Citizen6, Jambi: Dua tahun sudah menjadi pendamping pendidikan bagi orang rimba. Meski hanya berstatus pendamping bagi proses pendidikan Orang Rimba, namun sejatinya banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan.
Di sana, saya mencoba memudahkan mereka memahami aksara dan menghitung angka-angka. Tapi mereka membalas lebih, dengan mengajarkan bagaimana menghargai hidup dan menjalani hidup. Dua tahun tentu bukan waktu yang panjang untuk sebuah proses saling memahami, tapi paling tidak kami mencoba untuk saling menghargai.
Hidup orang rimba terus terdesak, bukan hanya karena ruang hidup mereka yang tergerus karena kehadiran korporasi, baik perkebunan atau pertambangan, tapi juga karena perubahan sosial yang mengitari mereka. Di tengah makin rapuhnya masa depan orang rimba, maka tak ada pilihan selain membekali diri dengan "senjata".
Tentu bukan senjata yang bisa membunuh, macam senapan atau belati, tapi ilmu pengetahuan, kemampuan menganalisa realitas sosial, dan daya kritis untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Bukan oleh orang luar tapi oleh mereka sendiri.
Aksara, hanya modal awal bagi mereka dalam memahami realitas dunia luar. Dunia yang senyatanya kadang sangat tak bersahabat. Kalau orang rimba tak mampu memahami realitas politik, ekonomi, dan sosial yang berkembang di luar, alamat mereka digilas oleh zaman. Mengapa sekarang? Bukankah dulu orang rimba bisa hidup tenang, tanpa harus bisa membaca atau menulis bahkan berhitung. Tentu saja, di masa lalu ruang hidup mereka masih sangat baik, mencari kebutuhan sehari-hari masih relatif mudah. Tapi kini, interaksi kehidupan luar sudah sangat tinggi. Mau tidak mau orang rimba harus siap berkompetisi dan harus mampu memperjuangkan hak-haknya.
Sebagai pendamping pendidikan orang rimba di tahun 2014 ini, saya berharap lebih banyak anak-anak rimba yang memiliki kemampuan dasar; baca, tulis dan hitung. Lebih dari itu, bisa terbangun jembatan budaya antara anak-anak di luar dengan anak-anak rimba. Pada titik tertentu, saya berharap, anak-anak rimba bisa menuliskan sendiri sejarah mereka. Karena selama ini orang luarlah, entah itu LSM, peneliti atau akademisi yang menulis sejarah dan kehidupan mereka. Aksara adalah modal mereka menuliskan sejarah. (mar)
Penulis
Huzer Apriansyah, Staf Pendamping Pendidikan Orang Rimba KKI WARSI, Jambi.
Jambi, huzer.axxx@gmail.com
Baca juga:
[Resolusi 2014] Sehat, Bahagia, dan Sejahtera Bersama Keluarga
[Resolusi 2014] Berawal dari Hobi Menjadi Peternak Hamster
[Resolusi 2014] Hidup Berfokus Wujudkan Resolusi
Disclaimer:
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com
Di sana, saya mencoba memudahkan mereka memahami aksara dan menghitung angka-angka. Tapi mereka membalas lebih, dengan mengajarkan bagaimana menghargai hidup dan menjalani hidup. Dua tahun tentu bukan waktu yang panjang untuk sebuah proses saling memahami, tapi paling tidak kami mencoba untuk saling menghargai.
Hidup orang rimba terus terdesak, bukan hanya karena ruang hidup mereka yang tergerus karena kehadiran korporasi, baik perkebunan atau pertambangan, tapi juga karena perubahan sosial yang mengitari mereka. Di tengah makin rapuhnya masa depan orang rimba, maka tak ada pilihan selain membekali diri dengan "senjata".
Tentu bukan senjata yang bisa membunuh, macam senapan atau belati, tapi ilmu pengetahuan, kemampuan menganalisa realitas sosial, dan daya kritis untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Bukan oleh orang luar tapi oleh mereka sendiri.
Aksara, hanya modal awal bagi mereka dalam memahami realitas dunia luar. Dunia yang senyatanya kadang sangat tak bersahabat. Kalau orang rimba tak mampu memahami realitas politik, ekonomi, dan sosial yang berkembang di luar, alamat mereka digilas oleh zaman. Mengapa sekarang? Bukankah dulu orang rimba bisa hidup tenang, tanpa harus bisa membaca atau menulis bahkan berhitung. Tentu saja, di masa lalu ruang hidup mereka masih sangat baik, mencari kebutuhan sehari-hari masih relatif mudah. Tapi kini, interaksi kehidupan luar sudah sangat tinggi. Mau tidak mau orang rimba harus siap berkompetisi dan harus mampu memperjuangkan hak-haknya.
Sebagai pendamping pendidikan orang rimba di tahun 2014 ini, saya berharap lebih banyak anak-anak rimba yang memiliki kemampuan dasar; baca, tulis dan hitung. Lebih dari itu, bisa terbangun jembatan budaya antara anak-anak di luar dengan anak-anak rimba. Pada titik tertentu, saya berharap, anak-anak rimba bisa menuliskan sendiri sejarah mereka. Karena selama ini orang luarlah, entah itu LSM, peneliti atau akademisi yang menulis sejarah dan kehidupan mereka. Aksara adalah modal mereka menuliskan sejarah. (mar)
Penulis
Huzer Apriansyah, Staf Pendamping Pendidikan Orang Rimba KKI WARSI, Jambi.
Jambi, huzer.axxx@gmail.com
Baca juga:
[Resolusi 2014] Sehat, Bahagia, dan Sejahtera Bersama Keluarga
[Resolusi 2014] Berawal dari Hobi Menjadi Peternak Hamster
[Resolusi 2014] Hidup Berfokus Wujudkan Resolusi
Disclaimer:
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com