Imbauan Mensos agar Kasus Bayi Debora Tak Terulang

Menurut Khofifah, ada dua hal yang bisa dilakukan agar kasus bayi Debora tak terulang.

oleh Ika Defianti diperbarui 13 Sep 2017, 08:46 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2017, 08:46 WIB
20160628-Mensos-Khofifah-Indar-Parawansa
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa menilai tidak seharusnya kasus bayi Debora terjadi. Dia mengatakan, ada dua hal yang bisa dilakukan agar kejadian seperti itu tidak terulang.

Kedua hal tersebut juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

"UU itu rupanya reinforcement-nya butuh pengawalan kita bersama. Ada RS yang masih mempersyaratkan di depan dengan sekian duit dan seterusnya," ucap Khofifah di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 12 September 2017.

Dia mengatakan, harus ada pemaksimalan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JK) kepada rumah sakit umum ataupun swasta. Sebab, terdapat beberapa rumah sakit yang belum menjadi mitra dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Pemerintah juga sudah menyiapkan perlindungan bagi masyarakat kurang mampu dengan mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS). Untuk penyebarannya, sudah sekitar 92,4 jiwa. Oleh karena itu, dia optimistis kasus bayi Debora tak akan terjadi.

"Ini endorsement dari pemerintah, bahkan Bapak Presiden di awal-awal seringkali mendorong, dan bahkan bersifat imperifatif kepada seluruh rumah sakit untuk menerima pasien PBIJK," ujar Khofifah.

Namun, menurut Khofifah, program tersebut belum terlaksana di seluruh rumah sakit di Jakarta.

"Tetapi, kita masih menemukan rumah sakit di Ibu Kota ternyata belum mengikuti program PBIJK," jelas Mensos Khofifah.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Ada yang Salah

Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyatakan ada dugaan kelalaian dari pihak Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, dalam kasus kematian bayi Tiara Debora Simanjorang atau Debora.

Kepala Dinkes DKI Jakarta Koesmedi Priharto mengatakan, seharusnya pihak RS Mitra Keluarga dari awal menanyakan pihak keluarga korban, siapa yang akan membiayai perawatan bayi Debora.

"Ini kesalahannya dari awal. Seharusnya pihak rumah sakit bertanya, pembayarannya dilakukan oleh siapa. Ternyata dia punya BPJS, tapi tidak terinformasi dari awal," ujar Koesmedi dalam di kantor Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Senin (11/9/2017).

Jika bayi Debora menggunakan BPJS, Koesmedi melanjutkan, pendanaan pembiayaan untuk penanganan gawat darurat hingga stabil, bisa ditagihkan ke BPJS.

"Nah, RS Mitra Keluarga sudah pernah menjalankan seperti itu," ujar dia.

Kedua orangtua saat berada di makam bayi Debora. (Liputan6.com)

Sayangnya, kata Koesmedi, ada kesalahan informasi dari awal soal pembiayaan bayi Debora, sehingga terlambat penanganan hingga akhirnya bayi tersebut meninggal.

"Yang tadi saya bilang, ini salah informasi, tidak tercatat sebenarnya siapa yang mendata. Ini dari keterangan yang kami terima dari rumah sakit. Nanti kita coba tanya ke keluarga, apakah benar seperti itu," ujar dia.

Menurut Koesmedi, pihak RS Mitra Keluarga tidak tahu kalau bayi Debora adalah pasien BPJS. Baru diketahui setelah beberapa jam sang bayi masuk IGD.

"Syarat untuk masuk ruang PICU, awalnya RS Mitra Keluarga enggak tahu kalau ini (Debora) pasien BPJS. Baru diketahui bahwa ini pasien BPJS sekitar jam enam pagi," ujar dia.

Adapun, dokter yang menangani bayi Debora di IGD menyarankan agar bayi Debora masuk PICU. Biaya perawatan PICU Rp 19,8 juta dengan uang muka 50 persen. Sementara, keluarga hanya memiliki uang Rp 5 juta.

"Keluarga pasien masih punya uang Rp 5 juta, disampaikan, untuk masuk PICU harus 50 persen dari biaya yang disampaikan pihak RS," Koesmedi menegaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya