LBH Pers: Doxing terhadap Jurnalis Liputan6.com Merupakan Bentuk Kekerasan

LBH Pers mengecam tindakan doxing yang menimpa jurnalis Liputan6.com, Cakrayuri Nuralam.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 12 Sep 2020, 09:01 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2020, 08:55 WIB
Akun yang melakukan doxing terhadap jurnalis Liputan6.com
Akun yang melakukan doxing terhadap jurnalis Liputan6.com (foto: screenshoot dari instagram)

Liputan6.com, Jakarta LBH Pers mengecam tindakan doxing yang menimpa jurnalis Liputan6.com, Cakrayuri Nuralam.

Doxing dialami oleh Cakra usai memverifikasi klaim yang menyebut politisi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan merupakan cucu pendiri PKI di Sumatera Barat, Bachtaroeddin.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, menyatakan, doxing adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap wartawan. Tak dipungkiri saat ini jurnalis banyak terkena doxing berupa mempublikasikan nomor, link akun media sosial, dan pendidikan.

"Doxing semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Okelah saat ini kita belum memiliki aturan terkait dengan perlindungan data pribadi tapi dengan melihat motif saya pikir peristiwa doxing adalah bentuk hambatan pekerjaan terhadap pers," kata dia saat dihubungi, Sabtu (12/9/2020).

Ade mencatat, setidaknya ada tiga jurnalis cek fakta yang sudah terkena doxing pada tahun ini. Dua jurnalis lain adalah dari media Tempo.

Menurut dia, ini terjadi karena belum adanya aturan yang lebih tegas soal penyebaran informasi data pribadi sehingga pada pelakunya tidak bisa diseret ke meja hijau. Kecuali, Ade melanjutkan, di dalamnya ada intimidasi, pelecehan, atau ancaman kekerasan.

"Itu bisa ditindaklanjuti ke proses hukum. Karena itu sekarang dipantau saja apakah akibat dari penyebaran informasi itu terdapat intimidasi, ancaman kekerasan, pelecehan. Tinggal di monitoring sambil kemudian teman-teman yang lain untuk melaporkan akun si penyebar doxing," papar dia.

Ade menyarankan kepada redaksi Liputan6.com untuk segera menyiapkan protokol keamanan bagi jurnalis, sebagai antisipasi adanya peristiwa lanjutan.

"Karena sudah menyebar, dia bisa cek alamat rumah, nomor telepon, jadi redaksi harus mempersiapkan protokol keamanan untuk si jurnalis," ujar dia.

Selain itu, jurnalis yang menjadi korban pun harus membatasi akses media sosial ke orang lain.

"Sebaiknya dikunci agar orang di luar teman-temanya tidak bisa melihat," ucap dia.

Selanjutnya, melaporkan akun-akun pelaku penyebar doxing agar segera diblokir.Terkahir, jika perlu lapor ke pihak berwajib untuk meminta perlindungan.

"Itu langkah awal yang harus diperhatikan unuk meminimalisir adanya peristiwa lanjutan," kata dia.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kronologi Kasus

Cakrayuri Nuralam, seorang Jurnalis Liputan6.com, mengalami doxing atau menyebarluaskan informasi pribadi di jagad maya, karena menulis artikel Cek Fakta terkait Politikus PDIP Arteria Dahlan.

Bermula saat Cakra, sapaan Cakrayuri Nuralam, mengunggah artikel Cek Fakta berjudul "Cek Fakta: Tidak Benar Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Cucu Pendiri PKI di Sumbar", pada 10 September 2020. Artikel tersebut memuat hasil konfirmasi terkait klaim yang menyebut Politikus PDIP tersebut merupakan cucu dari pendiri PKI Sumatera Barat, Bachtaroedin.

Sehari kemudian, serangan doxing mulai terjadi pada Jumat 11 September 2020, dengan skala massif. Sekitar pukul 18.20 WIB, akun Instagram @d34th.5kull mengunggah foto korban tanpa izin dengan keterangan foto sebagai berikut:

"mentioned you in a comment: PEMANASAN DULU BRO‼️ No Baper ye jurnalis media rezim. Hello cak @cakrayurinuralam. Mau tenar kah, ogut bantu biar tenar 🤭. #d34th_5kull #thewarriorssquad #MediaPendukungPKI," tulis akun tersebut dalam unggahanya.

Tidak hanya itu, akun Instagram cyb3rw0lff__, cyb3rw0lff99.tm, _j4ck__5on__, dan __bit___chyd_____, menyusul dengan narasi serupa sekitar pukul 21.03 WIB, akun @d34th.5kull mengunggah video dengan narasi:

"mentioned you in a comment: Demi melindungi kawannya yang terjebak dalam pengeditan data di Wikipedia,oknum jurnalis rela melakukan pembodohan publik Dan diikuti oleh team kecoa nya di masing-masing media rezim, sementara kita buka dulu 1 monyetnya...sisanya next One ShootOne Kill 🏴☠️☠️🏴☠️," tulis akun-akun tersebut yang juga membeberkan sejumlah alamat surel Cakra dan juga akun-akun sosial media yang dimilikinya dan nomor telepon seluler.

Unggahan serupa juga dibuat oleh akun __bit___chyd____. Mereka membuat video dan mengambil data korban di media sosial. Selanjutnya pada pukul 22.10 WIB, akun Instagram i.b.a.n.e.m.a.r.k.o.b.a.n.e juga mengunggah video serupa.

Setidaknya terdapat empat akun yang teridentifikasi melakukan doxing terhadap Cakra terkait unggahan artikel tersebut sebelumnya. Mereka adalah: 1. https://www.instagram.com/cyb3rw0lff99.tm/2. https://www.instagram.com/d34th.5kull/3. https://www.instagram.com/cyb3rw0lff__/4. https://www.instagram.com/_j4ck__5on___

Berdasarkan penelusuran, dari satu akun tersebut beberapa akun lainnya ikut me-repost unggahan ke jejaring media sosialnya hanya dalam hitungan jam.

Dikutip dalam siaran pers Dewan Pers, 31 Agustus 2020, kasus doxing juga dialami beberapa media dan awak media nasional beberapa pekan lalu. Situs Tempo.co mengalami peretasan pada 22 Agustus 2020 yang menyebabkan tampilan laman berita menjadi hitam dan sejumlah pesan yang menyudutkan redaksi.

Tirto.id mengalami hal serupa, dimana artikel yang menuliskan kontroversi temuan vaksin Covid-19 yang menyinggung keterlibatan dua lembaga negara mendadak hilang. Begitu pula dengan Kompas.com dan Detik.com.

Dewan Pers mengartikan doxing sebagai tindakan penyebaran informasi pribadi wartawan kepada publik tanpa seizin yang bersangkutan. Dewan Pers mengimbau bila ada sengketa informasi dalam setiap pemberitaan, hendaknya diselesaikan dengan mekanisme yang diatur di dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999. Dan semua pihak menghindari tindakan-tindakan yang mengarah pada teror dan pembungkaman.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya