Liputan6.com, Jakarta - Sejarah mencatat, Indonesia hanya punya tiga jenderal besar. Salah satunya Abdul Haris Nasution. Pria kelahiran Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 3 Desember 1918 itu bersama Soeharto dan Soedirman, menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang dianugerahkan saat HUT ABRI 5 Oktober 1997.
Tak ada yang bisa membantah peran besar Jenderal Besar yang karib disapa Pak Nas ini. Tidak saja matang di medan tempur serta karier kepangkatan yang panjang di tubuh militer Indonesia, Pak Nas juga dikenal sebagai sosok pemikir. Hal itu dibuktikan dengan 77 buku, jurnal, dan makalah yang pernah dia tulis.
Dari puluhan buku itu, yang paling fenomenal tentu saja buku Pokok-Pokok Gerilya. Buku inilah yang membuat nama Nasution mendunia dan diakui sebagai penggagas perang gerilya yang kemudian banyak diterapkan militer negara lain. Tak heran kalau Pak Nas juga dinobatkan sebagai Bapak Angkatan Darat Militer Indonesia.
Advertisement
Buku Pokok-Pokok Gerilya berisi pengalaman Pak Nas saat berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama perang mencapai Kemerdekaan Indonesia. Pengalaman tempur juga dia dapatkan saat terjun dalam Revolusi Kemerdekaan (1946-1948) ketika memimpin Divisi Siliwangi. Berlanjut kemudian pada Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949) saat menjabat Panglima Komando Jawa.
Dari momen itulah Nasution mendapat pelajaran berharga tentang perang gerilya sebagai bentuk perlawanan rakyat kepada penjajah. Strategi perang tersebut terus dipelajari hingga menjadi matang dan sulit ditaklukkan musuh.
Dalam buku itu, Pak Nas membeberkan bahwa peperangan abad ini adalah perang rakyat semesta. Ia menguraikan bahwa dalam peperangan bukan hanya kedua belah pihak angkatan bersenjata yang berperang. Peperangan menjadi lebih luas dan lebih dalam karena kemajuan teknik.
Peperangan dewasa ini meminta sifat yang semesta, seantero rakyat, baik harta dan tenaga tersedia untuk diolah, untuk mencapai kemenangan. Semua sumber-sumber yang tersedia itu harus dipergunakan.
"Untuk mengalahkan lawan, bukan saja harus dibinasakan angkatan bersenjatanya, melainkan harus demikian pula semua susunan dan lembaga politik dan sosial ekonominya. Perang dewasa ini, bergolak sekaligus di sektor militer, politik, psikologis, dan sosial-ekonomis. Maka sifat serangan adalah semesta," demikian antara lain ditulis Pak Nas dalam bukunya.
Berkat metode perang gerilya itu pula, kemenangan diraih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Padahal, militer Belanda pada masa itu sangat unggul dari sisi teknologi maupun kekuatannya. Faktor gerilyalah yang kemudian menjadi pembeda dan kunci keberhasilan yang diakui publik dunia.
Setelah melalui proses penulisan yang detail, buku tersebut diterbitkan pada 1953 oleh PT Pembimbing Masa. Sejak diterbitkan, Pokok-Pokok Gerilya menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari oleh akademi militer di dunia bersama dengan karya-karya Mao Zedong.
Salah satunya adalah sekolah perwira militer Amerika Serikat, West Point. Buku yang antara lain diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Strategy of Guerrilla Warfare itu menjadi rujukan banyak pendidikan militer dunia karena dianggap mampu menjawab pertanyaan besar militer dunia.
Pertanyaan itu adalah tentang faktor penyebab kekalahan yang dialami pasukan AS dalam Perang Vietnam. Padahal, dari sisi kekuatan personel dan peralatan tempur, AS tak ada lawan. Karena itulah perwira AS belajar dari buku Pokok-Pokok Gerilya karena cara dan siasat tentara Vietnam atau Vietkong identik dengan apa yang diungkapkan Pak Nas dalam bukunya.
Para komandan Vietkong disebut-sebut mempelajari gagasan Nasution untuk diterapkan dalam perang yang berlangsung sejak 1965 hingga 1973 itu. Mereka tidak melakukan peperangan frontal, namun bertahan di tengah hutan dengan perlawanan-perlawanan kecil. Dengan berbekal senapan serbu AK-47, perlahan perlawanan gerilyawan Vietkong membuat frustrasi tentara muda Amerika Serikat yang tidak berpengalaman di dalam hutan.
Berbagai peralatan canggih tentara Amerika Serikat tak berfungsi dalam hutan. Sebagai puncaknya, pada Maret 1973 Amerika Serikat meninggalkan Vietnam Selatan, dan tak lama kemudian Saigon jatuh ke tangan Vietnam Utara.
Hingga kini, buku Pokok-Pokok Gerilya karya Jenderal Besar Nasution tetap relevan dengan dunia militer.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Karier Panjang Bapak Angkatan Darat
Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution lahir 3 Desember 1918 di Kotanopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara. Ayahnya bernama H Abdul Halim Nasution dan Ibunya Hj Zaharah Lubis. Karier jenderal yang biasa disapa Pak Nas itu dimulai pada 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia.
Dua tahun kemudian, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Ketika Jepang takluk tanpa syarat kepada Sekutu dan PETA dibubarkan, Pak Nas berhasil menyatukan para pemuda bekas anggota PETA serta KNIL dan mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Karier militernya terus melejit hingga tahun 1946 dipercaya menjadi Panglima Divisi III/Priangan dan kemudian menjadi Panglima Divisi Siliwangi pada Mei 1946.
Karier AH Nasution terus naik. Februari 1948, AH Nasution menjadi orang kedua setelah Jenderal Sudirman dalam dinas ketentaraan dengan jabatan Wakil Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Jabatan itu dihapuskan sebulan kemudian dan Nasution ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai Panglima Komando Jawa, sebuah jabatan yang sangat tinggi dalam strata militer untuk perwira seusia 30 tahun, usia Nasution ketika memangkunya. Pada usia 31 tahun, Pak Nas naik tahta menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Hubungan antara Presiden Sukarno dan Jenderal Nasution sempat tak harmonis ketika Pak Nas melihat kedekatan Bung Karno dengan PKI pada awal 1960. Ketidaharmonisan itu terus meruncing hingga terjadi peristiwa berdarah yang dilancarkan PKI pada 30 September 1965.
Sebagai jenderal yang menolak komunis, Pak Nas pun menjadi sasaran PKI. Beruntung, Pak Nas selamat dari penculikan berdarah itu meski kakinya terkena tembakan. Dalam peritiwa tragis itu, Pak Nas harus merelakan putrinya Ade Irma Suryani Nasution, yang meninggal dunia dalam peristiwa berdarah tersebut.
Saat pergantian kepemimpinan nasional dari Sukarno kepada Soeharto, Pak Nas kemudian ditunjuk sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). MPRS kemudian menetapkan Jenderal Soeharto menjadi presiden pada 1968. Dimulailah lembaran baru dalam pemerintahan Indonesia dengan sebutan Orde Baru (Orba).
Kemesraan hubungan Pak Nas dengan Presiden Soeharto rupanya juga tidak berlangsung lama. Keterlibatan Pak Nas dalam Petisi 50 menyebabkan dia dipensiunkan lebih dini dari dunia militer. Perlahan tapi pasti, nama Pak Nas menghilang dari pentas politik dan militer nasional.
Pada 1997, nama Pak Nas kembali muncul ketika ia dianugerahi pangkat Jenderal Besar pada peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1997 oleh Presiden Soeharto. Jadilah ia salah satu dan tiga orang di Republik ini yang menyandang 5 bintang di atas bahunya. Dua jenderal lainnya adalah Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Jenderal Besar Soeharto.
Tiga tahun kemudian, Rabu, 6 September 2000, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution mengembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Soebroto Jakarta. Bapak Angkatan Darat itu menghadap Illahi karena menderita stroke. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Advertisement