Rahasia Polisi di Balik Pengungkapan Kasus Perampokan Pulomas

Banyak kasus yang dapat ditangani polisi dengan cepat.

oleh Muslim AR diperbarui 16 Jan 2017, 08:25 WIB
Diterbitkan 16 Jan 2017, 08:25 WIB
20170106-pulomas-jakarta-prarekonstruksi
Prarekonstruksi perampokan sadis Pulomas, Jakarta. (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Ada hal menarik dari pengungkapan kasus perampokan Pulomas dan upaya makar. Publik bertanya-tanya, benarkah polisi Republik ini bisa bekerja secepat itu?

Perampokan dan pembunuhan yang terjadi di rumah Ir. Dodi Triono di Jalan Pulomas Utara nomor 7 A, Jakarta Timur, membuat publik geger. Pembunuhan sadis itu bisa terungkap dalam waktu kurang dari 2 hari.

Peristiwa tersebut menewaskan enam orang. Mereka tewas setelah 18 jam (terhitung sejak Senin 26/12/2016), bersama lima korban lainnya yang selamat, disekap di kamar mandi berukuran 1,5 meter X 1,5 meter.

Empat pelaku, Ramlan Butarbutar, Erwin Situmorang, Alfin Sinaga, dan Ius Pane ditangkap. Satu di antaranya, Ramlan, tewas ditembak. Polisi dengan cepat menangkap pelaku.

Banyak yang bertanya, apakah itu hanya kebetulan, pencitraan, atau sensasi saja agar polisi dinilai bekerja.

Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rudy Heriyanto Agus Nugroho, menampik keraguan publik, mengapa keempat pelaku yang sudah mahir merampok itu bisa tertangkap dengan cepat.

Apalagi para pelaku secara tak langsung membunuh enam orang padahal hasil rampokan mereka tak seberapa. Beredar kabar tentang motif yang dikaitkan dengan latar belakang korban. Kabar nan kabur itu dijawab cepat Ditreskrimum dengan menuntaskan kasusnya.

Rudy bahkan dipesan khusus oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian agar bertindak cepat. Profiling pun dilakukan. Terungkap, komplotan ini sebenarnya hanya rampok kecil dengan modus menakut-nakuti korbannya.

Biasanya dalam beroperasi mereka mengumpulkan dan menyekap korban di kamar tidur. Mereka hanya menakut-nakuti korban dan sebisa mungkin menghindari penganiayaan apalagi pembunuhan terhadap korban. Sebab, tindakan ini hanya akan membuat mereka lebih lama di bui.

Sialnya, kali ini mereka dapat karma. Menurut Rudy, perampokan di rumah Dodi Triono sudah satu paket dengan perampokan di Jonggol, dan Bogor dengan mobil sewaan.

"Paket perampokan di tiga lokasi ini terencana cermat baik dari aspek teknis lapangannya, arus uang yang diharapkan, maupun perhitungan waktunya," ujar Rudy saat berbincang-bincang dengan Liputan6.com di Polsek Palmerah beberapa waktu lalu.

Perkiraan para perampok meleset. Rumah Dodi Triono tak punya satupun kamar tidur di lantai bawah. Satu-satunya kamar yang ada hanya kamar mandi berukuran kecil tanpa ventilasi.

Target waktu perampokan yang singkat agar tak ketahuan aparat membuat para pelaku ceroboh. Mereka mengumpulkan ke-11 korban di kamar mandi sempit.

Alhasil, korban tewas mengenaskan, pembuluh darah pecah, alat-alat vital kehidupan gagal dan rusak karena kekurangan oksigen.

Lalu, karena rumah Dodi memiliki CCTV. Selentingan kabar menuding kerja polisi semakin mudah. Namun, Rudy membantahnya.

"Kuncinya pada gelar perkara yang berbasis pembiayaan - sumber daya manusia (SDM) - dan metoda," jelas dia.

Tuntutan Polisi dalam Mengungkap Sebuah Kasus

Ilustrasi Oknum Polisi
(Ilustrasi)

Kekuatan polisi dalam mengungkapkan kasus ini didasari dengan kemampuan analisis personel yang ditopang pengaturan uang yang baik untuk membiayai setiap perkara.

"Tercermin dari tingkat penyerapan anggaran. Pembiayaan setiap perkara ini sudah termasuk untuk memelihara ganjaran (reward) dalam mekanisme reward dan punishment," kata dia.

Rudy menyebut, ia bahkan memberi sanksi bagi anak buahnya yang lamban. "Tentu sanksi yang layak dan mendidik," tambah Rudy.

Meski dana, sanksi, dan kerja mereka dibiayai penuh dan peralatan tercanggih sekalipun, tanpa Sumber daya manusia (SDM) yang baik, kecepatan pengungkapan kasus hanya angan belaka.

"Seorang reserse tidak hanya dituntut fisik sehat dengan keterampilan lapangan memadai, tetapi juga membuat gelar perkara yang layak serta mampu menggunakan perangkat teknologi informasi yang sudah disediakan Polri," beber dia.

Rudy menegaskan gelar perkara adalah aspek paling penting bagi setiap pimpinan reserse. Sebab, lewat gelar perkara ini, seorang Kasubdit misalnya, mengonstruksikan kasus yang hendak ia tangani berikut metodanya, dikaitkan dengan pemenuhan unsur dan jeratan pasalnya.

"Dalam gelar perkara, seorang Kasubdit juga harus merancang pembiayaan perkara, pemeliharaan (kesehatan fisik dan psikis) dan keselamatan timnya di lapangan," katanya.

Sejak Rudy memimpin Ditreskrimum, ia mewajibkan para Kasubdit-nya memaparkan gelar perkara kepadanya. Setelah itu, ia akan memberi catatan. Jika dinilai pantas, selanjutnya Kasubdit yang bersangkutan memaparkan gelar perkara di hadapan para Kasubdit, Propam, dan personil Mabes Polri yang terkait.

Dalam pertemuan ini, Kasubdit yang memaparkan gelar perkara harus mempertanggungjawabkan gagasannya lewat satu perdebatan dan diskusi kelompok.

"Lebih baik Kasubdit yang bersangkutan 'berdarah-darah' di internal kami dari pada 'berdarah-darah' di pengadilan," ucap Rudy.

Bagi Rudy, kekalahan polisi di praperadilan apalagi di pengadilan, adalah hal yang memalukan.

"Akan lebih memalukan jika berulang-ulang berkas dikembalikan oleh jaksa (P-19)," tegas dia.

Rudy tak segan mengganti Kasubdit untuk menangani kasus tertentu jika dalam penyampaian gelar perkara yang bersangkutan "dibantai habis" oleh kelompok.

"Saya memberi kesempatan pada setiap Kasubdit menangani setiap kasus, dengan catatan, lulus gelar perkara. Saya tidak membatasi Kasubdit tersebut harus dari Jatanras (Kejahatan dengan kekerasan) atau Resmob (Reserse mobil)," ujar perwira menengah bergelar Doktor Pidana ini.

"Kalau Kasubdit Ranmor (Kendaraan Bermotor. Menangani kasus kasus pencurian, penggelapan Ramor) atau Renakta (Remaja Anak Anak dan Wanita) mampu, kenapa tidak?" tambah Rudy.

Bagi Rudy, kemampuan Kasubdit membuat gelar perkara mencerminkan yang bersangkutan memiliki sistematika berpikir kuat, berwawasan luas, kreatif, dan bertindak rasional, cepat, serta tepat dalam mengungkap kasus.

"Kalau ternyata kasusnya bisa berhenti lewat mekanisme restorative justice, ya cabut BAP (Berita Acara Pemeriksaan)-nya. Supaya semua kasus terang dan cepat diputuskan," kata dia.

Gelar perkara menjadi makin penting. Ia mencontohkan, seperti apa yang terjadi di balik kasus-kasus dugaan makar. Belum banyak publik yang mengetahui, betapa berdarah-darahnya para penyidik dari kepolisian untuk menghentikan upaya melengserkan pemerintahan yang sah saat ini.

"Variabelnya lebih banyak, termasuk jebakan-jebakan politis yang bisa berbenturan dengan kepentingan Polri dalam penegakan hukum," ucap Rudy.

Ia menyerahkan dugaan-dugaan jebakan politis ini kepada Kapolda dan Kapolri. Suasana Republik yang genting, upaya-upaya penggulingan pemerintah telah ia paparkan dalam gelar perkara.

"Setidaknya kami telah memberi masukan lewat gelar perkara," tandas Rudy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya