Soal Perppu KPK, Ini Saran Wakil Ketua MPR untuk Jokowi

Sejumlah masyarakat mendesak agar Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Perppu KPK.

oleh Ika Defianti diperbarui 09 Okt 2019, 23:31 WIB
Diterbitkan 09 Okt 2019, 23:31 WIB
Peneliti Adukan Kepala LIPI ke DPR
Perwakilan Komisi VII, Fadel Muhammad (kanan) menerima kedatangan rombongan LIPI di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (30/1). Rombongan peneliti LIPI mengadukan kebijakan sang kepala yang baru, Laksana Tri Handoko. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua MPR, Fadel Muhammad menilai, saat ini Presiden Jokowi dalam keadaan sulit dalam mengambil keputusan perihal penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti  Undang-undang (Perppu) KPK. Sebab, meskipun sejumlah elemen masyarakat meminta penerbitan Perppu, tetapi partai koalisi Jokowi menolak langkah tersebut.

"Diendapkan dengan baik, dibahas lagi dan jangan terburu-buru lah dengan keadaan sekarang ini," kata Fadel di Jakarta, Rabu (9/10/2019).

Karena hal tersebut, dia menyarankan, agar sejumlah pasal yang menuai pro dan kontra dalam revisi UU KPK dapat dilakukan pembahasan lebih mendalam.

Jalan terbaik saat ini, kata Fadel, yaitu dengan menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK), meskipun penerbitan Perppu merupakan hak prerogatif presiden.

Dia juga mengaku, telah mendapatkan informasi adanya rencana sejumlah masyarakat ingin mengajukan judical review.

"Jadi, nampaknya ada beberapa kelompok masyarakat yang ingin mengajukan ke MK, ya sudah kita tunggu saja proses tersebut. Begitu yang saya dengar," jelas Fadel.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Melemahkan KPK

KPK Rilis Indeks Penilaian Integritas 2017
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan, ada 10 hal yang akan terjadi jika Perppu KPK tidak segera dikeluarkan.

Pertama, yaitu penindakan kasus korupsi akan melambat, lantaran UU KPK yang baru mengharuskan adanya Dewan Pengawas yang dinilai justru membuat sulit penyelidikan.

Kedua, KPK dianggapnya tidak lagi menjadi lembaga negara independen. Ketiga, hal ini menambah daftar panjang pelemahan lembaga antirasuah itu.

"Keempat, Presiden dinilai ingkar janji pada Nawa Cita. Kelima, Indeks Persepsi Korupsi dikhawatirkan akan menurun drastis. Kemudian, keenam, iklim investasi akan terhambat," kata Kurnia, Selasa 8 Oktober 2019 lalu.

Poin ke tujuh, masih kata dia, Presiden akan dinilai mengabaikan amanat reformasi soal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menurutnya, reformasi itu akan mustahil diwujudkan jika kondisi saat ini menggambarkan adanya grand design dari DPR dan pemerintah untuk memperlemah lembaga anti korupsi Indonesia melalui revisi UU KPK.

"Kedelapan, hilangnya kepercayaan masyarakat pada Pemerintah. Kesembilan citra Indonesia akan buruk di dunia Internasional. Terakhir, menghambat pencapaian program Pemerintah," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya