Liputan6.com, Jakarta - Sidang kedua kasus e-KTP akan digelar di PN Tipikor pada Kamis 16 Maret 2017. Dalam sidang kedua ini, KPK meyiapkan delapan saksi untuk membuktikan dakwaan korupsi yang diduga merugikan negara Rp 2,3 Triliun.
"Sidang kedua Kamis depan, delapan saksi akan kami hadirkan. KPK upayakan hadirkan saksi dari semua unsur dakwaan berdasarkan porsi masing-masing," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta Selatan, Senin (13/3/2017).
Namun, saat ditanya siapa saja delapan saksi tersebut, Febri enggan menjawab. "Saksinya siapa aja belum bisa disebutkan," ujar dia.
Advertisement
Febri menyebutkan, KPK telah memiliki bukti terkait indikasi korupsi yang melibatkan sejumlah nama-nama besar di Indonesia.
"KPK punya bukti penyidikan. Itu jadi konsen KPK untuk proses pencarian informasi. KPK sejak awal sampaikan dakwaan bahwa indikasi korupsi ini enggak dilakukan 2 orang saja (Irman dan Sugiharto) tapi diduga beraama pihak lain melakukan pidana korupsi (e-KTP)," tutur dia.
Sidang Perdana
Sidang kasus e-KTP sudah digelar perdana pada Kamis, 9 Maret 2017. Irman dan Sugiharto didakwa melakukan korupsi secara bersama-sama dalam kasus e-KTP. Irman dan Sugiharto didakwa merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.
Irman merupakan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sementara itu, Sugiharto ialah mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Dukcapil Kemendagri.
Atas perbuatannya itu, Irman dan Sugiharto didakwa melangar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam sidang kasus E-KTP, jaksa penuntut umum menyebut ada sejumlah nama besar yang terseret dalam arus mega skandal tersebut.
Mereka di antaranya Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Drajat Wisnu Setyawan bersama enam anggota panitia pengadaan. Kemudian, Husni Fahmi beserta lima anggota tim teknis.
Lalu disebut dalam dakwaan kasus E-KTP itu sejumlah tokoh, yaitu Anas Urbaningrum, Marzuki Ali, Olly Dondokambey, Melchias Marchus Mekeng, Mirwan Amir, Tamsil Linrung, dan Taufik Effendi. Kemudian, Teguh Juwarno, Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Arief Wibowo, Mustoko Weni, Rindoko, Jazuli Juwaeni, dan Agun Gunanjar.
Ada pula nama Ignatius Mulyono, Maryam S Haryani, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Jamal Aziz, Markus Nari, Yasonna Laoly, dan 37 anggota Komisi II DPR lain.
Jaksa KPK juga menduga kasus e-KTP ini memperkaya korporasi yakni, Perusahaan Umum Percetakan Negara (Perum PNRI), PT Len Industri, Pt Quadra Solution, PT Sandipala Artha Putra, PT Sucofindo dan Managemen Bersama Konsorsium PNRI.
Membantah
Berdasarkan data Liputan6.com, nama-nama besar yang pernah diperiksa oleh penyidik KPK dalam suap e-KTP di antaranya adalah, Ketua DPR Setya Novanto. Dia sempat diperiksa pada 13 Desember 2016, 4, dan 10 Januari 2017.
Namun, Setya Novanto membantah terlibat dalam kasus itu. Selama pemeriksaan, penyidik hanya mengklarifikasi pertemuan di DPR.
"Itu hanya klarifikasi yang berkaitan saya sebagai ketua fraksi (Golkar). Itu (pertemuan) ada Pimpinan Komisi II, tentu menyampaikan. Tetapi yang disampaikan normatif aja," tutur Setya Novanto usai pemeriksaan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa 10 Januari 2017.
Nama lain yakni, mantan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, yang juga Gubernur Jawa Tengah. Ganjar sempat diperiksa pada 7 Desember 2016. Dia pun membantah turut menerima aliran duit dari pembahasan proyek e-KTP. Hal itu juga menjadi bagian yang ditanyakan oleh penyidik KPK dalam pemeriksaan tersebut.
"Saya jawab tidak, kebetulan tadi ada salah satu yang langsung dikonfrontasi ke saya, ya saya jawab apa adanya, ya saya senang," ucap Ganjar.
Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey, diperiksa pada 26 Januari 2017. Olly dituduh oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazarudin menerima uang 1 juta USD terkait proyek senilai Rp 5,9 triliun.
"Kalau ada bukti, lu kasih lihat, gua tuntut lu," ujar Olly dengan nada tinggi usai diperiksa penyidik di Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis itu.
Seusai pemeriksaan sebelumnya, Olly juga membantah. "Saya tidak pernah menerima suap," ujar Olly di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 11 Juli 2014.
Anas Urbaningrum juga sempat diperiksa penyidik KPK pada 11 Januari 2017.
Ada nama besar lain yang sempat disebut Nazaruddin, yakni Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah, yang diperiksa KPK pada 5 dan 21 Desember 2016.
Jafar Hafsah, membantah turut ‎menerima aliran dana proyek pengadaan E-KTP pada 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri. Dia berdalih masih duduk di Komisi IV saat anggaran proyek itu dibahas bersama Komisi II DPR.
"E-KTP itu saya ada di Komisi IV. Sedangkan E-KTP itu ada di Komisi II. Jadi saya tidak, tidak paham persis daripada E-KTP dan perjalanannya,‎" ujar Jafar usai pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Senin 5 Desember 2016.
Selain Jafar Hafsah, Nazaruddin menyebutkan pihak lain yang menerima aliran dana tersebut, yakni dari kementerian; mantan Menteri Keuangan era SBY, Agus Martowardojo yang pernah diperiksa KPK pada 1 November 2016.
Pada pemeriksaan tersebut, Agus menegaskan juga membantah tudingan itu. Dia mengaku justru dirinyalah yang menolak kontrak skema tahun jamak atau multiyears, bukan Sri Mulyani.
"Saya juga dengar ada kalimat bahwa saya jadi Menkeu menggantikan Sri Mulyani 20 Mei 2010, sebelum ini ada penolakan multiyears contract oleh Sri Mulyani. Saya katakan di dalam file tidak ada penolakan dari Sri Mulyani, yang ada ketika multiyears contract mau diajukan ke Menkeu, diajukan 21 Oktober 2010, dan di 13 Desember 2010 ditolak oleh saya," tutur Agus.
Nazaruddin juga sempat menyebut nama mantan Mendagri, Gamawan Fauzi. Gamawan pernah diperiksa KPK pada 19 Januari 2017.
Gamawan pun membantah terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP seperti yang dituduhkan Nazaruddin.
Advertisement