Hasil Sidang Sengketa Pilkada di MK Dinilai hanya Mengacu Pada Selisih Suara

Margarito mengataka, apabila MK tetap menerapkan pasal tersebut dalam setiap proses persidangannya, maka sama saja MK sedang membiarkan kecurangan terjadi, selama tidak melebihi batas yang telah ditentukan.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Feb 2021, 15:18 WIB
Diterbitkan 16 Feb 2021, 14:07 WIB
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis mengkritisi produk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sidang sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020.

Margarito mengatakan, sikap MK dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada dipengaruhi Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Diketahui, Pasal ini membatasi gugatan sengketa hasil pemilihan kepala daerah hanya bisa diajukan jika selisih suara penggugat dengan pemenang pilkada maksimum 2 persen.

Menurut dia, apabila MK tetap menerapkan pasal tersebut dalam setiap proses persidangannya, maka sama saja MK sedang membiarkan kecurangan terjadi, selama tidak melebihi batas yang telah ditentukan.

"Itu dia, karena mereka (MK) hanya pakai Pasal 158 doang, akhirnya begitu. Seperti kemarin itu (permohonan sengketa Pilkada) berguguran semua, hari ini pun akan keguguran lagi. Akhirnya kecurangan-kecurangan tidak terdeteksi," kata dia, dikutip dari Antara, Selasa (16/2).

Lebih lanjut, dia berpendapat, sidang sengketa yang digelar MK tersebut hanya sekadar untuk mengetahui jumlah penduduk dan selisih suara dalam pilkada suatu daerah.

Margarito pun mengingatkan MK untuk kembali ke khitahnya sebagai benteng terakhir para pencari keadilan, dengan mengesampingkan Pasal 158 itu.

"Harus dikesampingkan. Menurut saya sebetulnya tanpa perlu revisi pun MK atas nama keadilan berhak meninggalkan pasal itu," ujar dia.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Abaikan Kecurangan

Sementara itu, Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Muhamad Laica Marzuki mengatakan, manakala terjadi pelanggaran dari proses pemilihan, maka pemilihan dimaksud terancam pembatalan atau pilkada ulang.

Laica menyoroti sengketa Pilkada Kalimantan Tengah, di mana pasangan calon nomor urut 01 Ben Brahim-Ujang Iskandar menunjukkan bukti-bukti kecurangan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Seperti dugaan manipulasi Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan calon sampai akhir masa jabatan, serta kecurangan yang meliputi penyalagunaan wewenang, sturuktur, birokrasi dan program pemerintahan.

“Bahwa semua kecurangan yang bersifat fundamental tersebut berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara. MK Perlu memperhatikan bukti-bukti tersebut dan jika benar,maka kiranya pasangan Nomor 02 didiskualifikasi serta memerintahkan KPU Kalteng melakukan pemilu ulang di seluruh Kabupaten di Kalteng,” ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya