Alasan Polisi Sulit Tangkap Pelaku Eksploitasi Anak

Butuh waktu minimal 2 bulan untuk mengungkap kasus-kasus tersebut.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 28 Mar 2016, 01:03 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2016, 01:03 WIB
20160325- Polres Jaksel Sindikat Perdagangan dan Eksploitasi Anak-Jakarta- Wahyu Hadiningrat-Faisal R Syam
Kapolres Jakarta Selatan Kombes Wahyu Hadiningrat (kanan) memberikan keterangan pers di Mapolres Jaksel, Jum'at (25/3). Wahyu meminta kepada masyarakat untuk terlibat aktif mengawasi perdagangan dan eksploitasi anak (Liputan6.com/Faisal R Syam)

Liputan6.com, Jakarta - ‎Aparat Polres Metro Jakarta Selatan mengungkap kasus eksploitasi anak dengan modus mengemis di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Para pelaku juga kerap membawa bayi untuk mengemis. Mereka bahkan mencekoki si bayi dengan obat penenang berbahaya.

Namun pemandangan tersebut sejatinya sudah sering kita jumpai di sudut-sudut Ibu Kota sejak lama. Mereka dengan leluasa beroperasi di perempatan-perempatan jalanan meski banyak petugas berlalu-lalang di sekitarnya‎.

‎Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Wahyu Hadiningrat mengatakan, tak mudah menangkap para pelaku eksploitasi anak di jalanan. Butuh waktu minimal 2 bulan untuk mengungkap kasus-kasus tersebut.

‎"Kasus ini unik dan seolah-olah gampang, karena ada di sekitar kita. Tapi faktanya di lapangan tak semudah itu. Ini kita butuh waktu 2 bulan," ucap Wahyu di Mapolres Metro Jakarta Selatan, Minggu 27 Maret 2016.


Menurut Wahyu, polisi yang ada di lapangan tidak bisa menangkap begitu saja para pengemis yang mengeksploitasi anaknya di jalanan. Petugas harus mendalami apakah anak-anak itu korban eksploitasi oleh orangtua kandungnya sendiri atau justru korban perdagangan orang.

"Kami tak bisa seenaknya bertanya 'apakah ini anak kamu?'. Karena semua pelaku pasti mengakui kalau ini anaknya, padahal ini belum tentu dia orangtuanya," tutur dia.

Dia menduga, para pelaku tak hanya melakukan satu jenis kejahatan saja. Ada beberapa kejahatan lain yang sangat mungkin dilakukan, seperti perdagangan orang, kekerasan terhadap anak, hingga memaksa bayi menenggak obat penenang yang berbahaya.

"Kami buktikan dulu apa pidananya. Sehingga bisa ditemukan bahwa ada tindak kekerasan di sini," ucap Wahyu.

"Bahkan semuanya kami dokumentasikan sehingga bisa dipastikan ada pemberian obat penenang kepada si bayi dan pemaksaan kepada anak-anak di bawah umur untuk bekerja," imbuh dia.

Tes DNA

Polisi juga harus melakukan tes DNA terhadap para orangtua dan anak-anak yang terjaring dalam kasus eksploitasi dan perdagangan orang ini. Hal itu untuk mengungkap apakah mereka benar-benar anak kandung dari para pelaku atau bukan.

‎"Kalau orangtua kandung nanti kita lihat masuknya ranah pidana apa, kalau bukan juga kita lihat masuk ranah pidana apa," ucap Wahyu.

Tes DNA rencananya akan dilakukan pada Senin 28 Maret 2016. Jika pelaku merupakan orangtua kandung, maka akan dikenai pasal UU tentang Perlindungan Anak. Sebaliknya, jika bukan orangtua kandung dari korban, pelaku akan dikenai pasal UU‎ tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).

"Hasilnya butuh satu minggu. Itu juga merupakan prosedur untuk melakukan penahanan. Sehingga dengan perkara ini dapat dibuktikan pidananya," kata dia.

Wahyu menegaskan bahwa pihaknya sangat serius dalam memberantas pelaku kejahatan terhadap anak. Berbabagai macam program sudah digerakkan, seperti mendirikan rumah aman anak di tiap-tiap kelurahan di wilayahnya.

"Namun itu tadi, semakin masyarakat iba (memberikan uang ke anak jalanan) maka semakin menderita pula anak itu. Karena penghasilan mereka (pelaku) akan semakin besar," ucap Wahyu.

Dirinya pun mengimbau agar masyarakat turut berperan aktif dalam melindungi anak. "Kami juga imbau, jika masyarakat menemukan adanya pelanggaran, maka segera laporkan ke kami," pungkas dia.

Sebelumnya, aparat Polres Metro Jakarta Selatan telah menetapkan 4 tersangka kasus eksploitasi anak. Polisi juga masih memeriksa 4 orang lain yang diduga terlibat dalam kasus ini.

Sebanyak 17 anak juga sempat diamankan polisi. 14 Di antaranya telah dipulangkan. Sementara 3 lainnya yang diduga menjadi korban masih ditangani di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) atau rumah aman di Bambu Apus, Jakarta Timur.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya