Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis meminta semua pihak, termasuk Presiden Joko Widodo berhenti mengkristalisasi gelombang demonstrasi akhir-akhir ini karena penolakan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Margarito menganggap banyak isu yang diangkat demonstran.
"Demo ramai kemarin itu sampai mengeluarkan korban itu, isunya tidak tunggal. Jadi kenapa Jokowi, sebagian elite ini mengkristalkannya, menjadi UU KPK. Bagaimana dasarnya? Coba kita lihat secara komprehensif, spanduk-spanduk, isu-isu yang keluar saat itu adalah suara-suara mengenai UU Pertanahan, UU PKS, UU KUHP," kata Margarito kepada wartawan, Senin (30/9/2019).
Margarito merasa tak cukup nalar apabila benar Jokowi mengeluarkan Perppu hanya karena desakan segelintir orang. Selain bisa menjadi preseden buruk, mengeluarkan Perppu karena desakan juga bisa melahirkan ketidakadilan dalam sistem demokrasi Indonesia.
Advertisement
Margarito menyontohkan, SBY pernah mengalami hal yang serupa seperti yang dirasakan Jokowi saat ini tentang polemik UU. SBY mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2014 untuk membatalkan UU Pilkada saat mendapat desakan.
Perppu ini terkait mekanisme pelaksanaan pilkada yang sebelumnya telah disahkan DPR melalui UU Pilkada pada 26 September 2014.
"Oleh karena itu, tidak beralasan untuk mengeluarkan Perppu. Belum lagi karena kandungan revisi UU KPK itu adalah sejalan betul dengan demokrasi. Anda mesti cinta terhadap akuntabilitas dan transparansi," jelas dia.
Margarito menyadari Presiden Jokowi punya hak prerogatif untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Namun, Margarito menganggap desakan kepada Jokowi untuk mengeluarkan Perppu membatalkan UU KPK hanya disuarakan segelintir orang.
"Kalau keputusan sepenuhnya diambil berdasarkan desakan, maka kapan saja begitu orang tidak setuju dengan satu gagasan, betapapun gagasan itu masuk akal secara demokrasi, tetapi karena ada jumlah, ada banyak orang di jalanan lalu demi eksistensi kekuasaan itu diakomodasi, itu sama saja dengan menggunakan jumlah untuk menghasilkan otoritarianisme," ucapnya.