Polisi Diminta Tindak Gerakan Radikalisme Melalui Medsos

Petrus mengatakan, polisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal dengan Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Apr 2021, 14:58 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2021, 09:17 WIB
FOTO: Penyelamatan Sandera dari Teroris di Stasiun MRT Lebak Bulus
Tim Brimob Kelapa Dua Mabes Polri bersenjata lengkap melakukan aksi penyelamatan sandera saat simulasi penanggulangan teror di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Rabu (16/12/2020). Aksi tersebut untuk mengecek kesiapan anggota menghadapi ancaman kejahatan berkadar tinggi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Penyebaran ideologi radikalisme kini telah memanfaatkan ruang media sosial (medsos). Pengamat hukum Petrus Selestinus menilai pemerintah tidak bisa membiarkan penyebaran radikalisme melalui medsos terus terjadi.

Menurut dia, Selama ini, pemerintah hanya menutup akun yang terindikasi menyebarkan radikalisme. Polisi seharusnya memproses hukum orang-orang di balik media sosial radikal.

"Polisi wajib memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal, terutama paham yang menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan mengancam kedaulatan negara," kata pakar hukum Petrus Selestinus kepada wartawan, Kamis (8/4/2021).

Petrus mengatakan, polisi bisa menjerat pemilik akun medsos radikal dengan Undang-undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Pemblokiran itu baik sebagai langkah preventif tetapi juga harusnya ditindaklanjuti dengan langkah pemidanaan, karena hukum positif kita sudah mengaturnya," kata Petrus.

Menurut dia, polisi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan masyarakat untuk memproses hukum pihak-pihak yang menguasai dan memiliki atau pemilik akun medsos yang terindikasi menyebarkan paham radikal.

Menurutnya, berdasarkan aturan, polisi cyber memiliki kemampuan dan kewenangan untuk bertindak tanpa harus menunggu pengaduan masyarakat.

Jika hal itu dilakukan, Petrus menduga dampaknya bagi pencegahan penyebaran radikalisme dan terorisme akan cukup besar. "Sekaligus mencegah meluasnya penyebaran paham radikal atau radikal terorisme yang sangat mengancam kedaulatan negara, kehormatan dan wibawa negara," tegas Petrus.

Sebelumnya, Haris Amir Falah, mantan narapidana teroris, menyebut ada perubahan pola rekrutmen orang yang disiapkan melakukan aksi teror. Rekrutmen calon teroris tidak lagi melalui tatap muka, melainkan via media sosial.

Melalui media sosial, kata Haris, calon pengantin bisa melakukan dialog tanpa bertemu tatap muka dengan pembinanya. Haris menuturkan, sejumlah platform media sosial yang kerap dijadikan medium indoktrinasi serta rekrutmen teroris adalah Facebook dan Telegram.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Kominfo Pantau Konten Radikal

Sedangkan Menkominfo Jhonny Plate mengatakan Kementerian Kominfo mengawasi ruang siber menggunakan mesin crawling berbasis AI yang memantau akun dan konten-konten yang terkait dengan kegiatan radikalisme terorisme.

Kemenkominfo juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga serta stakeholder terkait lainnya terkait penyebaran konten radikalisme dan terorisme di medsos. Kominfo juga berupaya menyampaikan konten positif untuk memberi literasi kepada masyarakat.

"Hingga 3 April 2021, Kementerian Kominfo telah memblokir konten radikalisme terorisme 20.453 konten yang tersebar di situs internet, serta beragam platform media sosial," ujar Jhonny.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya