Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan Mendikbud Muhadjir Effendy terkait jam sekolah dari Senin hingga Jumat dan delapan jam sehari mulai dikritik. Kebijakan ini dikhawatirkan mengganggu sistem pendidikan khususnya di madrasah dan pesantren.
[Muhadjir](Muhadjir Effendy "") menjelaskan, delapan jam belajar minimal itu jangan diartikan siswa hanya mendapat pelajaran hanya di dalam kelas. Belajar mengajar tetap mengacu pada Kurikulum 2013 (K13).
Tidak ada perubahan besar sebetulnya dalam kebijakan tersebut. Ini sudah sesuai dengan visi Presiden Joko Widodo yang ingin pendidikan karakter 70 persen untuk SD dan SMP. Ini justru menyempurnakan kurikulum yang ada.
Advertisement
Guna menyelenggarakan program penguatan karakter sekolah tentu tidak bisa berjalan sendiri. Sekolah bisa bekerja sama dengan lembaga di luar sekolah.
"Sekolah dimungkinkan untuk kerja sama dengan lembaga pendidikan di luar, termasuk madrasah, masjid, gereja, pura, sanggar kesenian, pusat olahraga, itu dimungkinkan," jelas Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (12/6/2017).
Dalam pembangunan karakter itu, pemerintah memiliki 5 target. Pertama religiusitas atau keberagamaan. Kedua integritas, kejujuran. Ketiga nasionalisme, cinta tanah air, bela negara. Keempat kerja keras, belajar keras, punya kemauan kompetisi. Kelima gotong royong, solidaritas, dan toleran.
Bila dikaitkan dengan target pertama pembangunan karakter, peran madrasah diniyyah tentu sangat penting. Bukan menghilangkan peran penting yang selama ini sudah berjalan.
"Malah justru akan kita jadi partner sekolah untuk menguatkan program karakter yang berkaitan dengan penguatan religiusitas," ucap [Muhadjir](Muhadjir Effendy "").