaan kelautan dengan lebih baik demi pembangunan dan perekonomian di daerah. Maluku Utara merupakan daerah dengan wilayah perairan yang jauh lebih luas ketimbang daratan. Luas wilayah daratnya 31.982,50 kilometer persegi, sedangkan lautnya 113.818,60 kilometer persegi.

"Sejatinya tidak ada negara yang kaya atau miskin. Yang ada adalah negara yang di-manage dengan baik dan tidak di-manage dengan baik," ucapnya.

Para perwakilan dari provinsi kepulauan sepakat bahwa RUU Daerah Kepulauan merupakan harapan untuk kemajuan bersama, terutama penduduk yang tinggal di pulau-pulau. Indonesia memiliki lebih dari 17 ribu pulau yang disatukan oleh laut. Sebesar 62 persen dari total luas wilayah Indonesia adalah perairan.

Sebab itu, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan DPR semestinya bekerja sama demi mencapai cita-cita mambangun Indonesia sebagai poros maritim dunia. Dan itu dimulai dengan membahas RUU Daerah Kepulauan secara seksama. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya