PDIP Sarankan Judical dan Legislative Review Ketimbang Perppu KPK

PDI Perjuangan menyarankan agar Jokowi melakukan judicial dan legislative review ketimbang mengeluarkan Perppu KPK.

oleh Putu Merta Surya PutraRatu Annisaa Suryasumirat diperbarui 08 Okt 2019, 13:56 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2019, 13:56 WIB
Politikus PDI Perjuangan, Hendrawan-Supratikno
Politikus PDI Perjuangan, Hendrawan-Supratikno.

Liputan6.com, Jakarta - Hingga sekarang, Presiden Joko Widodo atau Jokowi belum menjelaskan secara tegas apakah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dikeluarkan atau tidak.

Politisi PDI Perjuangan Hendrawan Supratikno mengatakan, pandangan awal fraksinya di DPR menyarankan 2 hal. Yakni lebih baik melakukan judical review ke Mahkamah Konstitusi dan legislative review ke DPR RI ketimbang mengeluarkan Perppu.

"Pandangan resmi kami di fraksi, sebaiknya tetap melalui judicial review dan legislative review. Sedikit memakan waktu tetapi prosesnya lebih sehat, ada di jalur hukum, bukan dengan hasil tarik menarik kepentingan politik," kata Hendrawan saat dikonfirmasi, Selasa (8/10/2019).

Dia pun menjelaskan soal adanya Dewan Pengawas KPK yang menjadi sorotan. Menurutnya, sebuah lembaga hukum dengan wewenang yang sangat besar seperti KPK harus diawasi dengan tata kelola yang sehat atau good governance.

"Itu sebabnya dibuat Dewan Pengawas. Jadi KPK yang semula pakai sistem single tier (satu lapis) diganti dengan two tiers (dua lapis), terjadi proses check and balance secara internal," jelas Hendrawan.

Menurut dia, sistem dua lapis tersebut terbukti mampu bertahan berabad-abad dan dinilai sebagai tata kelola modern yang bagus. "Di sektor korporasi, bahkan sekarang sistem two tiers yang paling banyak ditemukan," ungkapnya.

Hendrawan pun menegaskan bahwa masih banyak orang yang protes akan keberadaan undang-undang tersebut tapi tak pernah membacanya.

"Sekarang banyak orang protes, tapi belum baca undang-undang revisinya," dia mengakhiri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Dianggap Melemahkan KPK

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengklaim ada 10 hal yang akan terjadi jika Perppu KPK tidak segera dikeluarkan. Yang pertama, yaitu penindakan kasus korupsi akan melambat, lantaran UU KPK yang baru mengharuskan adanya Dewan Pengawas yang dinilai justru membuat sulit penyelidikan.

Kedua, KPK dianggapnya tidak lagi menjadi lembaga negara independen. Ketiga, hal ini menambah daftar panjang pelemahan lembaga antirasuah itu.

"Keempat, Presiden dinilai ingkar janji pada Nawa Cita. Kelima, Indeks Persepsi Korupsi dikhawatirkan akan menurun drastis. Kemudian, keenam, iklim investasi akan terhambat," kata Kurnia, Selasa (8/10/2019).

Poin ke tujuh, masih kata dia, Presiden akan dinilai mengabaikan amanat reformasi soal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurutnya, reformasi itu akan mustahil diwujudkan jika kondisi saat ini menggambarkan adanya grand design dari DPR dan pemerintah untuk memperlemah lembaga anti korupsi Indonesia melalui revisi UU KPK.

"Kedelapan, hilangnya kepercayaan masyarakat pada Pemerintah. Kesembilan citra Indonesia akan buruk di dunia Internasional. Terakhir, menghambat pencapaian program Pemerintah," pungkasnya.

Soal Karikatur Jokowi

PDIP menyampaikan keberatan atas sampul majalah Tempo yang menampilkan karikatur Presiden Jokowi dalam mengkritik revisi UU KPK. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai pihaknya menghargai kritik sebagai esensi penting demokrasi. Namun, dia menyesalkan ketika simbol negara dibuat karikatur yang dinilainya tak pantas.

"PDIP sangat menghormati kritik sebagai esensi penting dalam demokrasi. Namun etika jurnalistik tetap harus dikedepankan. Demokrasi memerlukan estetika, perlu pemahaman terhadap kebudayaan bangsa, sehingga tampilan karikatur majalah Tempo terhadap Presiden Jokowi dalam beberapa edisi terakhir sangat disesalkan," ujar Hasto dalam keterangan tertulisnya.

Menurut dia, karikatur itu tidak lagi menampilkan pesan jurnalistik yang mencerdaskan dan membangun peradaban, namun sudah menampakkan kepentingan tertentu yang disertai framing untuk pembaca.

"Ketika media tersebut memberikan kritik yang begitu tajam terhadap PDIP kami menerimanya sebagai bagian dari kritik dan kami lakukan otokritik, namun ketika simbol negara Presiden Republik Indonesia dibuat karikatur tersebut, kami sangat menyesalkan. Karikatur Presiden Jokowi tersebut cermin kemunduran kualitas jurnalistik karena minus kebajikan," kata Hasto.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya