Menguak Mitos Supermoon ‘Pemicu’ Malapetaka

Supermoon akan kembali terjadi pada 12 Juli 2014 atau 3 hari setelah Pilpres digelar. Benarkah fenomena langit itu terkait bencana?

oleh Liputan6 diperbarui 23 Jun 2014, 20:19 WIB
Diterbitkan 23 Jun 2014, 20:19 WIB
Ilustrasi Supermoon
Ilustrasi Supermoon

Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Elin Yunita Kristanti, Nadya Isnaeni

Rembulan akan menampikan sosoknya yang menakjubkan ketika ia berada dalam titik terdekatnya dengan Bumi, pada saat bersamaan dengan fase purnama: indah, bulat, lebih besar, dengan kemilau sinar yang menerangi langit malam.

Namun tidak bagi Richard Nolle. Dia yakin benar, fenomena langit itu bisa jadi adalah ‘pemicu’ bencana. “Memiliki kaitan historis dengan badai yang kuat, tsunami, pasang ekstrem, juga gempa bumi,” kata dia.

Dalam artikelnya di majalah Horoscope pada tahun 1979 atau 35 tahun lalu, astrolog -- bukan astronom -- itu bahkan menciptakan sebuah istilah yang kini dikenal luas untuk mewakili fenomena tersebut: supermoon.

“Supermoon merupakan bulan purnama atau bulan baru yang terjadi saat Bulan sedang atau akan berada (dalam rentang 90%)  pada jarak terdekatnya dari Bumi (perigee),” kata dia.

Atau dengan kata lain Matahari, Bumi, dan Bulan sedang berada pada satu garis. Dengan Bulan berada pada jarak terdekat dengan planet manusia. Fenomena astronomi itu bisa terjadi 4-6 kali dalam setahun. Menurut Nolle, adalah tarikan gravitasi yang diakibatkan supermoon yang akan membawa kekacauan pada Bumi.

Dalam sebuah wawancara dengan ABC Radio pada Rabu 9 Maret 2011, ia meramalkan supermoon ‘ekstrem’ yang akan terjadi pada 10 hari kemudian -- yang membuat jarak Bumi-Bulan hanya 221.567 mil atau 356.578 kilometer --bakal memicu malapetaka.

Dan 2 hari kemudian, 11 Maret 2011, bumi Jepang berguncang. Lindu dengan kekuatan 9 skala Richter memorakporandakan kawasan utara Negeri Sakura, memicu tsunami yang menyapu seluruh kawasan pesisir pantai Pasifik di wilayah Tohoku.

Ribuan orang tewas, PLTN Fukushika Dai-ichi luruh dan memicu krisis nuklir terbesar Jepang setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang mengakhiri Perang Dunia II.  

Tak hanya itu, Nolle juga menyebut sejumlah bencana, yang mungkin kebetulan berdekatan dengan fenomena supermoon.  

Ini adalah fakta, entah kebetulan atau bukan: gempa yang meluluhlantakkan Kota Christchurch, Selandia Baru terjadi pada 22 Februari 2011, tak terlalu jauh dari supermoon 19 Maret 2011.

Gempa 7 yang mengguncang Haiti pada 12 Januari 2010 yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 200 ribu jiwa terjadi tak lama sebelum supermoon 30 Januari 2010.

Ada lagi Topan Tracy yang menggulung Kota Darwin, Northern Territory, Australia pada 24 Desember-25 Desember 1974 dan menewaskan sekitar 71 orang. Momentumnya berdekatan dengan supermoon.

Dan salah satu bencana terbesar di Abad ke-21, gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, terjadi 2 pekan sebelum supermoon 10 Januari 2005. Baca selengkapnya dalam INFOGRAFIS.

Masih belum yakin? Supermoon 23 Juni 2013 muncul berdekatan dengan bencana  hujan deras dan tanah longsor membunuh 1.000 orang di Uttarakhand, India. Juga banjir di Southern Alberta yang memaksa 75.000 menjadi tunawisma.

Menurut situs EarthSky, akan ada 5 supermoon di sepanjang tahun 2014 ini. Yakni, fase bulan baru (new-moon) pada 1 dan 30 Januari. (Lihat jadwal supermoon di tautan ini)

Lalu, fase purnama (full-moon) pertama akan pada Sabtu 12 Juli 2014 atau 3 hari setelah Pemilu Presiden (Pilpres) digelar di Indonesia. Dua terakhir terjadi pada 10 Agustus dan 9 September. Pada supermoon Agustus, Bulan akan berada pada jarak terdekat dengan Bumi pada tahun 2014, yakni 356.896 kilometer.

Omong Kosong

Pola pikir astrolog yang mengaitkan fenomena benda langit dengan ramalan, nasib manusia atau kejadian di Bumi tentu saja berbeda dengan pendapat para astronom dan ilmuwan yang berdasar pada sains. Dan tingginya korelasi tidak selalu berarti sebab akibat.

Kaitan antara supermoon dan bencana ditepis kuat-kuat oleh Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin. “Dengan ramalan bencana sesungguhnya tidak kaitannya. Memang pada saat purnama, beberapa potensi bencana ada, tapi tidak selalu. Kecuali ada hal lain yang memperkuat,” kata dia saat diwawancara Liputan6.com.

Supermoon bukan berarti bencana. Pun dengan kejadian Tsunami Aceh 2004, yang terjadi terjadi 2 pekan sebelum supermoon 10 Januari 2005. “Kalau 2 minggu sebelumnya, posisi bulan bukan supermoon. Tapi hanya purnama biasa,” jelas dia.

Memang, bagi orang yang mempercayainya, supermoon bisa dikaitkan dengan bencana. Padahal, “dampak yang utama hanya pasang surut air laut. Efek lain mempengaruhi rotasi bumi, tapi kecil sekali nol koma sekian persen.”

Ditambahkan astronom itu, ‘supermoon’ adalah bahasa astrologi. “Bahasa astronominya disebut purnama terbesar (lunar perigee). Karena Bulan berada pada jarak terdekat dengan Bumi saat purnama tersebut.”

Pendapat yang sama juga diutarakan pakar gempa dari Puslit Geoteknologi LIPI, Danny Hilman Natawidjaja. Tak ada bukti ilmiah keterkaitan supermoon dengan bencana khususnya gempa dan tsunami. “Tak ada dasar ilmiah yang jelas, selain hanya gravitasi bulan yang sedikit lebih besar dari biasanya.”

Menurut Danny, harus dianalisa secara statistik hubungan bencana dan supermoon. “Jangan-jangan hanya kebetulan saja atau randomness,” tambah dia.

Namun yang jelas, ‘mitos abadi’ bahwa purnama atau supermoon berkaitan dengan bencana selalu bikin orang panik. ”Waktu gempa di Mentawai kan kebetulan ada purnama, jadi orang setiap lihat purnama takut. Nggak bener itu kan?”

Fenomena lunar perigee pada Sabtu 19 Maret 2011 malam juga sempat membuat resah warga di Pidie, Lhokseumawe, dan Langa di Bireuen, Aceh. Terjadi kepanikan warga saat melihat air laut merendam pemukiman warga yang dekat dengan bibir pantai. Mereka panik, mengira terjadi tsunami.

Warga berebut naik ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Dilaporkan, dua warga di Pidie meninggal dunia akibat isu tsunami. Karena serangan jantung dan darah tinggi.  

Danny meluruskan, bencana itu ada siklusnya sendiri. “Tak ada pemicu pun dia meletus. Misalnya, ada sumber gempa bumi yang energinya penuh maka terjadi lindu,” kata dia. “Gempa bumi dan gunung api punya sistem geologinya sendiri. Dia berdiri sendiri, akan terjadi tanpa gangguan dari luar. Terjadi sendiri.”

Profesor George Helffrich, seorang seismolog di University of Bristol juga membantah mentah-mentah. “Omong kosong. Bulan tak punya efek signifikan untuk memicu gempa,” kata dia.

Kata dia, seandainya Bulan punya kemampuan mengundang gempa besar, “ia akan memicu jutaan kali lebih banyak lindu kecil yang biasa terjadi tiap hari di Bumi.”

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun angkat bicara. Jim Garvin, kepala ilmuwan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland menjelaskan, supermoon terjadi saat Bulan sedikit mendekat ke Bumi daripada rata-rata. Efek ini paling terlihat saat terjadi bulan purnama. “Bulan akan terlihat lebih besar, meski perbedaan jarak dari Bumi hanya beberapa persen di banding biasanya,” kata dia seperti dimuat situs Space.com.

Kata dia, efek bulan terhadap bumi telah lama menjadi subyek studi. Hasilnya, “Efek supermoon terhadap Bumi kecil. Dan menurut studi detil para seismolog dan vulkanolog, kombinasi antara supermoon dan bulan purnama tidak mempengaruhi energi internal keseimbangan di Bumi.” Meski bulan berkaitan dengan kondisi pasang surut Bumi, itu tidak mampu memicu gempa besar yang mematikan.

Kekuatan sejatinya justru berada di planet manusia itu sendiri. “Bumi menyimpan energi di balik lapisan luar atau keraknya. Perbedaan daya pasang surut yang diakibatkan Bulan (juga Matahari) tidak cukup mendasari munculnya kekuatan besar dari dalam Bumi.”

Gravitasi Bumi Versus Bulan

Minggu 14 April 1912 malam, laju anggun pelayaran perdana Titanic di lautan Atlantik Utara dihentikan sebuah penghalang besar: gunung es. Kapal terbesar dan termewah di zamannya itu karam dan menyebabkan 1.517 orang tamat di laut. Kisah muramnya menjadi kenangan sepanjang masa.

Dalam majalah Sky & Telescope edisi April 2012, astronom dari Texas State University, David Olson dan Russell Doescher mengklaim menemukan ‘keterlibatan langit’ dalam bencana tersebut.

Menurut mereka, karamnya Titanic diduga terkait dengan fenomena langit yakni supermoon yang berbarengan dengan pasang purnama dan perihelion Bumi -- titik di mana planet manusia berada dalam jarak terdekatnya dengan Matahari yang terjadi pada 4 Januari 1912.

Peristiwa itu konon menyebabkan pasang surut ekstrem yang konon bisa mencopot sejumlah gunung es dan melemparkannya ke arus laut. Salah satunya di selatan Newfoundland, lokasi kejadian tenggelamnya Titanic.

Jika perhitungan 2 astronom tepat, maka 4 Januari 1912 adalah malam yang luar biasa.  Pertama, perigee bulan, atau titik terdekat dengan Bumi adalah yang paling ekstrem dalam 1.400 tahun. Peristiwa itu terjadi 6 menit dari waktu purnama.

Kedua, Bulan dan Matahari yang selaras malam itu menyebabkan tarikan gravitasi kedua benda langit itu bergabung. Sasarannya adalah Bumi. Menyebabkan gelombang pasang yang ketinggiannya abnormal atau 'spring tide'.

Dan terakhir, perihelion bumi yang terjadi sehari sebelumnya membuat tarikan gravitasi matahari di Bumi luar biasa kuat malam itu.

Namun, spekulasi tersebut dibantah ilmuwan lain. Salah satunya, adalah mengada-ada untuk menyimpulkan bahwa gelombang tinggi selama beberapa jam yang diakibatkan fenomena itu punya efek dramatis lebih dari 3 bulan sesudahnya.

John Bellini, ahli geofisika pada Badan Survei Geologi AS (USGS) juga skeptis dengan pendapat itu. “Sepertinya para penulis berusaha menggoda imaji kita dengan teori chaos mirip dengan skenario klasik bahwa sayap kupu-kupu yang beterbangan di satu tempat menyebabkan ribuan badai mematikan di area yang jauhnya berkilometer jauhnya dalam waktu beberapa minggu kemudian.” Tentu saja, itu tak mungkin kejadian.

Studi terbaru justru menunjukkan kekuatan gravitasi Bumi. Saking kuatnya daya tarik planet kita, ia menciptakan tonjolan kecil di permukaan Bulan. Tingginya sekitar 50 cm.

Perang tarik-menarik gravitasi antara Bumi dan Bulan ternyata cukup kuat untuk meregangkan kedua benda langit, sehingga masing-masing akhirnya memiliki bentuk sedikit oval, dengan ujung meruncing saling berhadapan.

Di Bumi, ketegangan gravitasi ini muncul dalam bentuk gelombang. Tarikan Bulan memiliki efek yang kuat pada lautan karena air memiliki sifat bebas bergerak.

”Deformasi bulan karena gravitasi  bumi sangat menantang untuk diukur, tapi belajar lebih banyak tentang hal itu memberi kita petunjuk tentang interior Bulan,” kata Erwan Mazarico, lmuwan yang bekerja di Goddard Space Flight Center NASA.

Soal kaitan Bulan dan bencana di Bumi, Deborah Byrd pendiri Earthsky.org mengatakan, sains memang tidak bisa menjawab dan menjelaskan segalanya. Tapi ingat, saat ini kita hidup di dunia yang rumit, yang memungkinkan informasi salah kaprah menyebar cepat lewat internet. “Membuat orang perlu merasa takut di setiap kesempatan,” kata dia.

Jadi, Anda masih percaya supermoon bisa memicu malapetaka?

Baca selanjutnya: Misteri Bulan Purnama dan Kegilaan Manusia...

Misteri Bulan Purnama dan Kegilaan Manusia

Bulan purnama
Bulan purnama (NASA/Bill Ingalls)

Misteri Bulan Purnama dan Kegilaan Manusia

Oleh: Alexander Lumbantobing, Tanti Yulianingsih

Tiongkok punya cita-cita setinggi langit: membangun ‘istana’ di Bulan. Baru-baru ini, Xie Beizhen, Wang Minjuan, dan Dong Chen -- yang satu-satunya pria, melangkahkan kaki keluar dari  kapsul kabin Lunar Palace 1, setelah hidup di dalamnya selama 150 hari. Menjadi relawan simulasi misi jangka panjang ke Bulan.

Lunar Palace 1 adalah bagian dari fasilitas riset  Permanent Astrobase Life-support Artificial Closed Ecosystem (PALACE) yang berada di Beijing University of Aeronautics and Astronautics. Berupa kapsul berukuran 500 meter kubik, yang meliputi area seluas 160 meter persegi.

Lunar Palace 1 terdiri dari 1 modul terintegrasi dan 2 modul budidaya tanaman jagung, kacang tanah, lentil, dan tanaman merambat sejenis mentimun. Proses biofermentasi di sana mengubah sisa makanan dan kotoran manusia menjadi pupuk tanaman.

Penelitian dilakukan agar para taikonaut , sebutan untuk astronot Tiongkok, yang ditugaskan di Bulan mendapatkan sayuran segar, kondisi hidup yang relatif baik. Agar tak stres tinggal berjauhan dengan para kerabat dan keluarga di Bumi.

“Keberhasilan penelitian Lunar Palace 1 memainkan peran penting dalam misi masa depan seperti pendaratan awak di Bulan dan membangun pangkalan di sana, sampai eksplorasi Mars,” demikian tertera dalam situs China Manned Space Engineering (CMSE), yang dimuat SPACE.com, 16 Juni 2014.

 

 

Sebelumnya, pada Senin 2 Desember 2013 pukul 01.30 waktu setempat, China membuat sejarah baru dalam bidang antariksa dengan meluncurkan misi pendaratan di Bulan. Chang’e-3 lepas landas dari Xichang Satellite Launch Center lalu melepaskan rover Yutu ke permukaan satelit Bumi.

Rusia tak mau ketinggalan. Bulan kembali jadi target untuk mengembalikan kejayaan negara itu di angkasa. Pada masa lalu, Uni Soviet menjadi perintis penjelajahan ke Bulan melalui program Luna, sebelum kalah telak dengan misi Apollo Amerika Serikat.

Kabarnya, Moskow berencana mengirimkan para kosmonot ke satelit Bumi itu. Mereka dijadwalkan tinggal lama dan akan kembali ke Bumi pada tahun 2030. Demikian isi dokumen strategi yang bocor dari Badan Antariksa Rusia, Roscosmos.

Ide Jepang tak kalah gila. Perusahaan minuman Pocari Sweat mengumumkan rencana mereka untuk mengirimkan kaleng yang didesain khusus, dibuat dari Titanium, dan berukir banyak pesan ke permukaan Bulan pada 2015. Menjadi iklan komersial pertama.

Pesan yang ditulis tangan dikumpulkan dari anak-anak Jepang dan pengguna internet, akan disimpan sebagai data dalam 120 lempeng titanium yang dikemas sebuah kapsul pendarat yang disebut ‘dream capsule’ atau ‘kapsul mimpi’. Otsuka Pharmaceutical, nama perusahaan itu, mengatakan, kapsul tersebut akan diluncurkan dari Florida pada Oktober 2015. Digendong roket Falcon 9 milik perusahaan SpaceX milik  triliuner Elon Musk.

Lantas, bagaimana dengan Amerika Serikat? AS, yang berhasil mengirim manusia pertama ke Bulan pada 20 Juli 1969, telah ‘membunuh’ program Constellation, yang salah satunya berniat mengulang kembali keberhasilan Neil Armstrong Cs.

Badan Antariksa AS (NASA) punya ambisi baru: mengkoloni Planet Mars. Kepala ilmuwan NASA, Ellen Stofan mengatakan, “Menempatkan manusia di permukaan Planet Merah adalah cara yang saya pikir bisa meyakinkan bahwa kehidupan pernah ada di sana. Kita sedang bicara tentang para perintis di Mars, bukan hanya sekadar menjelajah. Sebab, sekali bisa ke sana, kita akan menyiapkan semacam perwakilan permanen.” Wuih..!

Misteri Bulan

Bulan selalu memancarkan pesonanya. Tak hanya mendorong manusia memajukan teknologi untuk berkunjung di sana. Sejak dahulu kala, posisinya yang menonjol di langit malam dan fasenya yang teratur banyak mempengaruhi budaya manusia: bahasa penanggalan, seni, juga mitologi.

Rembulan juga menyimpan rahasia.

Salah satunya tentang asal usul pembentukannya. Bulan lahir sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, tak lama setelah pembentukan Bumi. Ada banyak teori soal itu. Salah satunya, benda langit diduga terbentuk dari tabrakan dahsyat antara Bumi dengan planet Theia. Puing dan debu dua planet itu bercampur membentuk Bulan.

Teori lain menyebut, Bumi mencuri Bulan dari Planet Venus. Planet Venus dulu diduga memiliki Bulan, namun kemudian kehilangan. Satelit itu lalu tertangkap gravitasi Bumi.  

Karena jaraknya yang relatif dekat, sejumlah negara juga mengincar Bulan sebagai wilayah koloni. Sedang dicari tahu apakah syarat-syarat kehidupan tersedia di sana. Terutama air. Namun, niatan itu terganjal aturan hukum. Meskipun panji-panji Luna Uni Soviet tersebar di Bulan, dan bendera Amerika Serikat secara simbolis ditancapkan di lokasi pendaratan misi Apollo, Perjanjian Luar Angkasa pada tahun 1967 menyatakan bahwa Bulan dan keseluruhan luar angkasa adalah “provinsi bagi seluruh umat manusia”. Bukan wilayah sebuah negara.

Juga terus dicari tahu soal kaitan fase bulan -- terutama purnama --dengan hal-hal menyangkut penduduk Bumi, terutama manusia. Soal fisik juga kewarasan. Atau disebut juga dengan 'efek Transylvania'. Omong-omong, kata gila dalam bahasa Inggris, lunacy, berakar dari kata bulan dalam bahasa yang sama, lunar.

 

 

 

Pada 1996, Ivan Kelly, James Rotton dan Roger Culver memeriksa lebih dari 100 penelitian dampak bulan. Mereka menyimpulkan penelitian-penelitian itu gagal menunjukkan korelasi antara munculnya bulan purnama dengan angka pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, telepon darurat kepada polisi atau pemadam kebakaran, kekerasan dalam rumah tangga.

Kemudian kelahiran bayi, bunuh diri, bencana besar, hasil permainan kasino, penculikan, kekerasan pemain hoki, kekerasan dalam penjara, peningkatan pasien penyakit jiwa, perilaku menyebalkan di panti jompo, serangan, luka tembakan, penikaman, pasien gawat darurat, meledak-ledaknya orang dewasa yang bermasalah kejiwaan, melindur, dan epilepsi.

Jika sedemikian banyaknya penelitian telah gagal membuktikan korelasi yang berarti antara bulan purnama dengan apapun, lalu kenapa banyak sekali orang yang mempercayai mitos Bulan ini?

Salah satunya adalah peran media yang dianggap memperpanjang mitos Bulan -- dengan menampilkannya dalam film dan karya-karya fiksi. “Dengan begitu kerapnya pengulangan dalam media tentang hubungan bulan purnama dengan perilaku manusia, tidaklah mengherankan kepercayaan itu merebak luas di masyarakat,” kata ketiga peneliti itu.

Faktor lain adalah hikayat dan tradisi yang diyakini secara turun-temurun. Beberapa orang juga mengira sinar bulan mempengaruhi kesuburan wanita, sebagaimana halnya pada terumbu karang. Namun demikian, sejumlah penelitian ilmiah tidak dapat menemukan korelasi yang berarti antara bulan purnama dan jumlah kelahiran. Salah satunya, berdasarkan studi tahun 2001 di Bulletin of the American Astronomical Society, yang menelaah 70 juta kelahiran di AS, tak ditemukan kaitan antara fase bulan dan kelahiran anak manusia.

Orang sejak lama juga percaya para wanita mengeluarkan darah sesuai dengan irama bulan. Tapi peradaban dan lampu listrik dalam ruangan, atau bahkan penemuan api oleh manusia purba, telah mengganggu siklusnya.

Mitos mungkin juga muncul dari kesalahpahaman. Fakta bahwa tubuh manusia -- seperti halnya Bumi-- sebagian besar atau sekitar 80 persen, terdiri dari air telah menimbulkan anggapan Bulan memiliki pengaruh yang kuat pada tubuh manusia, dan karenanya berdampak kepada perilaku.

Pendapat itu terbukti salah kaprah. Bulan hanya berdampak kepada badan air yang tidak terkungkung, sedangkan air terperangkap di dalam tubuh manusia.

Terkait kewarasan, review yang dipublikasikan di jurnal Psychological Bulletin tahun 1985 menyebut, berdasarkan pelacakan data rumah sakit, gangguan kejiwaan, pembunuhan dan kejahatan lainnya ditemukan, tak ada indikasi hal-hal itu memuncak saat bulan purnama.

Meski demikian, Bulan mungkin punya pengaruh pada hewan. Pada tahun 2007, studi tentang cedera pada hewan yang dipublikasikan dalam Journal of the American Veterinary Medical Association menemukan kunjungan darurat ke dokter hewan untuk kucing 23 persen lebih tinggi pada hari-hari sekitar bulan purnama. Sementara untuk anjing naik 28 persen.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya