'Bisikan Gaib' dan Ratu Niang Datu di Muka Rumah Angeline

Pengakuan dan saling tuding mengalir dari para pihak. Siapa pelaku dan dalang pembunuhan Angeline?

oleh SunariyahDewi Divianta diperbarui 22 Jun 2015, 20:19 WIB
Diterbitkan 22 Jun 2015, 20:19 WIB
Angeline (Liputan6.com)
Angeline (Liputan6.com)

Liputan6.com, Sanur - Ketut Ruta gundah. Delapan hari setelah sembahyang bulan purnama digelar di sekolah, petunjuk tentang keberadaan Angeline belum juga didapat. Bocah ayu yang duduk di kelas 2 SDN 12 Sanur, Bali, itu bak hilang ditelan Bumi.

Angeline dilaporkan hilang pada 16 Mei 2015. Ruta bersama guru lainnya dan juga aparat keamanan pernah mencari muridnya itu dengan menyusuri jalan yang biasa dilalui bocah itu saat bersekolah, tapi tak ada jejak yang ditemukan.

Rasa penasaran yang semakin memuncak, menuntun Ruta dan rekan guru di sekolahnya mendatangi seorang balian (orang pintar) di Waturenggong, Denpasar, Bali. Kepada sang balian, Kepala Sekolah SDN 12 Sanur itu meminta tolong untuk mencari tahu keberadaan anak didiknya lewat ilmu kebatinan.

Sang balian pun mengungkapkan bahwa Angeline adalah anak angkat dan ayah angkatnya adalah orang asing dan sudah meninggal. “Angeline sekarang tinggal bersama ibu angkatnya yang orangnya keras,” kata Ruta menirukan ucapan sang balian kepada Liputan6.com, Senin 22 Juni 2015.

Usai memaparkan siapa Angeline, sang balian menyuruh Ruta menggelar sembahyang di pura dekat rumah Angeline. “Dia masih ada di sana,” ujar balian itu tanpa mengungkapkan apakah Angeline masih hidup atau sudah tiada.

“Angeline diemban (diasuh) Ratu Niang Datu,” kata sang balian lagi. Ratu Niang Datu menurut si balian adalah penguasa pura di depan rumah Angeline yang disebut Pura Persinggahan Batu Bolong.

Agar Ratu Niang Datu mau melepas Angeline, ucap sang balian, Ruta harus mempersembahkan lekesan yakni alat untuk nginang atau makan sirih, ketela, dan kopi tanpa gula. Tak lupa canang atau bunga-bunga untuk sesajen.

Tak mau membuang waktu hari itu juga, Selasa 9 Juni 2015 pukul 12.00 Wita, Ruta dang guru-guru SDN 12 Sanur menggelar sembahyang di Pura Persinggahan Batu Bolong. Tak lama berada di pura, tiba-tiba Ruta kesurupan.

(Foto:Dewi Divianta)


“Ada roh masuk dalam tubuh saya,” ucap Ruta. Dalam keadaan kesurupan, Rute meletakkan lekesan dan saat itu juga spontan guru-guru Angeline berteriak memanggil 'Angeline, Angeline'.

Mereka berteriak memanggil nama Angeline setelah mendengar jeritan halus bocah itu. "Ada suara 'Maaaaa'. Teriakannya panjang, suaranya lembut, halus seperti suara Angeline," ujar Wali Kelas Angeline yang ikut sembahyang, Putu Sri Wijayanti. Mereka yakin itu suara Angeline. Namun, tidak tahu dari mana datangnya suara itu.

Menuntaskan sembahyang, Ruta harus memercikkan air suci di pura dan kamar Angeline. Di pura tak ada masalah. Namun, air suci tak bisa dipercikkan ke kamar Angeline.

Ibu angkat Angeline, Margriet Megawe, tidak membolehkan siapapun masuk rumahnya. Walaupun itu sekedar memercikkan air suci.

Ruta mencari akal. Dia meminta bantuan intel dan petugas Polresta Denpasar agar bisa masuk ke rumah Margriet. Melalui negosiasi panjang akhirnya Ruta dan petugas diperbolehkan masuk pukul 15.00 Wita ke kamar Angeline untuk memercikkan air suci.

Ruta memercikkan air suci di kamar Angeline sambil memanggil nama bocah itu 3 kali. “Saat itulah saya dapat tanda-tanda Angeline akan ditemukan,” ujar Ruta melalui sambungan telepon dari Bali. Saat itu, ujar Ruta, dia mendengar bisikan gaib bahwa Angeline akan ditemukan.

Tak hanya mendapat bisikan, malam harinya Ruta mengaku bermimpi dan diberitahu bahwa Angeline masih ada di rumah ibu angkatnya. “Tapi (Angeline) tidak bisa berkomunikasi,” jelas Ruta.

Esok harinya, Rabu 10 Juni 2015, intel dan satpam yang berjaga di rumah ibu angkat Angeline, melihat ada gundukan tanah di halaman belakang rumah. Gundukan tanah itu berada di dekat kandang ayam dan di antara pohon pisang. Intel dan satpam curiga, sebab gundukan tanah itu tidak lazim, di atasnya ada tumpukan kotoran ayam dan tercium bau busuk menyengat.

Hal ini langsung dilaporkan ke Polresta Denpasar. Siang itu juga, petugas polisi mendatangi rumah ibu angkat Angeline yang terletak di Jalan Sedap Malam Nomor 26 Sanur, dan langsung membongkar gundukan itu.

Setelah menggali setengah meter, polisi menemukan ada bungkusan dengan kain, di dalamnya ada jenazah manusia. "Angeline sudah ditemukan, tapi dalam keadaan tidak bernyawa,” ujar Kapolda Bali Irjen Pol Ronny F Sompie.

Lokasi pembunuhan bocah Angeline di Bali (Liputan6.com/ Dewi Divianta)


Jasad Angeline ditemukan terkubur dalam kondisi mengenaskan. Posisinya telungkup sambil memeluk boneka. Di leher bocah berparas ayu itu, ditemukan seutas tali yang ikut terkubur dan ada bekas jeratan. Tidak hanya itu, dari hasil outopsi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar, ditemukan banyak bekas luka lebam di jasad Angeline.

Bekas luka yang memenuhi tubuh Angeline menjadi saksi bisu atas kejahatan dan kekerasan yang dialami bocah 8 tahun itu semasa hidup. Bahkan menjelang kematiannya, bocah itu masih mendapat siksaan hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya karena tak kuat menahan derita.  

Dalam pengakuannya kepada penyidik, mantan pembantu dan penjaga rumah Margriet yang kini telah menjadi tersangka, Agustinus Tae Mandamai, mengungkapkan, beberapa jam sebelum Angeline dilaporkan hilang, dia mendengar suara bocah itu menjerit dari dalam kamar ibu angkatnya.

Hari itu tanggal 16 Mei 2015, Angeline tengah berada di dalam kamarnya. Terdengar teriakan Margriet memanggil nama bocah itu. Angeline pun langsung berlari menuju kamar ibu angkatnya.

Selang 10 menit kemudian, Margriet berteriak menyebut-nyebut nama Angeline. Suaranya seperti meratapi sebuah penyesalan yang luar biasa. Tak lama, dia pun memanggil Agus.

Agus Tae lagi-lagi merubah pengakuannya. Kali ini Agus mengatakan bahwa pembunuh Angeline sebenarnya adalah Margriet Megawe.


Pengacara Agus, Haposan Sihombing menuturkan, kliennya saat itu melihat Angeline tergeletak di lantai dengan posisi miring. Tangannya masih bergerak. Pada saat itulah Margriet memerintahkan Agustinus memperkosa Angeline. Namun, Agus menolak melakukannya.

Margriet, kata Haposan, tetap memaksa Agustinus memerkosa Angeline yang terlihat sudah tak bernyawa. Tapi, sekali lagi Agus menolaknya.
 
"Kemudian Agustinus disuruh mengambil sprei dan membungkus tubuh Angeline yang sudah tak bernyawa, mengambil boneka dan menguburnya," kata Haposan menceritakan pengakuan Agustinus.

Margriet meminta Agus mengubur jasad Angeline di halaman belakang dekat kandang ayam. Usai penguburan, Margriet menyuruh Agustinus pergi melarikan diri. Margriet kemudian melapor ke polisi bahwa anak angkatnya hilang saat bermain di depan rumah.

Tangis Pilu Angeline dan Biskuit Kedaluwarsa

Tangis Pilu Angeline dan Biskuit Kedaluwarsa

Angeline diasuh oleh Margriet sejak usianya masih 3 hari. Ibu kandung Angeline, Hamidah, menuturkan, ia melahirkan anak keduanya yang kemudian diberi nama Angeline oleh Margriet pada 19 Mei 2007.

Hamidah melahirkan Angeline di Rumah Sakit Tibu Beneng, Canggu, Kuta Utara, Bali. Setelah sang bayi lahir, ayahnya, Rosidik (29), ternyata tidak memiliki uang untuk biaya persalinan. Di tengah kebuntuan itu, pada 21 Mei 2007, seorang tetangga kos Rosidik bernama Elly menyarankan agar anak yang baru lahir itu diadopsi orang lain, supaya anak dan istrinya bisa keluar dari rumah sakit.

"Mas, daripada sampeyan tidak bisa bawa anak istri keluar rumah sakit, ayo saya kenalkan sama orang yang bisa membantu kamu mas. Orang itu ingin sekali punya anak," kata Rosidik menirukan ucapan tetangganya saat itu kepada Liputan6.com di Denpasar, Kamis 18 Juni 2015.

Rosidik, yang hanya bekerja serabutan, mendiskusikan tawaran Elly kepada istrinya. Akhirnya dengan berat hati, Hamidah menerima tawaran itu. Rosidik pun kemudian menemui calon orang tua angkat anaknya yang bernama Margriet.

"Saya bertemu Margriet tanggal 21 Mei 2007 sekitar pukul 08.00 Wita. saya diberi uang Rp1,8 juta. Rp 800 saya gunakan untuk membayar rumah sakit dan 1 juta untuk pengobatan istri saya setelah melahirkan," kenang Rosidik.

Proses adopsi itu kemudian tercatat dalam sebuah surat perjanjian, yang salah satu isinya berbunyi, Rosidik dan Hamidah tidak boleh menemui anaknya sampai si anak berumur 18 tahun.

Setelah mengadopsi bayi yang dalam beberapa dokumen ditulis bernama Engeline itu, Margriet mengizinkan Rosidik dan Hamidah tinggal di rumahnya di Jalan Pantai Berawa, Babakan, Canggu, Kuta Utara selama satu minggu.

"Rumahnya ada dua di Canggu. Waktu itu saya disuruh tinggal di rumah yang sedang direnovasi selama seminggu. Setelah itu saya tidak pernah bertemu lagi dengan anak saya ataupun Margriet," ucap Rosidik.

Ayah kandung Angeline itu mengaku tidak tahu apakah rumah yang ditempatinya itu milik Margriet atau bukan. Tapi, kata Rosidik, dia pernah datang ke rumah Margriet di Jalan Sedap Malam untuk menengok anaknya yang saat itu masih berusia beberapa bulan.

“Tapi saya tidak diizinkan bertemu anak saya. Alasannya anak saya sedang tidur," kenang Rosidik. Sejak itu, Rosidik dan Hamidah tak pernah menemui anaknya sampai kabar duka tentang kematian Angeline mampir ke telinga mereka.

"Ketemu anak saya aja tidak pernah boleh, saya sangat menyesal dan tidak menyangka Margriet setega itu terhadap anak saya," ucap Rosidik dengan mata berkaca-kaca.

Hamidah sendiri sangat yakin, anaknya dibunuh oleh ibu angkatnya sendiri. "Perempuan itu yang membunuh anak saya," katanya sambil berurai airmata.

18 Adegan diperagakan tersangka pembunuh Nageline, yang bekerja sebagai penjaga rumah dan pemberi makan ternak peliharaan.


Kepala lingkungan tempat Margriet tinggal, Ketut Sutapa mengatakan, Margriet dan keluarganya tinggal di Sanur sejak 11 September 2007. Ia mengontrak tanah yang ditempatinya selama 20 tahun. “Harga sewanya Rp 1 juta per meter waktu itu,” ujar Sutapa.

Kepada tetangga, Margriet mengaku berbisnis mebel bekas hotel dan kantor. Sutapa pernah mendengar Margriet dan suaminya, warga negara Amerika Serikat bernama Douglas Scarborough, memiliki vila di kawasan Canggu, Badung, dan sejumlah properti di wilayah Bali.

Warga sekitar sesungguhnya tak mengetahui banyak tentang Margriet dan keluarganya. Sebab, keluarga itu sangat tertutup. Wahidah, tetangga Margriet, mengatakan hanya bertemu dengan ibu dua anak itu saat dia menjemput Angeline yang tengah bermain bersama anaknya, Nazwa.

"Bu Telly jarang bersosialisasi dengan tetangga. Dia keluar rumah paling kalau jemput Angeline yang lagi main di rumah saya," ujar Wahidah.

Karena sangat tertutup, warga tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Angeline. Masyarakat hanya mengetahui Angeline pernah mengecap masa-masa bahagia saat usianya masih balita. Kehidupan manis Angeline itu terlihat dari foto-foto yang dipasang keluarganya di Facebook saat Angeline dilaporkan hilang.

(Facebook)


Tapi kehidupan yang pernah manis itu tak mampu menyapu kenangan pilu tentang Angeline. Setelah duduk di bangku sekolah, bocah malang itu dilaporkan sering mengalami siksaan. Bahkan di usianya yang masih 8 tahun, dia mengemban tugas berat layaknya orang dewasa.

Wali kelasnya, Sri, mengungkapkan, saban pagi sebelum sekolah Angeline harus memberi makan 50 ekor ayam dan membersihkan kandang-kandang ayam itu. Dia juga bertugas membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan merawat anjing dan kucing piaraan Margriet.

Gara-gara tugas berat ini, kata Sri, Angeline selalu terlambat ke sekolah dan tak pernah mengerjakan PR. Tak jarang bocah itu tiba di sekolah dalam keadaan kucel, bau kotoran ayam, dan kelaparan. Sri yang tak tega melihat kondisi anak didiknya, beberapa kali memandikan dan memberi makan Angeline di sekolah.

Sekolah Angeline, SDN 12 Sanur, Bali. (Liputan6.com/Dewi Divianta)       

Tiga kerabat Margriet yang menjadi saksi dalam kasus kematian Angeline yakni Francky Alexander Maringka (46), Yuliet Christien (41), dan Loraine (58), mengaku sering melihat Angeline disiksa oleh ibu angkatnya saat mereka tinggal di rumah Margriet pada Desember 2014 hingga Maret 2015.

Francky mengatakan, jika Angeline berbuat salah atau tidak mengerjakan tugas dari ibu angkatnya, bocah malang itu hanya diberi makan sekali dalam sehari. Bahkan hanya diberi mi kering.

"Kalau Angeline melakukan pekerjaan dengan baik baru dia bisa makan dengan lauk ikan dan lainnya," ungkap Francky di Mapolda Bali, Kamis 18 Juni 2015.

Pernah suatu ketika Angeline yang sedang tidur dibangunkan oleh Margriet gara-gara 1 ekor anak ayamnya tidak kelihatan.

"Waktu itu Angeline dimarahi sambil dipukul menggunakan potongan bambu. Saya berusaha menolong Angeline yang menangis dan kesakitan tapi Margriet bilang, ‘terserah saya mau apain anak ini. Saya yang kasih makan dia’," ucap Francky menirukan Margriet.

Tempat jenazah bocah Angeline ditemukan terkubur. (Liputan6.com/Dewi Divianta)



Dia juga mengungkapkan, selama tiga minggu Angeline diantar ke sekolah menggunakan mobil. Tapi pulangnya jalan kaki. Setelah tiga minggu itu, Angeline berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Padahal jarak antara rumah dan sekolah 2 kilometer.

Yuliet Christien mengungkapkan, pernah melihat seluruh badan Angeline penuh luka lebam. Tapi Angeline tidak pernah bercerita tentang lukanya itu. “Saya sering dengar Angeline menangis di kamarnya," kata Yuliet.

Sementara Loraine mengungkapkan, Angeline pernah makan biskuit kadaluarsanya. "Waktu saya coba makan satu, rasanya sudah tidak enak. Lalu saya tanya kepada Angeline siapa yang memberikan biskuit itu. Angeline jawab, 'mama'," ucap Yuliet.

Menurut Yuliet, Angeline sebenarnya anak periang, jujur, dan cenderung cerdas. Tapi karena tekanan luar biasa dari ibu angkatnya, membuat Angeline menjadi anak pendiam dan tidak riang.

Kini Angeline sudah tiada. Jasadnya telah beristirahat tenang di kampung halaman orangtua kandungnya di Banyuwangi, Jawa Timur.

Kendati demikian, polisi terus mendalami kasus kematian Angeline untuk mengungkap siapa sebenarnya pembunuh bocah malang itu.

Polisi telah memeriksa 25 saksi dengan saksi mahkota atau saksi kunci adalah Agustinus -- yang juga jadi tersangka pembunuhan. Sementara ibu angkat Angeline, Kapolda Bali Inspektur Jenderal Ronny F Sompie mengatakan, masih harus mencari satu bukti kuat lagi untuk bisa menjerat wanita itu sebagai tersangka. Meski sebelumnya Margriet telah ditetapkan sebagai tersangka penelantaran anak.   
 
Selain keterangan saksi, polisi telah mengumpulkan beberapa bukti antara lain sehelai kain putih usang dan sebilah kayu ukuran 2 meter serta beberapa properti toilet yang diambil dari rumah Margriet. Polisi juga telah mengambil sampel bercak darah yang ditemukan tercecer di kamar Margriet dan kamar Agus. Bercak darah itu kini tengah di tes DNA.

Menurut Ronny, kasus pembunuhan Angeline akan dituntaskan karena kasus ini tidak hanya menjadi perhatian nasional, tapi juga internasional.

Dibunuh karena Warisan?

Dibunuh karena Warisan?

Sepucuk akta pengangkatan anak dikeluarkan pada 24 Mei 2007 pukul 13.30 Wita. Yang menyebut bahwa Achmad Rosyidi (Rosidik, ayah Angeline) secara tulus dan ikhlas menyerahkan anak kandung mereka, anak perempuan yang lahir di Canggu pada 19 Mei 2007, ke tangan Margriet sebagai pihak kedua.

Pada pasal 1 disebutkan bahwaq Margriet sebagai pihak kedua telah mengangkat anak perempuan. Juga diterangkan bahwa anak perempuan itu akan menjadi ahli warisnya di kemudian hari dan dengan demikian akan ikut serta menerima warisan.

Sedangkan ahli waris dari pihak kedua akan dianggap dan menjadi ahliwaris dari anak yang diangkat tersebut, bila anak tersebut meninggal dunia tanpa meninggalkan surat wasiat.

Maka, di tengah belum jelasnya motif pembunuhan Angeline, motif warisan menyeruak.

"Dia diduga sengaja dibunuh karena dia pemegang warisan dari ayah angkatnya yang meninggal 2 tahun lalu sebanyak 60 persen," ungkap Siti Sapura dari Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TPA).

Ayah angkat Angeline yang dimaksud adalah Douglas. Dalam pernikahannya dengan Margriet, Douglas yang disebut-sebut bekerja sebagai konsultan di perusahaan minyak ternama, memiliki seorang anak bernama Christina. Namun meski hanya sebagai anak angkat, Angeline mendapat jatah warisan lebih besar.

Bagi keponakan-keponakannya Margriet adalah sosok penolong.



Nama Angeline bahkan telah dimasukkan sebagai salah satu ahli waris Margriet dan Douglas dalam sebuah akte. Tapi hingga sekarang, Margriet tidak pernah mendaftarkan akte itu ke Pengadilan Negeri Denpasar. Melalui pengacaranya, M Ali Salidikin, Margriet mengaku lupa mendaftarkan akte tersebut.

Meski nama Angeline terdaftar sebagai ahli waris, namun Margriet melalui penasihat hukumnya Hotma Sitompul, mengatakan tidak ada wasiat apa pun untuk Angeline dari suaminya Douglas.

"Tidak ada wasiat apa pun untuk anak-anak kandungnya maupun untuk anak angkat suami klien kami. Terkait pengangkatan anak, itu adalah keinginan dari klien kami sendiri," kata Hotma di Markas Polda Bali, Denpasar.

Dia mengatakan, pada kasus pembunuhan Angeline tidak ada kaitannya dengan warisan yang ditinggalkan oleh suami Margriet. Pada kesempatan itu Hotma juga meminta kopi akta (salinan akta) No 18 tentang pengangkatan Angeline tertanggal 24 Mei 2007 yang dibuat oleh Notaris Anneke Wibowo SH yang menurut dia disebarluaskan tanpa izin Margriet.
 
Hotma juga menegaskan, bahwa kliennya tidak membunuh Angeline. Justru kata Hotma, Margriet terpukul saat mengetahui anaknya ditemukan terbunuh dan dikubur di halaman belakang rumahnya.
 
Hotma meminta publik agar tidak langsung memvonis kliennya sebagai pembunuh Angeline. Semua itu harus bisa dibuktikan dalam pengadilan.  
 
Pengacara Margriet yang lain, Dion Pongkor mengatakan, kliennya menangis saat mantan pembantunya Agustinus Tae menuduhnya membunuh anak angkatnya, Angeline.  
 
Dion juga mengatakan, kliennya membantah apa yang dikatakan oleh 3 saksi baru yakni Francky, Yuliet, dan Lorraine.

"Klien kami tidak pernah memukul Angeline. Apalagi memberinya makanan tidak layak. Seperti yang mereka katakan itu," ucap Dio. (Sun/Ein)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya