HEADLINE: Membaca Langkah Jenderal Gatot

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menjadi sorotan karena sejumlah pernyataannya yang kontroversial.

oleh Putu Merta Surya PutraRita AyuningtyasMuhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 06 Okt 2017, 00:03 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2017, 00:03 WIB
20170116-Jokowi-Hadiri-Rapim-TNI-AY
Panglima TNI, Gatot Nurmantyo memberi hormat kepada Presiden Jokowi saat Rapim TNI 2017 di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Senin (16/1). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi mengingatkan bahwa politik tentara adalah politik negara dan loyalitas tentara adalah untuk bangsa dan negara.

"Politik dan loyalitas berarti kesetiaan berjuang untuk rakyat, setia pada pemerintah yang sah. TNI adalah milik nasional yang ada di semua golongan, yang tidak terkotak-kotak," kata Jokowi pada pidato upacara HUT ke-72 TNI di Cilegon, Banten, Kamis 5 Oktober 2017.

Pada kesempatan ini, Jokowi juga mengingatkan TNI tidak boleh masuk ke politik praktis.

Jokowi menyampaikannya di depan ribuan prajurit TNI, tiga kepala staf TNI yakni Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) Jenderal TNI Mulyono, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KASAL) Laksamana TNI Ade Supandi, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU) Marsekal Hadi Tjahjanto, serta Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Pada kesempatan yang sama, dalam pidatonya, Gatot Nurmantyo juga bicara soal politik tentara. Dia menegaskan, politik TNI adalah politik negara. Sampai kapan pun TNI akan setia pada NKRI.

Bagi TNI, lanjut dia, kecintaan pada NKRI yang berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila adalah sendi utama, yang melekat erat pada setiap jiwa dan wajah prajurit.

"Pada saat yang sama saya menegaskan pula bahwa politik TNI adalah politik negara. Politik yang diabdikan bagi tegaknya kesatuan Indonesia, yang di dalamnya terangkum ketaatan hukum, untuk kepentingan rakyat di atas kepentingan manapun," kata Gatot.

Dia juga menegaskan, TNI tetap setia dan taat pada pimpinan tertinggi negara, yakni Presiden. Tidak ada keraguan bagi kesetiaan prajurit pada pimpinan tertinggi.

"Serta taat kepada atasan yaitu Presiden RI yang dipilih secara sah secara konstitusional. Sekali lagi jangan ragukan kesetiaan TNI," tandas Gatot.

Kecemasan soal militer yang berpolitik menyeruak dalam beberapa hari terakhir. Pemicu utama pernyataan Gatot terkait adanya institusi tertentu yang akan mendatangkan 5.000 pucuk senjata secara ilegal dengan mencatut nama Presiden Jokowi. Pernyataan itu disampaikan dalam silaturahmi TNI dengan purnawirawan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Jumat 22 September 2017.

Acara tersebut turut dihadiri Menko Polhukam Wiranto, mantan Wakil Presiden RI Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Laksamana TNI (Purn) Widodo AS, dan Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, serta sejumlah petinggi TNI lain.

Pernyataan Gatot tersebut dinilai tidak sesuai dengan posisinya sebagai bagian dari pemerintahan. Karena itu, ada yang menyebut Gatot tengah melakukan manuver politik.

Dalam beberapa survei, nama Gatot sudah muncul dalam bursa Pemilihan Presiden 2019. Survei CSIS periode 23-30 Agustus 2017 menemukan elektabilitas Gatot 1,8 persen. Pada survei yang sama, elektabilitas Jokowi 50,8%.

Sementara, dalam survei SMRC yang digelar September 2017, elektabilitas Gatot 0,3%. Perihal Jokowi, bertengger di 38,9%

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Manuver Politik untuk 2019?

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menengarai ada niat lain di balik pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Pernyatan tersebut juga bisa dilihat dari kaca mata politik. 

"Ini dimaknai sebagai manuver politik. Karena kita yakin, Panglima paham informasi intel itu bersifat rahasia dan tidak sepantasnya disampaikan pada publik," jelas pria yang juga pengamat militer itu.

Namun, Al Araf enggan berspekulasi lebih jauh soal niat di balik Panglima Gatot mengungkapkan hal tersebut. "Tapi untuk tujuan apa? Ya kita tidak tahu," tutup dia.

Politikus sipil pun mengingatkan bahwa anggota TNI aktif dilarang berpolitik praktis. "Kalau sudah pensiun boleh. Pak SBY sudah pensiun, boleh. Pak Prabowo sudah pensiun berpolitik, boleh. Polisi sudah pensiun boleh, ada Pak Sidarto (Danusubroto)," papar Maruarar Sirait, Kamis 5 Oktober 2017.

Maruarar berharap, TNI dan Polri bisa menjaga semua amanah yang diberikan negara dan undang-undang kepadanya.

"Demokrasi di Indonesia tidak datang tiba-tiba, melalui perjuangan reformasi yang panjang, dengan darah dan air mata. Kita tidak boleh kembali ke zaman seperti itu. Dari berbagai survei, jelas demokrasi pilihan yang paling dinikmati rakyat daripada rezim otoriter," tandas kader PDIP tersebut.

Jika menilik ke belakang, ada sejumlah pernyataan Gatot yang dinilai kontroversial dan beraroma politis. Misalnya, langkah dia memerintahkan jajaran TNI untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI.

Gatot menilai pemutaran film ini berguna agar kekejaman kaum komunis bisa diketahui masyarakat luas. Dia tidak sependapat jika pemutaran film tersebut dianggap untuk mendiskreditkan pihak tertentu. 

Lalu, ceramahnya di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Minggu 4 Juni 2017, juga menuai polemik. Sebab, Gatot mengkritik demokrasi di Indonesia.

Demokrasi di Tanah Air, kata dia, haruslah sesuai dengan ajaran Islam yang tecermin dalam sila keempat Pancasila. Namun, "Demokrasi kita tidak sesuai lagi dengan Pancasila, (karena) tidak melalui musyawarah dan mufakat lagi," kata Gatot.

Demikian pula pada Mei 2017. Saat itu, Gatot membacakan puisi karya konsultan politik Denny JA, dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar.

Puisi tersebut berjudul "Tapi Bukan Kami Punya". Bait-bait puisi itu berisi potret kehidupan rakyat Indonesia kini yang, dalam  anggapan Denny JA, timpang.

Melalui puisi ini, Gatot menyatakan ingin mengingatkan seluruh pihak agar waspada. Jangan sampai orang Indonesia terpinggirkan, seperti sosok Jaka, tokoh yang diceritakan dalam puisi tersebut.

"Kalau tidak waspada, anakmu juga bisa seperti Jaka. Habis terpinggirkan, bukan orang Indonesia lagi, kita terpinggirkan. Puisi itu mewujudkan apabila kita tidak waspada, kita sama seperti Jaka nanti, kalau kita tak waspada, anakmu bisa seperti itu, anak saya juga," tandas Gatot Nurmantyo di Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu 24 Mei 2017.

Pada awal Mei 207, Gatot juga melontarkan pernyataan berbau politis. Di Kompas TV, ia menampik anggapan bahwa sejumlah Aksi Bela Islam merupakan gerakan untuk mendongkel pemerintahan Jokowi.

"Saya agak tersinggung kata-kata itu, karena saya umat Islam juga," ujar Gatot dalam talkshow "Rosi" yang tayang Kamis 4 Mei 2017.

Gatot menjelaskan dua organisasi Islam, yakni Muhammadiyah dan NU, menjadi motor bersama rakyat dari kelompok agama lain dalam merebut kemerdekaan. Ketika para ulama menggalang kekuatan masyarakat lain, Gatot mengingatkan, saat itu TNI belum ada.

Sehingga, lanjut Gatot, keinginan dan naluri pejuang rakyat Indonesia yang kemudian berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka meski hanya bermodalkan bambu runcing.

"Apakah sejak perjuangan itu, yang mayoritas dilakukan umat Islam, lalu dipertahankan umat Islam dan kemudian umat Islam yang merusaknya? Tidak mungkin!" kata Gatot Nurmantyo.

Menjawab semua tudingan itu, Gatot menegaskan dirinya tidak sedang melakukan manuver politik. "Kalau orang politik sini akan melihat bodoh yang saya lakukan, konstituen saya akan kabur sebagian. Buktinya banyak yang berseberangan," kata dia.

Kalau dirinya benar berpolitik, semuanya akan baik-baik saja. "Kalau saya berpolitik ya baik-baik aja. Oh kamu baik-baik, PKI baik-baik, semuanya. Nah itu baru," kata Gatot di Kompleks Parlemen, 27 September 2017.

 

 

Jokowi Ingatkan soal Panglima Tertinggi

Beberapa hari setelah pernyataan Gatot soal 5.000 senjata itu, Jokowi menegaskan posisinya sebagai panglima tertinggi di republik ini. Hal tersebut diungkapkannya dalam sidang kabinet paripurna, yang juga dihadiri Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

"Sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, sebagai panglima tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara, saya ingin perintahkan kepada Bapak, Ibu, Saudara sekalian, fokus pada tugas masing-masing," ujar Jokowi di Kompleks Istana Negara, Senin 2 Oktober 2017.

Dia mengingatkan para menteri dan pimpinan lembaga untuk tidak sembarangan berkata. Terlebih, perkataan tersebut dapat membuat kegaduhan di masyarakat.

"Politik harus kondusif, jangan bertindak dan bertutur kata yang membuat masyarakat bingung dan khawatir," ujar mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Presiden Jokowi melakukan hormat saat upacara Hari Kesaktian Pancasila, di Halaman Monumen Pancasila Sakti, Jakarta, Minggu (1/10). Hadir dalam upacara ini jajaran menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI dan Kapolri. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Jokowi juga meminta agar masalah antara kementerian dan lembaga segera diselesaikan di tingkat Menko. Bila tidak selesai di tingkat Menko, baru diselesaikan di tataran Wakil Presiden.

Menko Polhukam Wiranto pun mengumpulkan sejumlah pihak terkait untuk membahas pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo soal impor 5.000 pucuk senjata itu. Rencananya, pertemuan digelar pada hari ini, Jumat (6/10/2017).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya