Buronnya Polisi Berekening Gendut

Polisi berekening gendut membuat gemas suku asli Sorong, Papua Barat, Moi.

oleh Katharina Janur diperbarui 04 Feb 2015, 00:05 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2015, 00:05 WIB
Kisah Polisi Berekening Gendut
Polisi berekening gendut membuat gemas suku asli Sorong, Papua Barat, Moi.

Liputan6.com, Jakarta - Aiptu Labora Sitorus tak henti menuai sensasi. Kali ini sang polisi berekening fantastis, Rp 1,5 triliun itu bahkan membuat gemas suku asli Sorong, Papua Barat, Moi.

Anggota Polres Raja Ampat, Papua Barat, yang juga terpidana kasus rekening gendut itu masuk daftar pencarian orang (DPO) alias buronan sejak Maret 2014 lalu.

Keberadaan sang polisi telah terendus. Labora diduga masih berada di Sorong, Papua Barat. Meski begitu, dirinya tak kunjung bisa dieksekusi.

Hal inilah yang membuat Suku Moi ‘gerah’. Mereka menilai, pihak Kejaksaan Negeri Sorong dan kepolisian takut mengesekusi Labora Sitorus karena dilindungi oknum tertentu. Suku Moi juga mengancam akan mengerahkan massa jika pihak kejaksaan dan kepolisian tidak segera mengesekusi Labora 

Namun Kejaksaan Tinggi Papua berkata lain. Dia mengaku, pihaknya serius mengurusi masalah ini. Tim khusus untuk menangkap Labora bahkan kini telah terbentuk. Kepala Kejati Papua, Herman da Silva mengatakan tim yang berjumlah 8 orang tersebut akan membantu kepolisian setempat dalam menangkap dan mencari LS.

"Tim juga akan mem-back-up Kejari Sorong. Saat ini kedelapan orang itu telah berada di Sorong," kata Herman Senin, 2 Februari 2015.

"LS masih berada di wilayah Sorong. Saat ini kami terus melakukan koordinasi kepada Polda Papua Barat, Polres Sorong, dan Lapas Sorong. Tinggal menunggu eksekusi di waktu yang tepat," imbuh dia.

Surat dan Eksekusi

Selama buron, Labora dikabarkan mengantongi surat pembebasan. Surat itulah yang digunakannya sebagai dalih untuk bisa bebas.

Menjawab kabar itu, Kejaksaan Tinggi Papua mengklaim surat tersebut telah gugur demi hukum. Kepala Kejati Papua, Herman Dasilva mengatakan, surat yang dipegang oleh LS adalah berita acara pengeluaran tahanan karena bebas demi hukum bernomor W31.PAS.PAS/02-PK.01.01.01/2014.

Di dalam surat itu menyebutkan, membebaskan LS demi hukum dan tidak ada lagi alasan dasar hukum yang melindungi penahanan lebih lanjut. Surat tersebut ditandatangani pada 24 Agustus 2014 oleh Isak Wanggai yang saat itu bertugas sebagai Pelaksana Harian Kalapas Klas II B Sorong.

Namun surat itu gugur setelah Mahkamah Agung mengeluarkan putusan hukum LS 15 tahun penjara.

"Jadi tidak usah diungkit lagi terkait surat tersebut dan tidak berlaku. Surat ini di-close dan yang berlaku adalah putusan MA," tutur Herman.

Meski begitu, dia berjanji akan tetap melakukan eksekusi damai terhadap Labora dan keluarga.

Rencananya, Kodam XVII/Cenderawasih dan Lantamal X Jayapura juga akan dilibatkan dalam eksekusi ini. Namun dia enggan membeberkan kapan dan di mana eksekusi bakal dilaksanakan.

Labora yang kini diketahui tinggal di sebuah rumah di daerah Sorong itu diduga dibantu oleh beberapa oknum penegak hukum dalam lingkungan ‎lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sorong.

Hal ini pun membuat geram Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly geram mendengar kabar tersebut. Dia menegaskan, hal tersebut tidak bisa dibiarkan.

Yasonna menyatakan, akan memberikan sanksi tegas jika nanti dalam penyelidikan terbukti ada oknum penegak hukum yang membantu LS.

"Saya juga kaget, kok ada surat pembebasan. Itu ndak bisa ditolerir. Berarti ada satu jaringan yang melindungi beliau (LS)," kata Yasonna.

LS masuk dalam daftar pencarian orang oleh Kejari Sorong setelah kabur dari tahanan setempat pada Maret 2014 silam. LS divonis 15 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar, setelah melakukan banding ke Mahkamah Agung dalam kasus pencucian uang dan penyelundupan BBM.

Labora Sitorus dijatuhi hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh Pengadilan Negeri Sorong pada akhir 2013 lalu. Namun Kejaksaan Tinggi Papua melakukan banding dan diputus 8 tahun penjara.

Dengan adanya banding tersebut, LS melakukan kasasi dan turunlah putusan Mahkamah Agung tertanggal 17 September 2014 dengan hukuman penjara 15 tahun dan denda Rp 5 miliar. (Ndy/Riz)

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya