Ancaman Kelaparan di Gaza, WHO Khawatirkan Masa Depan Generasi Muda Palestina

Konflik antara Israel dan Palestina mempengaruhi kesejahteraan rakyat Palestina dan berujung pada ancaman kelaparan dan gizi buruk.

oleh Fariza Noviani Abidin diperbarui 23 Mar 2024, 07:00 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2024, 07:00 WIB
Banner Infografis Bocah Palestina Sekarat dan Mati Kelaparan di Gaza. (Sumber Foto: AP Photo)
Banner Infografis Bocah Palestina Sekarat dan Mati Kelaparan di Gaza. (Sumber Foto: AP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Munculnya ancaman kelaparan di Gaza memicu respons tegas dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dalam situasi yang semakin memburuk di wilayah Palestina yang padat penduduk ini, WHO telah menyuarakan keprihatinan serius terhadap masa depan generasi Gaza. 

Dilansir dari Aljazeera, kepala (WHO) menyatakan bahwa hanya ekspansi lintasan darat yang dapat menghentikan bencana kemanusiaan di wilayah Palestina yang padat penduduk tersebut. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengungkapkan pada hari Kamis, 22 Maret 2024 bahwa meskipun upaya terbaru untuk mengirim bantuan melalui udara dan laut membantu, namun ekspansi lintasan darat menjadi kunci untuk memungkinkan pengiriman bantuan dalam skala besar guna mencegah kelaparan.

Dalam pernyataannya, Tedros juga mengungkapkan tragedi yang sedang terjadi di Gaza, di mana anak-anak telah kehilangan nyawa akibat malnutrisi, penyakit, serta kekurangan air dan sanitasi yang memadai.

Ia menggambarkan kondisi ini sebagai ancaman serius terhadap masa depan generasi muda di wilayah tersebut. "Anak-anak meninggal akibat malnutrisi dan penyakit, serta dari kurangnya air dan sanitasi yang memadai," ujar Tedros, menyoroti eskalasi bencana kemanusiaan yang semakin mendesak.

Tedros menegaskan bahwa tindakan mendesak diperlukan dari pihak Israel untuk membuka lebih banyak lintasan dan mempercepat pengiriman bantuan kemanusiaan.

"Masa depan seluruh generasi ini dalam bahaya serius," ungkapnya. WHO berharap agar Israel segera merespons dengan membuka lintasan-lintasan tersebut, memfasilitasi masuknya air, makanan, perlengkapan medis, dan bantuan lainnya yang sangat dibutuhkan oleh warga Gaza.

Akses Darat Masih Diblokir Hingga Saat Ini

Beberapa negara, termasuk Yordania dan Amerika Serikat, telah meluncurkan bantuan udara di sepanjang garis pantai yang terkepung di Jalur Gaza. Namun, upaya ini terbukti mahal dan tidak efektif, dengan beberapa orang tewas setelah parasut pasokan gagal terbuka, menyebabkan bantuan jatuh menimpa kerumunan orang yang menunggu makanan di sebelah utara kamp pengungsi Shati di Kota Gaza.

Sementara bantuan udara dilakukan, Israel terus memblokir sebagian besar truk bantuan dari masuk ke Gaza melalui jalur darat. Sejak serangan dimulai pada 7 Oktober, Israel telah melarang masuknya makanan, air, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya.

Sebuah aliran bantuan kecil hanya diperbolehkan masuk dari selatan melalui Mesir di lintasan Rafah dan lintasan Karem Abu Salem Israel.

Badan bantuan dan pejabat kesehatan di Gaza telah memberikan peringatan serius tentang situasi ini, menyatakan bahwa bantuan yang saat ini diterima masih jauh dari cukup untuk mencukupi kebutuhan hampir 2,3 juta orang di wilayah tersebut.

Philippe Lazzarini, kepala Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), mengatakan bahwa kelaparan akan segera terjadi terutama di utara Gaza.

Proyeksi ke depan juga menunjukkan bahwa kelaparan mungkin akan terjadi pada bulan Mei di utara Gaza dan berpotensi menyebar ke seluruh wilayah pada bulan Juli, menurut Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC), badan pengawas kelaparan dunia.

Sementara itu, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan bahwa permintaan WHO untuk mengirim pasokan ke wilayah-wilayah Gaza sering kali diblokir atau ditolak.

Ancaman Kelaparan yang Semakin Nyata

IPC melaporkan bahwa 70 persen penduduk di beberapa bagian utara Gaza menghadapi tingkat kekurangan pangan yang sangat parah, lebih dari tiga kali lipat dari ambang 20 persen yang menandakan kelaparan.

Sebanyak 1,1 juta warga Palestina di Gaza, sekitar separuh dari total populasi, mengalami kekurangan pangan yang dianggap sudah dianggap sebagai sebuah bencana.

Tedros, Direktur Jenderal WHO, beberapa waktu lalu menyatakan keprihatinannya terhadap situasi ini, dan mengatakan bahwa anak-anak di utara Gaza meninggal karena kelaparan dengan mengutip kunjungan tim WHO ke dua rumah sakit di wilayah tersebut.

Dr. Margaret Harris, juru bicara WHO, mengungkapkan bahwa jumlah anak-anak di Gaza yang berada di "ambang kematian" akibat kelaparan akut terus meningkat.

Sementara itu, di tengah-tengah perundingan gencatan senjata yang masih berlanjut, Israel sedang bersiap untuk serangan darat di kota selatan Rafah. Di sana, lebih dari satu juta warga Palestina yang terlantar berlindung di kamp-kamp yang sangat penuh sesak.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken dikabarkan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Arab di Kairo pada hari Kamis dalam upaya untuk mencapai gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

Fasilitas Kesehatan Menjadi Sasaran Utama

Dengan kondisi krisis kesehatan di Gaza semakin memburuk, dengan Kementerian Kesehatan setempat melaporkan bahwa serangan udara dan darat Israel telah menewaskan setidaknya 31.988 orang dan melukai 74.188 lainnya.

Terutama yang paling terdampak adalah perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Sejak 16 Maret, lebih dari 1,7 juta orang, atau lebih dari 75 persen populasi Gaza, telah terlantar akibat serangan yang terus berlanjut sejak 7 Oktober.

Keadaan infrastruktur di Gaza juga semakin mengkhawatirkan. Lebih dari 60 persen unit perumahan telah hancur, bersamaan dengan 392 fasilitas pendidikan, 123 ambulans, dan 184 masjid, demikian data dari UNRWA.

Sistem kesehatan di Gaza hampir runtuh karena kekurangan bahan bakar untuk mengoperasikan generator dan kekurangan pasokan medis yang parah, hal ini diakibatkan oleh pembatasan yang diberlakukan oleh Israel.

Fasilitas kesehatan, termasuk Rumah Sakit al-Shifa yang merupakan fasilitas medis terbesar di Gaza, menjadi sasaran utama serangan Israel.

Pasukan Israel juga telah melakukan serangkaian penggerebekan di Rumah Sakit al-Shifa, yang dilaporkan terjadi setidaknya empat kali. Mereka menangkap, membunuh, dan mengepung staf medis, pasien, serta keluarga pengungsi yang mencari perlindungan di sana.

UNRWA melaporkan bahwa saat ini hanya ada 12 rumah sakit yang masih berfungsi sebagian di Gaza, sementara lebih dari 300.000 kasus infeksi saluran pernapasan akut dan lebih dari 200.000 kasus diare telah dilaporkan.

Analisis gambar satelit oleh Pusat Satelit PBB juga menunjukkan bahwa sekitar 35 persen bangunan di Jalur Gaza telah hancur atau rusak akibat serangan Israel. Situasi ini terus memperburuk kondisi krisis kemanusiaan yang melanda Gaza, dengan harapan agar bantuan internasional dapat segera tersedia untuk membantu mereka yang terdampak.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya