Liputan6.com, Jakarta Sosok Kartini tidak hanya dikenang sebagai seorang tokoh inspirasi emansipasi perempuan di era kolonial, namun juga menjadi teladan dalam dunia pendidikan. Semangat belajarnya tinggi dan perhatiannya kepada dunia pendidikan, khususnya kaum perempuan, tidak diragukan lagi.
Kepedulian Kartini terhadap pendidikan tidak hanya ditujukan kepada kaum perempuan namun juga pada kaum pribumi saat itu, yang merasakan diskriminasi di dunia pendidikan. Di era kolonial, penduduk pribumi selalu dinomor duakan. Hanya kaum bangsawan pribumi sajalah yang dapat merasakan nikmatnya bangku sekolah tinggi, dan duduk berdampingan dengan para pelajar dari negeri Belanda.
Kartini, yang lahir dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, menjadi salah satu pribumi yang beruntung. Lahir dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara, Kartin diperbolehkan sekolah di Europese Lagere School. Di sekolah tersebut, dia belajar bahasa Belanda.
Advertisement
Namun, pendidikannya terpaksa terhenti ketika menginjak usia 12 tahun. Dia harus tinggal di rumah karena dipingit. Adat istiadat kala itu, dia diharuskan menunggu lelaki yang kelak datang untuk melamarnya.
Karena Kartini bisa menulis dan berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Banyak bacaan yang dia lahap sambil terus berkorespondensi.
Salah satunya, Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari surat menyurat dengan Abendanon, Kartini sering membaca buku-buku dan koran Eropa. Dari surat menyurat itu, timbul keinginannya memajukan perempuan pribumi.
Ia melihat banyak perempuan di Tanah Air dengan status sosial lebih rendah darinya, tidak bisa mengecap pendidikan. Kartini sering juga mengirimkan beberapa tulisan, salah satunya kepada majalah wanita Belanda yang ia baca, yaitu De Hollandsche Lelie.
Dalam masa pingitan, Kartini membuka sekolah bagi anak-anak perempuan yang tinggal di sekitar kediamannya. Mereka tidak seberuntung dirinya. Kartini mengajari gadis-gadis itu membaca, berhitung, menyanyi dan aneka keterampilan layaknya yang biasa didapatkan di sekolah.
Keinginannya untuk menempuh pendidikan sangat kuat. Dia ingin ke Belanda. Peluangnya mengecap pendidikan di Belanda sempat terbuka setelah perkenalannya dengan Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda. JH Abendanon sempat menjanjikan beasiswa bagi Kartini dan saudara-saudaranya untuk belajar ke Belanda.
Hingga kemudian, surat dari Belanda yang ditunggu Kartini datang dan mengabulkan permohonannya. Beasiswa telah tersedia untuknya. Namun, setelah berbagai pertimbangan, dia membatalkan beasiswa tersebut. Kartini merasa ada yang lebih membutuhkan beasiswa tersebut, dia adalah seorang pemuda cerdas dari tanah Riau, yang dia sebut Salim, atau yang saat ini kita kenal Agus Salim.
Agus Salim, atau biasa disebut Haji Agus Salim, kini dikenal sebagai salah seorang pahlawan. Dia juga merupakan pemimpin Sarekat Islam.
Kartini lalu mengirimkan surat ke Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini di Belanda, dia memohon agar beasiswa itu diberikan kepada Agus Salim.
Agus Salim sendiri, saat itu sedang berusaha mendapatkan beasiswa ke Belanda.
Tetapi, semua usaha yang dilakukan itu gagal. Hingga kemudian kabar itu terdengar Kartini. Dia berharap, uang beasiswa sebesar 4.800 gulden bisa dialihkan untuk Agus Salim.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Penolakan Agus Salim
Berikut secuil surat Kartini tersebut:
"Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya? Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS. Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 -sebulan. Jika dikehendaki, rasanya mau dia bekerja sebagai kelasi di kapal, asal saja dia berlayar ke Negeri Belanda.
Tanyakan kepada Hasyim tentang anak muda itu. Hasyim kenal dia; pernah mendengar anak muda itu berbicara di Stovia. Nampaknya dia itu seorang pemuda yang hebat yang pantas diberi bantuan. Ketika kami mendengar tentang dia dan cita-citanya, muncul keinginan yang tak terbendung untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan bebannya.
Teringat kami pada SK gubernemen tertanggal 17 Juni 1903. SK yang begitu didambakan sebelumnya tapi kemudian, ketika kami terima, dipandang dengan rasa pilu yang menyayat hati.
Apakah hasil usaha sahabat-sahabat mulia, buah harapan dan doa kami akan hilang lenyap saja,tak terpakai? Apakah tak mungkin orang lain menikmati manfaatnya? gubernemen menyediakan untuk kami berdua sejumlah uang sebesar 4800 gulden guna penyelesaian pendidikan kami. Apakah tidak bisa uang itu dipindahkan kepada orang lain yang juga perlu dibantu, mungkin lebih banyak kepentingan daripada kami! Alangkah indahnya andai pemerintah bersedia membiayai seluruh pendidikannya yang berjumlah kira-kira 8000 gulen. Bila tak mungkin, kami akan berterima kasih, seandainya Salim dapat menerima jumlah 4800 gulen yang disediakan untuk kami itu. Untuk sisa kurangnya kami dapat meminta bantuan orang lain.
Sayangnya, niat baik Kartini itu berbuah penolakan. Agus Salim menganggap, pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Dia menilai ada diskriminasi di dalamnya.
"Kalau pemerintah mengirim saya karena anjuran kartini, bukan karena kemauan pemerintah sendiri, lebih baik tidak," dikutip dari buku Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan.
Sejak peristiwa itu, Agus Salim memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan sekolah. Sementara, pada 12 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Sang bupati sudah memiliki istri dan anak. Kartini kemudian diperbolehkan membangun sebuah sekolah wanita.
Selama pernikahannya, Kartini hanya memiliki satu anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat. Kartini mengembuskan napas terakhirnya setelah melahirkan pada usia 25 tahun.
Advertisement