Liputan6.com, Jakarta - Komnas Perempuan yang terlibat dalam pembuatan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) menampik RUU tersebut pro-perzinaan dan LGBT.
Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei menerangkan, pihaknya melihat perlunya RUU ini karena berlandaskan aspek historis di mana banyak korban kekerasan seksual yang jauh dari akses keadilan. Bahkan korban kerap mendapatkan perlakukan reviktimisasi sebagaimana kasus Baiq Nuril Maknun yang mengundang perhatian publik akhir tahun lalu.
"Tujuan utamanya adalah untuk mendekatkan akses keadilan, sampai pada tingkat pemulihan korban karena memang sampai di situ problemnya, dan termasuk di acara pidananya. Selama ini sering kali mengorbankan kembali korbannya (reviktimisasi), mayoritasnya adalah perempuan. Itu sebenarnya aspek kesejarahan RUU PKS," kata dia ditemui di D'Consulate, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019).
Advertisement
"Soal penolakan itu bahwa ini adalah soal pro-LGBT, pro-perzinaan, itu sebenarnya Komnas Perempuan tidak pernah dalam pembahasannya itu membidik wilayah itu," imbuhnya.
Saat menyusun draf ini, Imam mengatakan pihaknya juga berdiskusi dengan ulama pada saat berlangsungnya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) beberapa waktu lalu.
Termasuk juga mengundang ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta tokoh agama lainnya. Pembahasan bersama para ulama ini bertujuan untuk memastikan jangan sampai ada pasal di RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak sesuai dengan nilai-nilai agama.
"Untuk memastikan jangan sampai ada pasal-pasal yang secara terang benderang atau secara isyarat itu menghalalkan atau mengharamkan apa yang oleh agama (diatur) secara pasti," jelasnya.
"Lalu kalau ini dianggap pro-zina, pro-LGBT, itu saya kira ada bacaan yang belum tuntas terhadap keseluruhan spirit dari draf RUU RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang kita usulkan," kata Imam.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Misinterpretasi
Imam menilai, munculnya penolakan dari sejumlah orang karena misinterpretasi atas pasal-pasal di dalam RUU ini. Mereka yang menolak menafsirkan secara literal padahal bukan ahli bahasa.
"Ada banyak orang yang menafsirkan padahal bukan ahli bahasa sehingga menafsirkannya lebih pada perspektif pribadi, ideologi, bahkan perspektif yang sudah tertanam dalam pikiran mereka," jelas dia.
Dia mengatakan, RUU ini dinilai melegalkan perzinahan karena dalam pasal di dalamnya tidak diatur pemidanaan terhadap perzinahan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal, lanjut Imam, perzinahan telah diatur dalam KUHP.
"Ada loncatan kesalahan dua kali, pertama ada di KUHP dan kalau kita tidak mengatur seakan-akan itu dilegalkan. Ini soal logika," ujarnya.
Imam menerangkan, dalam perspektif agama Islam, ada perzinahan yang tidak bisa dihukum. Perzinahan yang bisa dihukum adalah perzinahan yang sudah bisa dibuktikan oleh empat orang saksi yang melihat secara terang benderang perbuatan tersebut. Perzinahan tetap haram menurut ajaran agama tapi tetap tidak bisa dipidana.
"Tidak semua orang yang mencantumkan perzinahan yang suka sama suka di dalam pemidanaan itu kemudian dianggap pro zina apalagi menghalalkan perzinahan. itu logika yang salah," jelasnya.
Imam juga mengatakan RUU ini tidak bias gender. Baik lali-laki atau perempuan yang melakukan kekerasan seksual bisa dijerat. RUU ini membawa semangat keadilan.
"Ketika melihat realitas ini timpang ya kita harus berpihak. Itu bukan bias, bukan diskriminasi tapi melakukan affirmative action. Dianggap kita seakan-akan mendiskriminasi laki laki. Padahal kita berpihak dalam perempuan dalam konteks afirmasi, bukan diskriminasi," pungkas Imam.
Reporter: Hari Ariyanti
Sumber: Merdeka.com
Advertisement