HEADLINE: Janji Jokowi untuk Papua, Damai di Bumi Cenderawasih Bakal Terwujud?

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan adat Papua meminta beberapa hal kepada Jokowi. Ada sembilan poin yang disampaikan.

oleh Mevi LinawatiAdy AnugrahadiRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 12 Sep 2019, 00:03 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2019, 00:03 WIB
Jokowi Bertemu Tokoh Papua
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengundang para tokoh asal Papua dan Papua Barat di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Puluhan tokoh Papua hadir ke Istana kompak mengenakan topi rumbai, begitu juga para menteri yang mendampingi Jokowi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Suasana Istana Negara riuh siang itu, Selasa 10 September 2019. Penyebabnya, Presiden Joko Widodo menerima 61 tokoh dari Papua dan Papua Barat yang terdiri dari tokoh adat, agama, kepala suku, aktivis, hingga akademisi.

Pertemuan digelar pascakerusuhan di Papua dan Papua Barat karena disulut tindakan rasisme. Suasana makin panas kala kabar bohong mewarnai tindakan rasialis tersebut.

Pertemuan berlangsung hangat. Ada yang menarik, puluhan tokoh yang datang itu kompak mengenakan topi rumbai khas Papua. Begitu juga para menteri yang mendampingi Jokowi.

Dalam pertemuan tersebut, perwakilan adat Papua Abisai Rollo meminta beberapa hal kepada Jokowi. Ada sembilan poin yang disampaikan.

Pertama, meminta adanya pemekaran provinsi 5 wilayah di Papua dan Papua Barat, kedua, pembentukan badan nasional urusan tanah Papua, ketiga penempatan pejabat eselon 1 dan eselon 2 di kementerian dan TPMK, dan empat meminta pemerintah membentuk asrama nusantara di seluruh kota serta menjamin mahasiswa di Papua.

Lima, mengusulkan agar merevisi UU Konsus dalam prolegnas di 2020, enam meminta agar pemerintah menerbitkan inpres untuk pengangkatan ASN di tanah papua, tujuh percepatan palapa ring timur Papua, delapan meminta Presiden mengesahkan lembaga adat dan anak Papua, dan sembilan, meminta agar Jokowi membangun istana di Bumi Cendrawasih.

Gayung bersambut. Presiden Jokowi memberikan tanggapan mengenai permintaan tersebut. Jokowi berjanji mempercepat pemerataan kesejahteraan masyarakat Papua. Oleh karena itu, dia memaksa badan usaha milik negara (BUMN) untuk menerima masyarakat Papua.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun menyetujui pemekaran wilayah di Papua. Jokowi juga menyambut baik usulan tokoh Papua agar membangun Istana Kepresidenan di Papua.  Sontak, seluruh tamu undangan bersorak dan membuat riuh ruangan.

Lantas, apakah janji Presiden Jokowi tersebut bisa mewujudkan damai di Bumi Cenderawasih?

Tokoh Masyarakat Papua Pastor Yohanes Jueno Kandam mengatakan, sembilan permintaan tokoh-tokoh di Papua dan Papua Barat kepada Presiden Jokowi hanyalah bentuk aspirasi yang disampaikan. Apakah bisa meredam atau tidak konflik di Papua, hal itu merupakan tanggung jawab bersama.

"Itu adalah tanggung jawab kita semua, satu republik ini untuk hidup saling membagi kasih dengan cinta kasih dan saling memberi maaf dan rekonsiliasi dalam situasi damai. Ini nilai terdalam dalam dari aspirasi," kata Pastor Yohanes ketika dihubungi Liputan6.com, Rabu (11/9/2019).

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Merauke ini menyebutkan, sembilan permintaan itu tidak bisa menjadi tolak ukur untuk membangun damai dan meredam konflik di Papua.

Dia mengatakan, di Merauke, pihaknya berusaha meredam aspirasi supaya cukup pada tingkat menyuarakan masalah dan tidak merusak. Dia mengimbau dan mengajak semua pihak bertanggung jawab, menjaga keamanan dan menciptakan keamanan.

Johanes menambahkan, yang dibutuhkan masyarakat Papua sekarang ini adalah kesejahteraan. Selain itu, adanya pembangunan di semua sektor, infrastruktur jalan, pelabuhan, komunikasi hingga bantuan perumahan.

"Dan perhatian kepada warga supaya punya sumber hidup yang tetap. Kalau itu terjadi, maka itu aman dan sejahtera, Karena semua punya sumber makan dan orang tidak komentar lagi karena sudah sejahtera," kata Johanes.

 

Infografis Upaya Damai di Bumi Cenderawasih
Infografis Upaya Damai di Bumi Cenderawasih (Liputan6.com/Triyasni)

Sementara itu, tokoh Papua dari Nduga Samuel Tabuni mengatakan, seharusnya ada perwakilan 7 wilayah adat dari Papua dan Papua Barat dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi pada Selasa 10 September 2019. Sehingga, program atau aspirasi yang diajukan ke Presiden lahir dari semua masyarakat di Papua dan Papua Barat serta menjadi aspirasi bersama.

"Tokoh-tokoh itu ke Jakarta tanpa sosialisasi ke orang Papua mengenai apa yang mau dibicarakan. Sosialisasi ke orang Papua harusnya ada sebelum pertemuan dengan bapak presiden," kata dia ketika dihubungi Liputan6.com.

Samuel melanjutkan, akar masalah di Papua adalah adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum terselesaikan. Selain itu, dalam proses integrasi Papua ke Indonesia, masih banyak orang yang belum bisa menerimanya. Selain itu ada diskriminasi etnis dan kesenjangan pembangunan.

"3 hal ini semua tokoh harus bicara itu, karena itu dasarnya. Apapun programnya kalau manusia disakiti haknya tidak difasilitasi, maka nggak pernah nyaman di negara ini. Meledak terus dalam jiwanya," ucap dia.

"Papua itu satu. Masalahnya itu juga satu, jadi programnya itu juga harus sama sama dalam kebersamaan sehingga menyelesaikan Papua secara permanen. Jangan sampai nanti 5 tahun atau 10 tahun ke depan urus Papua lagi," kata Samuel.

Dia pun mengkritisi pemekaran wilayah yang diminta sejumlah tokoh Papua. Dia menyebut, pemekaran wilayah Papua saat ini saja, banyak orang asli Papua tidak terserap baik di pemerintahan, perusahaan, maupun politik.

"Orang Papua di parlemen minim, jadi perjuangkan pemekaran untuk siapa. Penduduk kita sedikit sekali, jadi tidak pas kalau minta pemekaran, sebaiknya jangan dulu," ucap dia.

Samuel menambahkan, situasi masyarakat Papua saat ini sudah kondusif. Namun demikian, banyak warga yang belum puas, karena masih ada hal-hal yang belum terselesaikan.

"Karena itu saya katakan, presiden mesti mengeluarkan sebuah keputusan untuk menyelesaikan Papua secara total," ucap Samuel.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Papua Diabaikan?

Jokowi Bertemu Tokoh Papua
Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyapa para tokoh Papua saat mengadakan pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Jokowi mengundang 61 tokoh asal Papua dan Papua Barat untuk membicarakan masalah percepatan kesejahteraan di Tanah Papua. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Staf Khusus Presiden untuk Papua, Lenis Kogoya menampik anggapan bahwa provinsi Papua diabaikan pada era pemerintahan Jokowi. Dia menilai, pemerintahan saat ini sangat perhatian dengan Papua.

"Kalau ada orang bicara ketidakadilan Papua, itu bohong, saya pelakunya, saya selalu dampingi Pak Presiden. Era Jokowi keadilan sudah mulai ditegakkan," ujar Lenis di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (11/9/2019).

Lenis tak sembarang bicara. Ucapannya tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya.

"Kampung saya ada di perdalaman perjalanan kami ke sekolah kalau berangkat jam 6 pagi, paling pulangnya jam 5 sore. itu juga jalan kaki. Tapi kalau lihat sekarang tadinya jalan kaki sekarang pakai mobil,” ucap dia.

Lenis juga memuji sejumlah program yang dicanangkan pemerintahan Jokowi. Diantaranya menyamakan harga BBM di Papua dengan di daerah-daerah lain.

Lenis mengatakan, Jokowi juga serius membangun Sumber Daya Alam (SDM) di Papua. Setiap tahunnya ada 1.500 anak-anak Papua yang di sekolahkan secara gratis ke Manado.

Sementara itu, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Vidhyandika Perkasa mengaku heran dengan rencana Presiden Jokowi membangun istana presiden di Papua. Karena, ada gedung yang cukup megah, gedung Merdeka yang sekarang ditempati Gubernur Papua Lukas Enembe.

"Jadi saya tidak bisa terlalu memahami makna simbolik apa yang menunjukkan bahwa Jokowi akan menghabiskan lebih banyak waktu di sana, tapi sekali lagi itu makna simbolik memang harus diterjemahkan dengan lebih konkret ya," kata dia kepada Liputan6.com.

Dia menilai, Jokowi mungkin ingin menunjukkan kehadiran negara di tanah Papua. Namun, masalah-masalah di Papua yang sampai saat ini belum diselesaikan oleh pemerintah tidak bisa dielakkan dan harus segera ditangani.

Dia berpandangan, yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah menegakkan keadilan untuk warga Papua terkait rasialisme dan bagaimana komitmen menyelesaikan masalah-masalah di Papua.

"Kan Pak Jokowi sekarang cenderung istilahnya terlalu sama kan pendekatan kesejahteraan, atau tokoh-tokoh masyarakat itu yang dipanggil untuk dibicarakan ke masalah ekonomi. Toh masalah ekonomi sendiri kan juga tidak sepenuhnya efektif kan, pembangunan infrastruktur yang masif itu tidak berhasil meredam gejolak sosial-politik," kata dia.

Vidhyandika menilai, implementasi otonomi khusus di Papua masih bermasalah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembangunan infrastruktur, sehingga tidak ada rasa memiliki. Selain itu, ada masalah hak asasi manusia yang belum terselesaikan.

Mengenai jumlah anggota TNI dan Polri di wilayah Papua yang makin bertambah, Vidhyandika Perkasa mengatakan, harus ada keterbukaan dari pemerintah mengapa semakin banyak pasukan yang didatangkan, padahal hingga kini situasi Papua sudah kondusif.

"Apakah memang ada potensi rusuh kerusuhan berlanjut, apakah ini terkait dengan terlibatnya berbagai macam orang dalam kisruh Papua, kan kita gak pernah tahu. Tapi di mata masyarakat Papua, pikiran mereka cukup simple gitu, misalnya oke tentara banyak kita sudah trauma malah didatangi lebih banyak lagi, jadi maksudnya apa," kata dia.

Menurut dia, pemerintah harus memberi kepercayaan kepada pemerintah daerah untuk menangani masalah domestik di Papua. Sebab, dengan adanya penambahan pasukan, justru membuat masyarakat trauma.

Lalu langkah apa saja yang harus dilakukan untuk damai di Papua? Vidhyandika mengatakan, tidak ada solusi tunggal yang bisa menangani masalah Papua.

Hal yang bisa dilakukan adalah diplomasi, karena ada kelompok Benny Wenda yang ingin membuat situasi tambah runyam. Kemudian, pemerintah harus meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan KPK mengawasi kasus korupsi di Papua.

"Jangan terus pemerintah berdiam terus bilang oh ini sudah harga mati, sudah diakui PBB. Mana mau mereka ngerti. Karena sejarah yang berkembang di antara masyarakat Papua tuh terutama yang generasi milenial tuh sudah banyak. Jadi mereka bingung ini harus percaya siapa," kata Vidhyandika.

Seperti Apa Istana Presiden di Papua?

Jokowi Bertemu Tokoh Papua
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengadakan pertemuan dengan para tokoh Papua di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Jokowi mengundang 61 tokoh asal Papua dan Papua Barat untuk membicarakan masalah percepatan kesejahteraan di Tanah Papua. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Salah satu janji Presiden Jokowi kepada tokoh Papua yang menemuinya adalah akan membangun istana presiden di Papua.

"Mulai tahun depan Istana akan dibangun di sana," kata Jokowi.

Tokoh Papua yang juga Ketua DPRD Kota Jayapura, Abisai Rollo mengaku menyumbangkan 10 hektare tanahnya untuk dibangun istana presiden.

"Saya, Abisai Rollo, menyumbangkan kepada negara tanah 10 hektare untuk dibangun Istana Presiden RI," kata Abisai di hadapan Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).

Ketua DPR Bambang Soesatyo juga mengapresiasi rencana Jokowi sebagai langkah penyelesaian konflik di Papua. Pendekatan Jokowi itu dinilai sebagai pendekatan kesejahteraan yang dibutuhkan.

"Nah, sekarang pendekatannya adalah pendekatan kesejahteraan, pendekatan tanpa perbedaan, Papua adalah bagian dari Indonesia maka kita harus memperlakukanya sebagai bagian dari kita, Indonesia," kata politikus yang disapa Bamsoet itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (10/9/2019).

Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon turut mendukung wacana pembangunan Istana Negara di Papua. Selama benar-benar terealisasi.

"Menurut saya silakan saja, asal beneran. Jangan nanti kayak Esemka nasibnya. Sekarang juga Esemka kan hanya penempelan merk," kata dia.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengaku, ia baru mendapat perintah terkait pembangunan istana negara di Papua pada Selasa 10 September 2019.

"Baru kemarin saya diperintahkan oleh beliau melalui Pak Setneg (Pratikno). Kami baru mau survei lokasinya, tanah ada 10 ha untuk disiapkan buat pembangunan istana yang di Jayapura atau di Papua," ujar dia di Jakarta, Rabu (11/9/2019).

Mendapat titah ini, ia menyatakan, pihaknya akan melakukan sayembara untuk penyusunan desain Istana Papua. Namun, bentuknya tidak akan sama persis dengan istana negara yang ada di Jakarta.

"Jangan dibayangkan seperti istana negara, tapi kayak wisma negara. Sehingga kalau sebagai kantor presiden kalau beliau ada di sana," ungkap dia.

Secara detail lokasi, Menteri Basuki menyampaikan, itu bakal berada di perbukitan tak jauh dari Jembatan Holtekamp, Jayapura. "Ide yang saya dapatkan dekat Jembatan Holtekamp, ada bukit di sana. Kami belum survei," sambungnya.

Dia juga rupanya belum mengetahui calon lahan untuk proyek Istana Papua tersebut milik siapa. Akan tetapi, masyarakat setempat sudah memberi persetujuan untuk dilakukan pembangunan.

"Belum tahu. Karena di sana banyak rakyat, suku, sehingga mungkin harus kita lihat dulu persis. Kalau mereka sih sudah oke aja, tapi belum tahu," tukas dia.

Basuki mengatakan, harga tanah yang mahal jadi salah satu kendala dalam rencana pembangunan istana negara di Papua.

Selain harga lahan, ia menyatakan, upah pekerja yang ada di Tanah Papua juga tidak murah. Itu lantas turut mempengaruhi harga jual lahan di sana.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya