Ciri-ciri Penulisan Historiografi Tradisional: Memahami Karakteristik Unik Pencatatan Sejarah Masa Lampau

Pelajari ciri-ciri penulisan historiografi tradisional yang khas, dari sifat istana-sentris hingga unsur magis-religius. Pahami karakteristik uniknya di sini.

oleh Liputan6 diperbarui 04 Des 2024, 12:52 WIB
Diterbitkan 04 Des 2024, 10:37 WIB
ciri-ciri penulisan historiografi tradisional
ciri-ciri penulisan historiografi tradisional ©Ilustrasi dibuat AI

Liputan6.com, Jakarta Historiografi tradisional merupakan salah satu bentuk penulisan sejarah yang berkembang pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara. Metode pencatatan sejarah ini memiliki karakteristik yang khas dan unik, mencerminkan cara pandang serta nilai-nilai masyarakat pada zamannya. Memahami ciri-ciri penulisan historiografi tradisional penting untuk dapat menginterpretasikan dan menganalisis sumber-sumber sejarah dari masa lampau secara lebih komprehensif. Mari kita telusuri lebih dalam berbagai aspek menarik dari historiografi tradisional ini.

Definisi dan Pengertian Historiografi Tradisional

Historiografi tradisional dapat didefinisikan sebagai metode penulisan sejarah yang berkembang pada masa kerajaan-kerajaan kuno, khususnya di era Hindu-Buddha hingga awal masuknya Islam di Nusantara. Istilah ini merujuk pada karya-karya tulis sejarah yang disusun oleh para pujangga istana atau sastrawan kerajaan pada masa tersebut.

Secara lebih spesifik, historiografi tradisional merupakan upaya pencatatan dan perekaman peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di lingkungan istana atau kerajaan. Tujuan utamanya adalah untuk mewariskan kisah-kisah keagungan dinasti yang berkuasa kepada generasi berikutnya. Karya-karya historiografi tradisional umumnya ditulis dalam bentuk prosa maupun puisi, seperti babad, hikayat, serat, kronik, tambo, dan lontara.

Berbeda dengan penulisan sejarah modern yang menekankan objektivitas dan metode ilmiah, historiografi tradisional lebih bersifat subjektif dan sarat dengan unsur-unsur mitologi serta kepercayaan yang berlaku pada masanya. Hal ini mencerminkan cara pandang masyarakat tradisional dalam memahami dan memaknai peristiwa-peristiwa di masa lalu.

Meski demikian, karya-karya historiografi tradisional tetap memiliki nilai penting sebagai sumber sejarah. Dengan pemahaman yang tepat terhadap karakteristiknya, historiografi tradisional dapat memberikan gambaran yang berharga mengenai kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat pada zamannya.

Ciri-ciri Utama Penulisan Historiografi Tradisional

Historiografi tradisional memiliki sejumlah ciri khas yang membedakannya dari metode penulisan sejarah modern. Berikut ini adalah beberapa karakteristik utama yang menjadi ciri-ciri penulisan historiografi tradisional:

1. Bersifat Istana-sentris

Salah satu ciri paling menonjol dari historiografi tradisional adalah sifatnya yang istana-sentris atau keraton-sentris. Artinya, fokus utama penulisan sejarah berpusat pada kehidupan dan aktivitas di lingkungan istana atau keraton. Kisah-kisah yang diangkat umumnya berkisar seputar raja, keluarga kerajaan, dan para bangsawan.

Dalam historiografi tradisional, rakyat jelata jarang mendapat tempat dalam narasi sejarah. Kalaupun ada, peran mereka biasanya hanya sebagai latar belakang atau pelengkap cerita. Hal ini mencerminkan struktur sosial masyarakat feodal di mana raja dan kaum bangsawan dianggap sebagai pusat kekuasaan dan sumber legitimasi.

Sifat istana-sentris ini juga terlihat dari sudut pandang penulisan yang cenderung mengagungkan raja dan keluarga kerajaan. Segala pencapaian dan keberhasilan kerajaan seringkali diatribusikan pada kebijaksanaan dan kepemimpinan sang raja. Sebaliknya, kegagalan atau peristiwa buruk cenderung dimitigasi atau bahkan tidak dicatat sama sekali.

2. Mengandung Unsur Magis-Religius

Ciri khas lain dari historiografi tradisional adalah kuatnya unsur magis-religius dalam narasi sejarah. Hal ini tercermin dari banyaknya kisah-kisah supernatural, mitos, dan legenda yang disisipkan dalam penulisan sejarah. Raja dan tokoh-tokoh penting kerajaan seringkali digambarkan memiliki kekuatan magis atau hubungan khusus dengan dunia gaib.

Unsur magis-religius ini berfungsi untuk memperkuat legitimasi kekuasaan raja. Dengan menghubungkan raja pada kekuatan supernatural atau dewa-dewa, historiografi tradisional menciptakan kesan bahwa kekuasaan raja bersifat sakral dan tak terbantahkan. Hal ini juga mencerminkan kepercayaan masyarakat tradisional yang memandang dunia fisik dan spiritual sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Dalam beberapa karya historiografi tradisional, bahkan dapat ditemui kisah-kisah tentang asal-usul kerajaan yang dikaitkan dengan intervensi kekuatan supernatural. Misalnya, cerita tentang raja pertama yang turun dari kayangan atau mendapat wahyu dari dewa untuk mendirikan kerajaan. Unsur magis-religius semacam ini menjadi ciri khas yang membedakan historiografi tradisional dari penulisan sejarah modern yang lebih rasional dan empiris.

3. Bersifat Feodalistis-Aristokratis

Historiografi tradisional juga mencerminkan struktur sosial masyarakat feodal yang hierarkis. Penulisan sejarah berfokus pada kehidupan dan aktivitas kaum bangsawan, sementara rakyat jelata nyaris tidak mendapat tempat dalam narasi. Hal ini menunjukkan sifat feodalistis-aristokratis yang kental dalam historiografi tradisional.

Dalam karya-karya historiografi tradisional, status sosial dan garis keturunan menjadi hal yang sangat ditonjolkan. Silsilah raja dan keluarga bangsawan seringkali diuraikan secara rinci, bahkan terkadang dikaitkan dengan tokoh-tokoh mitologis atau dewa-dewa. Sementara itu, kehidupan rakyat biasa jarang disinggung, kecuali dalam konteks yang berkaitan dengan kepentingan istana.

Sifat feodalistis-aristokratis ini juga tercermin dari gaya bahasa dan pilihan kata yang digunakan. Bahasa yang dipakai cenderung tinggi dan penuh kiasan, mencerminkan budaya literasi kaum bangsawan. Hal ini membuat karya-karya historiografi tradisional seringkali sulit dipahami oleh kalangan awam.

4. Subjektivitas yang Tinggi

Berbeda dengan historiografi modern yang menekankan objektivitas, historiografi tradisional cenderung sangat subjektif. Penulis, yang umumnya merupakan pujangga istana, seringkali menulis berdasarkan kepentingan dan sudut pandang penguasa. Akibatnya, fakta sejarah bisa jadi dilebih-lebihkan, diputarbalikkan, atau bahkan sengaja dihilangkan.

Subjektivitas ini terlihat jelas dalam cara historiografi tradisional menggambarkan tokoh-tokoh sejarah. Raja dan pahlawan dari kerajaan sendiri digambarkan secara sangat positif, bahkan terkadang dilebih-lebihkan hingga mencapai taraf setengah dewa. Sebaliknya, musuh atau lawan politik kerajaan cenderung digambarkan secara negatif.

Selain itu, peristiwa-peristiwa yang dianggap memalukan atau merugikan citra kerajaan seringkali tidak dicatat atau disamarkan. Hal ini membuat historiografi tradisional kurang dapat diandalkan sebagai sumber faktual, meski tetap bernilai sebagai cerminan cara pandang dan nilai-nilai masyarakat pada zamannya.

5. Kronologi yang Tidak Jelas

Salah satu kelemahan historiografi tradisional adalah kurangnya perhatian pada aspek kronologi. Urutan waktu seringkali tidak jelas atau bahkan kacau. Peristiwa-peristiwa dari masa yang berbeda bisa dicampur adukkan tanpa memperhatikan urutan kronologis yang tepat.

Ketidakjelasan kronologi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konsep waktu dalam masyarakat tradisional berbeda dengan pemahaman modern. Kedua, tujuan utama historiografi tradisional bukanlah merekam peristiwa secara akurat, melainkan menyampaikan pesan moral atau legitimasi kekuasaan. Ketiga, banyak karya historiografi tradisional yang ditulis jauh setelah peristiwa terjadi, sehingga detil kronologis bisa jadi sudah kabur.

Akibatnya, dalam menganalisis karya historiografi tradisional, para sejarawan modern harus berhati-hati dan melakukan verifikasi silang dengan sumber-sumber lain untuk memastikan akurasi kronologis.

Perkembangan Historiografi Tradisional di Nusantara

Historiografi tradisional di Nusantara mengalami perkembangan yang panjang, sejalan dengan dinamika politik dan budaya di kawasan ini. Berikut adalah gambaran singkat mengenai perkembangan historiografi tradisional di berbagai periode:

Era Hindu-Buddha

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, historiografi tradisional mulai berkembang dengan pesat. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai karya sastra sejarah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Sanskerta. Beberapa contoh karya penting dari era ini antara lain:

  • Kitab Pararaton: mengisahkan sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit
  • Negarakertagama: karya Mpu Prapanca yang merekam kejayaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk
  • Babad Tanah Jawi: kronik sejarah Jawa yang mencakup masa Hindu-Buddha hingga Islam

Karya-karya ini umumnya ditulis di atas daun lontar atau lempengan tembaga. Ciri khas historiografi tradisional seperti sifat istana-sentris dan unsur magis-religius sudah mulai terlihat jelas pada periode ini.

Masa Awal Islam

Dengan masuknya Islam ke Nusantara, terjadi perubahan dalam gaya dan konten historiografi tradisional. Pengaruh Arab dan Persia mulai masuk, tercermin dari munculnya bentuk-bentuk baru seperti hikayat. Beberapa karya penting dari periode ini antara lain:

  • Hikayat Raja-Raja Pasai: mengisahkan sejarah Kerajaan Samudera Pasai
  • Sejarah Melayu: kronik sejarah Kesultanan Malaka
  • Babad Demak: menceritakan berdirinya Kesultanan Demak

Meski sudah ada pengaruh Islam, banyak elemen dari tradisi Hindu-Buddha tetap dipertahankan. Misalnya, unsur magis-religius tetap kuat, hanya saja figur-figur supernatural kini lebih bernuansa Islam seperti wali atau orang-orang suci.

Periode Kolonial

Pada masa kolonial, tradisi historiografi tradisional mulai berhadapan dengan metode penulisan sejarah Barat. Meski demikian, di banyak daerah, terutama di luar Jawa, tradisi penulisan sejarah gaya lama masih bertahan. Beberapa karya yang muncul pada periode ini antara lain:

  • Babad Diponegoro: mengisahkan perjuangan Pangeran Diponegoro
  • Hikayat Perang Sabil: karya dari Aceh yang menceritakan perlawanan terhadap Belanda
  • Syair Perang Menteng: mengisahkan perang di Palembang melawan Inggris

Karya-karya ini mulai menunjukkan pergeseran fokus dari legitimasi kekuasaan raja menjadi semangat perlawanan terhadap penjajah. Meski demikian, ciri-ciri historiografi tradisional seperti subjektivitas dan unsur magis-religius masih tetap kental.

Perbandingan dengan Historiografi Modern

Untuk memahami lebih jauh keunikan historiografi tradisional, ada baiknya kita membandingkannya dengan metode penulisan sejarah modern. Berikut beberapa poin perbedaan utama antara keduanya:

Objektivitas vs Subjektivitas

Historiografi modern menekankan objektivitas dan netralitas penulis. Sejarawan dituntut untuk mengesampingkan bias pribadi dan menyajikan fakta seakurat mungkin. Sebaliknya, historiografi tradisional sangat subjektif, di mana penulis secara terbuka berpihak pada penguasa atau kerajaan tertentu.

Metode Ilmiah vs Narasi Mitologis

Penulisan sejarah modern menggunakan metode ilmiah dalam pengumpulan dan analisis data. Setiap klaim harus didukung bukti yang dapat diverifikasi. Historiografi tradisional, di sisi lain, sering mencampurkan fakta historis dengan mitos dan legenda tanpa pemisahan yang jelas.

Fokus pada Masyarakat Luas vs Elit

Sejarah modern berusaha mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk rakyat jelata. Sementara itu, historiografi tradisional berfokus hampir eksklusif pada kehidupan elit istana dan kaum bangsawan.

Kronologi yang Jelas vs Kabur

Historiografi modern sangat memperhatikan aspek kronologi, dengan penempatan peristiwa dalam urutan waktu yang jelas. Historiografi tradisional seringkali mengabaikan urutan kronologis, bahkan terkadang mencampuradukkan peristiwa dari era yang berbeda.

Sumber yang Beragam vs Terbatas

Sejarawan modern menggunakan berbagai jenis sumber, dari dokumen resmi hingga artefak arkeologi. Historiografi tradisional umumnya mengandalkan tradisi lisan dan catatan istana yang terbatas.

Nilai dan Signifikansi Historiografi Tradisional

Meski memiliki banyak keterbatasan jika dibandingkan dengan metode penulisan sejarah modern, historiografi tradisional tetap memiliki nilai dan signifikansi penting. Berikut beberapa alasan mengapa historiografi tradisional tetap relevan untuk dipelajari:

Cerminan Cara Pandang Masyarakat

Historiografi tradisional memberikan gambaran yang berharga mengenai cara pandang dan nilai-nilai masyarakat pada zamannya. Melalui karya-karya ini, kita bisa memahami bagaimana masyarakat tradisional memaknai peristiwa-peristiwa penting dan memandang dunia di sekitar mereka.

Sumber Informasi Unik

Meski perlu disikapi secara kritis, historiografi tradisional seringkali menyimpan informasi unik yang tidak terdapat dalam sumber-sumber lain. Misalnya, detail-detail mengenai kehidupan istana atau praktik-praktik budaya tertentu yang mungkin tidak terekam dalam catatan resmi.

Pelestarian Tradisi Lisan

Banyak karya historiografi tradisional yang berasal dari tradisi lisan yang sudah ada sejak lama. Dengan dituliskannya tradisi ini, terjadi pelestarian pengetahuan dan kearifan lokal yang mungkin akan hilang jika hanya mengandalkan penuturan dari mulut ke mulut.

Inspirasi Sastra dan Seni

Karya-karya historiografi tradisional seringkali memiliki nilai sastra yang tinggi. Gaya bahasa yang puitis dan narasi yang kaya imajinasi menjadi sumber inspirasi bagi perkembangan sastra dan seni di masa-masa selanjutnya.

Pembentukan Identitas

Historiografi tradisional berperan penting dalam pembentukan identitas suatu kelompok atau bangsa. Kisah-kisah kepahlawanan dan kejayaan masa lalu yang terekam dalam karya-karya ini menjadi sumber kebanggaan dan pemersatu masyarakat.

Tantangan dalam Menginterpretasikan Historiografi Tradisional

Meski memiliki nilai penting, menginterpretasikan historiografi tradisional bukanlah hal yang mudah. Ada beberapa tantangan yang perlu dihadapi para sejarawan dan peneliti ketika mengkaji karya-karya ini:

Memisahkan Fakta dan Fiksi

Salah satu tantangan terbesar adalah memisahkan unsur faktual dari elemen fiksi atau mitologis dalam historiografi tradisional. Seringkali, kedua hal ini bercampur tanpa batas yang jelas. Sejarawan perlu melakukan analisis kritis dan verifikasi silang dengan sumber-sumber lain untuk memilah mana yang benar-benar peristiwa historis dan mana yang merupakan tambahan imajinatif.

Mengatasi Bias dan Subjektivitas

Sifat subjektif historiografi tradisional membuatnya rentan terhadap bias dan distorsi. Peneliti perlu berhati-hati dalam menginterpretasikan informasi, dengan selalu mempertimbangkan konteks dan kepentingan di balik penulisan karya tersebut. Penting untuk membaca "di antara baris-baris" teks untuk memahami apa yang mungkin tidak dikatakan secara eksplisit.

Menafsirkan Bahasa Kuno dan Istilah Khusus

Banyak karya historiografi tradisional ditulis dalam bahasa kuno atau menggunakan istilah-istilah khusus yang sulit dipahami oleh pembaca modern. Diperlukan keahlian linguistik dan pemahaman mendalam tentang konteks budaya untuk dapat menafsirkan teks-teks ini dengan tepat.

Merekonstruksi Kronologi

Ketidakjelasan kronologi dalam historiografi tradisional menyulitkan upaya merekonstruksi urutan peristiwa yang sebenarnya. Sejarawan perlu melakukan analisis komparatif dengan sumber-sumber lain dan menggunakan metode-metode seperti dendrokronologi atau analisis karbon untuk membantu menetapkan kerangka waktu yang lebih akurat.

Memahami Konteks Sosio-kultural

Untuk dapat menginterpretasikan historiografi tradisional dengan tepat, diperlukan pemahaman mendalam tentang konteks sosial, budaya, dan politik pada masa karya tersebut ditulis. Tanpa ini, ada risiko salah tafsir atau over-interpretasi terhadap isi teks.

Peran Historiografi Tradisional dalam Pendidikan Sejarah

Meski memiliki berbagai keterbatasan, historiografi tradisional tetap memiliki tempat penting dalam pendidikan sejarah. Berikut beberapa cara historiografi tradisional dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran:

Pengenalan Sumber Primer

Karya-karya historiografi tradisional dapat digunakan sebagai contoh sumber primer dalam pembelajaran sejarah. Siswa dapat belajar bagaimana menganalisis dan menginterpretasikan dokumen-dokumen historis, sekaligus memahami keterbatasan dan tantangan dalam menggunakan sumber-sumber semacam ini.

Pemahaman Konteks Historis

Melalui historiografi tradisional, siswa dapat memperoleh gambaran yang lebih kaya mengenai konteks sosial, budaya, dan politik pada masa tertentu. Hal ini membantu mereka memahami peristiwa-peristiwa sejarah tidak hanya sebagai rangkaian fakta, tetapi sebagai bagian dari narasi yang lebih luas.

Pengembangan Pemikiran Kritis

Menganalisis historiografi tradisional dapat melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Mereka belajar untuk mempertanyakan sumber informasi, mengidentifikasi bias, dan memahami bagaimana sejarah dapat diinterpretasikan secara berbeda-beda.

Apresiasi Warisan Budaya

Mempelajari historiografi tradisional dapat meningkatkan apresiasi siswa terhadap warisan budaya bangsa. Mereka dapat melihat bagaimana generasi terdahulu memandang dan merekam sejarah mereka, serta bagaimana tradisi ini berkembang dari waktu ke waktu.

Inspirasi untuk Penelitian Lanjutan

Bagi siswa yang tertarik mendalami sejarah, historiografi tradisional dapat menjadi pintu masuk untuk penelitian lebih lanjut. Mereka dapat mengeksplorasi bagaimana narasi dalam karya-karya ini berhubungan dengan temuan-temuan arkeologis atau sumber-sumber sejarah lainnya.

Kesimpulan

Historiografi tradisional, dengan segala keunikan dan keterbatasannya, merupakan bagian penting dari warisan intelektual dan budaya bangsa Indonesia. Ciri-ciri penulisan historiografi tradisional seperti sifatnya yang istana-sentris, unsur magis-religius, dan subjektivitas yang tinggi mencerminkan cara pandang masyarakat pada zamannya dalam memahami dan merekam peristiwa-peristiwa penting.

Meski tidak dapat diandalkan sepenuhnya sebagai sumber faktual, karya-karya historiografi tradisional tetap memiliki nilai yang signifikan. Selain menyimpan informasi unik yang mungkin tidak terdapat dalam sumber lain, historiografi tradisional juga memberikan wawasan berharga mengenai pola pikir, nilai-nilai, dan dinamika sosial-politik masyarakat di masa lampau.

Dalam konteks pendidikan dan penelitian sejarah modern, pemahaman terhadap ciri-ciri dan karakteristik historiografi tradisional menjadi kunci untuk dapat menginterpretasikan karya-karya ini secara tepat. Dengan pendekatan yang kritis dan kontekstual, historiografi tradisional dapat menjadi sumber yang kaya untuk memperdalam pemahaman kita tentang sejarah dan identitas bangsa.

Pada akhirnya, mempelajari historiografi tradisional bukan hanya tentang memahami masa lalu, tetapi juga tentang menjembatani generasi dan membangun kesadaran akan kontinuitas sejarah. Dengan memahami bagaimana nenek moyang kita merekam dan memaknai peristiwa-peristiwa penting, kita dapat lebih menghargai perjalanan panjang bangsa ini dan mengambil pelajaran berharga untuk menghadapi tantangan masa kini dan masa depan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya