Liputan6.com, Jakarta - Menggunakan pesawat RAF, pemimpin Indonesia kala itu Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Amir Sjarifuddin mendarat di Surabaya, 29 Oktober 1945. Kehadiran Bung Karno untuk menyelesaikan persoalan terkait situasi genting di daerah itu. Daerah berjuluk Kota Pahlawan tersebut diduduki tentara Inggris yang dikomandani Brigjen AWS Mallaby yang dilawan oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
Sehari setelahnya, perundingan pun digelar. Mereka yang hadir adalah Bung Tomo, Roeslan Abdulgani, Gubernur Jawa Timur Soerio, Residen Surabaya Sudirman, Sungkono, dan Sumarsono. Hasilnya, kedua pihak baik TKR dan Inggris sepakat melakukan gencatan senjata.
Baca Juga
Namun di tengah kondisi itu, Jenderal Mansergh dan Divisi Inggris tiba di Surabaya dari Malaka pada 2-3 November 1945. Hal ini membuat pertemuan antara Mansergh dengan Gubernur Jatim Soerio kembali digelar. Pertemuan berakhir tanpa hasil. Mansergh lantas mengultimatum Indonesia menyerahkan senjata.
Advertisement
Ancaman itu pun mendapatkan perlawanan. Indonesia menolak serahkan senjata. Inggris geram. Pada 10 November Inggris mengebom Surabaya.
Saat itu terjadilah pertempuran hebat. Arek-arek Surabaya melawan dan tidak gentar oleh serangan pasukan Inggris yang dilengkapi senjata canggih.
Dengan keyakinan yang tinggi, serta semboyan merdeka atau mati. Semangat membela Tanah Air mereka kian membuncah kala mendengar pidato Bung Tomo di Radio Pemberontakan yang mengobarkan semangat menentang tentara Ingggris.
Bismillahirrohmanirrohim..Merdeka!!!
Hai tentara Inggris!
Kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu.
Kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu.
Kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
Tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:
Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
Yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putihMaka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!Merdeka!!!
Demikian salah satu rangkaian pidato Bung Tomo yang membuat darah muda nyala membara. Pemuda dan pemudi memperlihatkan pengorbanannya. Mereka maju tak gentar ke medan pertempuran. Sekitar 6.000 orang Indonesia tewas dalam peperangan di Surabaya itu. Sehingga untuk mengenang peristiwa tersebut, setiap 10 November dijadikan sebagai Hari Pahlawan.
Di balik sosoknya yang tegas dan penuh wibawa, Bung Tomo ternyata seorang yang romantis. Selain itu, ia juga tidak terlalu cinta terhadap duniawi. Hal itu dilakukannya kala diminta memilih antara tetap menjadi jenderal atau menjadi rakyat biasa.
Berikut ini 3 kepribadian Bung Tomo yang dihimpun dari berbagai sumber:
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Romantis kepada Istri
Awal pertemuan Bung Tomo dengan istrinya, Sulistiana, terjadi saat peristiwa bersejarah 10 Nopember 1945. Lies, sapaan Sulistiana, kala itu bekerja di Palang Merah Indonesia (PMI) yang dikirim ke Surabaya untuk merawat para pejuangan terluka dan gugur.
Lies cukup salah tingkah saat pria kelahiran Kampung Blauran itu mencuri perhatiannya. Begitu pun Bung Tomo. Dia selalu cari perhatian saat Lies menunaikan tugasnya menolong pejuang di tenda-tenda darurat.
Untuk menarik hati Lies, Bung Tomo terus merajut romantismenya dalam tulisan puisinya. Karya puisi Bung Tomo dikumpulkan hingga menjadi salah satu karya buku berjudul omantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen Pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan.
Dalam setiap surat, Bung Tomo meminta agar Lies terus merindukannya. "Bila kesepian, ambilah buku pelajaran Bahasa Inggris kita, en'success," begitu isi surat Bung Tomo.
Tak hanya itu, Bung Tomo memanggil istrinya dengan sebutan Tiengke. Panggilan ini sebagai ungkapan sayang kepadanya yang selalu menghiasi kop surat yang dikirimkan kepada Lies.
Dalam beberapa surat, panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya 'Tieng adikku sayang', 'Tieng istri pujaanku', 'Dik Tinaku sing ayu dewe', 'Tieng Bojoku sing denok debleng', atau 'Tiengke Sayang'.
Sebagai orang penting kala itu, hari-hari Bung Tomo selalu diisi dengan kegiatan yang sangat menyita waktu. Tak heran, dia pun jarang memanjakan istrinya. Namun begitu pulang dinas, Bung Tomo memberikan perhatian lebih kepada istri tercinta. Dia sering menarik tangan Lies untuk berdansa jika anak-anak tidak ada.
Perlakuan istimewa serta cinta tulus yang diberikan Bung Tomo, telah merasuk ke dalam jiwa Lies. Cinta keduanya terus berkembang meski keduanya tidak lagi bersama. Ketika Bung Tomo wafat di Mekah pada 1981, sang istri berkali-kali bermimpi dipeluk Bung Tomo yang menggunakan baju biru.
Advertisement
2. Ora Dadi Jenderal Ora Patheken
Di balik kepribadian Bung Tomo, menyimpan banyak pesan moral yang sangat luhur. Selain memiliki sikap tegas, berani, Bung Tomo juga tidak mendasarkan materi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kondisi itu tercatat dalam buku buah karya istrinya, Sulistiana Sutomo. Buku yang berjudul Bung Tomo Suamiku menceritakan, Ketika tiba di Tawangmangu (meninjau RRI) terjadi peristiwa yang tidak akan kulupakan seumur hidup. Mas Tom --sapaan istri kepada Bung Tomo-- mendapat telegram dari atasannya, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin. Isinya pedes sekali. Bung Tomo harus memilih—tetap menjadi jenderal namun tak boleh berpidato, atau berhenti jadi jenderal tetapi bisa berpidato. Aku melihat Mas Tom Merenung.”
Sulistiana ingat betul bagaimana suaminya merenung. Lalu tiba-tiba ia membalikan badan dan dengan nada marah berkata: “Persetan, ora dadi jenderal ya ora patheken.”
Maksud kalimat itu intinya: "Peduli setan, tak jadi jenderal juga tak apa-apa". Kalimat itu menegaskan Bung Tomo enggan menuruti perintah Amir. Sang Perdana Menteri sendiri, tampaknya, menyampaikan pesan keras itu dilatari oleh kehendak agar militer tunduk pada pemerintah/pemimpin sipil.
Dalam sejarahnya, Bung Tomo dikenal sebagai orator ulung pembakar semangat tempur peristiwa 10 Nopember. Sebagai pemuda yang pernah mengenyam pendidikan era kolonial, ia sadar betul fungsi dari teknologi radio. Lewat mikropon dan pancaran Radio Pemberontakan milik BPRI, ia menyiarkan pidato-pidatonya menjaga moral arek-arek Suroboyo.
Dalam sejarang pendidikannya, Bung Tomo tidak pernah mengenyam pendidikan Akademi Militer. Namun soal dunia tentara, pria kelahiran 1920 ini tak kalah mentereng. Dia diakui sebagai pemimpin BPRI di Surabaya. Selama dua tahun dia memimpin laskar itu yang anggotanya hhingga di Kalimantan pada masa revolusi.
Usai pertempuran 10 Nopember pecah, Bung Tomo menjadi orang yang tak berpangkat namun paling tersohor. Akhirnya dia ditarik ke Mabes Umum Tentara Keamanan Rakyat. Di sana ia menerima pangkat militer Jenderal Mayor. Dia dilantik langsung oleh Presiden Sukarno.
Kemudian Bung Tomo resmi menjadi Kepala Perlengkapan di Kementerian Pertahanan sejak 21 Mei 1946. Dia juga pernah juga menjadi Anggota Staf Gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia. Sejak Juni 1947, laskar-laskar banyak dilebur masuk TNI. Kala itu Panglima Besar dijabat Soedirman dan Menteri Pertahanan dipegang Amir Sjarifuddin.
3. Berani Kritisi Penguasa
Memasuki era Soeharto, Bung Tomo sempat memiliki hubungan tak harmonis dengan pemimpin era Orde Baru tersebut. Bung Tomo yang memiliki gaya meledak-ledak dan ceplas ceplos mengkritisi kebijakan pembangunan ala Soeharto.
Sikap itu menyulut emosi Pak Harto. Sang presiden lantas mengincar Bung Tomo sebagai buruan politiknya. Bahkan putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo juga menjadi target operasinya.
Pada 15 Januari 1974 atau dikenal peristiwa Malari, Bambang ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan. Dia dipenjara militer selama 2 tahun.
Selanjutnya empat tahun kemudian, kini giliran Bung Tomo yang diduga terlibat. Dia bersama tokoh kritis lainnya seperti Mahbub Junaedi dan Ismail Suny dipenjarakan oleh Soeharto yang lagi-lagi tanpa proses pengadilan. Kejadian memilukan itu berlangsung pada 11 April 1978.
Kurungan penjara tersebut memberikan dampak psikologis bagi Bung Tomo. Ia yang dulu meledak-ledak dalam pidato, kini sudah berkurang. Kendati hatinya tetap sama, berteriak terhadap ketidakadilan.
"Sejak keluar dari penjara bapak tak lagi meledak-ledak meskipun hati, sikap, dan kata-katanya tetap satu, konsisten," kata putra Bung Tomo, Bambang.
Kegiatan Bung Tomo pun dihabiskan untuk beribadah. Dia kemudian menunaikan ibadah haji hingga akhirnya wafat di Tanah Suci pada 7 Oktober 1981.
Nama Bung Tomo pada peringatan Hari Pahlawan ke-63 tahun 2008, mendapat gelar pahlawan nasional. Penganugerahan gelar itu disematkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Jumat 7 November 2008.
Istri Bung Tomo, Sulistina Sutomo, saat menerima tanda kehormatan dan bintang Mahaputera Adipradana mengungkapkan gelar itu didedikasikan untuk generasi muda Indonesia agar terus berjuang tanpa pamrih demi kepentingan bangsa dan negara.
"Supaya mereka mencontoh bapak (Bung Tomo), dia itu berjuang tidak punya pamrih sama sekali dan itu harus dicontoh," kata Sulistina.
"Apa yang salah ya katakan salah dan karena itu bapak dipenjara. Itu yang harus dicontoh, cita-cita perjuangan itu harus dilaksanakan. Anak muda jangan tergiur oleh sesuatu yang sifatnya fisik. Saya harap mereka itu berjuang dengan cita-cita pejuang-pejuang yang dulu," kata Sulistina menambahkan.
Advertisement