Epilepsi adalah Penyakit Otak Kronis, Begini Cara Mengobati dan Mencegahnya

Penderita epilepsi adalah akan mengalami kejang berulang yang melibatkan sebagian atau seluruh tubuhnya saat kambuh.

oleh Laudia Tysara diperbarui 24 Mei 2023, 23:30 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2023, 23:30 WIB
Mendadak Pusing Hingga Menyebabkan Pingsan
Ilustrasi epilepsi. Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta Apa itu epilepsi? Epilepsi adalah penyakit yang menyerang otak manusia. Penderita epilepsi adalah akan mengalami kejang berulang yang melibatkan sebagian atau seluruh tubuhnya saat kambuh. Terkadang penderita epilepsi adalah sampai kehilangan kesadaran, seperti kontrol fungsi usus dan kandung kemih.

The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menggambarkan epilepsi adalah “kondisi otak umum yang menyebabkan kejang berulang."

Pahami baik-baik, epilepsi adalah masalah kesehatan yang umum terjadi. Menghimpun data yang diterbitkan dari Mayo Clinic, ada sekitar 3 juta orang di Amerika Serikat yang menderita epilepsi. Di AS, epilepsi menjadi penyakit neurologis paling umum keempat setelah migrain, stroke, dan alzheimer.

Penyakit epilepsi adalah tidak menular. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam keterangan tertulisnya menjelaskan epilepsi adalah penyakit otak kronis yang tidak menular dan sudah memengaruhi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Dijelaskan lebih lanjut, epilepsi adalah penyakit berusia tua yang diakui dunia, sudah terdeteksi sejak 4000 SM.

Epilepsi adalah dapat membuat penderita mengalami beberapa masalah kesehatan fisik dan psikis, ini dipengaruhi oleh kejang yang menjadi gejalanya. WHO menggambarkan penderita epilepsi adalah biasanya rentan dengan patah tulang, memar, kecemasan, dan depresi. Hal ini pula yang meningkatkan risiko kematian dini penderita epilepsi.

Menghimpun data dari WHO, dalam skala global diperkirakan lima juta orang didiagnosis epilepsi setiap tahunnya. Di negara berpenghasilan rendah, angkanya bisa mencapai 139 per 100.000. Berikut Liputan6.com ulas lebih dalam tentang epilepsi adalah penyakit otak kronis, Kamis (16/12/2021).

Risiko Penyebab Epilepsi

Gejala Stroke
Ilustrasi stroke. Credit: pexels.com/Lina

Penyakit otak kronis seperti epilepsi adalah rentan menyerang siapa saja. Mayo Clinic menjabarkan kerentanan itu kepada anak-anak, orang dewasa, bahkan orang lebih tua sekalipun. Masalah epilepsi adalah yang dialami lansia atau orang tua biasanya karena penyakit neurologis seperti stroke atau tumor otak.

Sementara risiko penyebab epilepsi adalah yang lain dipengaruhi oleh kelainan genetik, infeksi otak yang pernah dialami, dan cedera prenatal atau gangguan perkembangan. Meski demikian, data menjelaskan sekitar setengah dari penderita epilepsi tidak ada penyebab jelasnya.

Hal ini ditegaskan oleh WHO, meskipun banyak mekanisme penyakit yang mendasari dapat menyebabkan epilepsi, penyebab penyakit epilepsi adalah masih belum diketahui pada sekitar 50% kasus secara global.

Diungkap pula, risiko penyebab meningkatnya epilepsi dinegara berkembang dipengaruhi kondisi endemik seperti malaria atau neurosistiserkosis, insiden yang lebih tinggi dari cedera lalu lintas jalan, cedera terkait kelahiran, dan variasi dalam infrastruktur medis, ketersediaan program kesehatan preventif dan perawatan yang dapat diakses.

Ini penjelasannya:

1. Pengaruh Genetika

Beberapa jenis epilepsi yang dikategorikan berdasarkan jenis kejang yang dialami atau bagian otak yang terpengaruh, terjadi dalam keluarga. Dalam kasus ini, kemungkinan ada pengaruh genetik. Gen tertentu dapat membuat seseorang lebih peka terhadap kondisi lingkungan yang memicu kejang.

2. Trauma kepala

Trauma kepala akibat kecelakaan mobil atau cedera traumatis lainnya dapat menyebabkan epilepsi.

3. Kondisi Otak

Kondisi otak yang menyebabkan kerusakan pada otak, seperti tumor otak atau stroke, bisa menyebabkan epilepsi. Stroke adalah penyebab utama epilepsi pada orang dewasa yang berusia di atas 35 tahun.

4. Penyakit Menular

Penyakit infeksi, seperti meningitis, AIDS dan virus ensefalitis, dapat menyebabkan epilepsi.

5. Cedera Prenatal

Sebelum lahir, bayi sensitif terhadap kerusakan otak yang bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti infeksi pada ibu, gizi buruk atau kekurangan oksigen. Kerusakan otak ini bisa mengakibatkan epilepsi atau cerebral palsy.

6. Gangguan Perkembangan

Epilepsi terkadang dapat dikaitkan dengan gangguan perkembangan, seperti autisme dan neurofibromatosis.

Jenis-Jenis Kejang Epilepsi

Ilustrasi pasien stroke.
Ilustrasi epilepsi. Foto oleh Kampus Production dari Pexels

Epilepsy Foundation mengungkapkan kejang penderita epilepsi bisa memengaruhi bagian tubuh manapun. Peristiwa listrik (kejang) tersebut terjadi di otak manusia.

Sebelum kejang, seorang penderita epilepsi adalah akan kebingungan sementara, tatapannya kosong, timbul gerakan menyentak di lengan dan kaki tak terkendali, kehilangan kesadaran, ketakutan, dan kecemasan atau deja vu.

Kejang yang dialami oleh penderita epilepsi adalah bukan sembarang kejang, ada banyak jenis-jenis atau variasinya. Dalam artikel yang diterbitkan Mayo Clinic, ada sembilan variasi kejang yang mungkin akan dialami oleh penderita epilepsi. Apa saja?

1. Kejang Fokal

Kejang fokal epilepsi adalah muncul sebagai akibat dari aktivitas abnormal di satu area otak. Kejang ini terbagi dalam dua kategori:

2. Kejang Fokal Tanpa Kehilangan Kesadaran

Kejang fokal tanpa kehilangan kesadaran epilepsi adalah dapat mengubah emosi atau mengubah tampilan, penciuman, rasa, rasa, atau suara. Mereka juga dapat menyebabkan bagian tubuh tersentak secara tidak sengaja, seperti lengan atau kaki, dan gejala sensorik spontan seperti kesemutan, pusing, dan lampu berkedip.

3. Kejang Fokal dengan Gangguan Kesadaran

Kejang perubahan atau hilangnya kesadaran atau kesadaran epilepsi adalah membuat seseorang mungkin menatap ke langit-langit. Tidak merespons lingkungan secara normal atau melakukan gerakan berulang, seperti menggosok tangan, mengunyah, menelan, atau berjalan berputar-putar.

4. Kejang Absen

Kejang absen epilepsi adalah sering terjadi pada anak-anak dan ditandai dengan menatap ke atas atau gerakan tubuh halus seperti mata berkedip atau menampar bibir. Kejang ini dapat terjadi dalam kelompok dan menyebabkan hilangnya kesadaran sebentar.

5. Kejang Tonik

Kejang tonik epilepsi adalah menyebabkan otot kaku. Kejang ini biasanya memengaruhi otot di punggung, lengan, dan kaki, serta dapat menyebabkan seseorang jatuh ke lantai.

6. Kejang Atonik

Kejang atonik epilepsi adalah menyebabkan hilangnya kendali otot yang dapat menyebabkan pingsan tiba-tiba atau jatuh.

7. Kejang Klonik

Kejang klonik epilepsi adalah berhubungan dengan gerakan otot yang berulang atau berirama menyentak. Kejang ini biasanya menyerang leher, wajah, dan lengan.

8. Kejang Mioklonik

Kejang mioklonik epilepsi adalah biasanya muncul sebagai sentakan atau sentakan singkat yang tiba-tiba pada lengan dan kaki.

9. Kejang Tonik-klonik

Kejang tonik-klonik epilepsi adalah jenis serangan epilepsi yang paling dramatis dan dapat menyebabkan hilangnya kesadaran secara tiba-tiba, tubuh kaku dan gemetar, dan terkadang kehilangan kontrol kandung kemih atau menggigit lidah.

Cara Mengobati dan Mencegah Epilepsi

Gambar Ilustrasi Human Brain Stroke
Ilustrasi otak manusia. Sumber: Freepik

Epilepsi adalah bukan penyakit menular dan bisa disembuhkan. Data yang diterbitkan WHO menyatakan 70 persen penderita epilepsi bisa bebas kejang dengan penggunaan obat anti kejang yang tepat.

Disarankan pula, penghentian konsumsi obat anti kejang dilakukan setelah 2 tahun tidak mengalaminya dan mempertimbangkan faktor klinis, sosial, dan pribadi yang relevan. Pembedahan mungkin bermanfaat bagi pasien yang merespon buruk terhadap perawatan obat.

Namun, sebuah studi baru-baru ini menemukan ketersediaan rata-rata obat anti kejang generik di sektor publik negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah kurang dari 50%. Inilah faktor penghalang akses pengobatan penderita epilepsi di negara-negara berpenghasilan rendah.

Pencegahan epilepsi juga bisa dilakukan. WHO memperkirakan 25 persen kasus epilepsi dapat dicegah. Mulai dari menghindari cedera kepala, melakukan perawatan perinatal yang memadai, konsumsi obat demam untuk anak yang kejang saat demam, mengurangi faktor risiko kardiovaskular, dan mencegah infeksi sistem saraf pusat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya