ICW Sebut Perilaku Koruptif Pimpinan KPK Lili Pintauli Masuk Ranah Pidana

Kurnia juga meminta Kedeputian Penindakan KPK untuk mendalami potensi suap di balik komunikasi Lili dengan Syahrial.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 31 Agu 2021, 11:16 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2021, 11:16 WIB
Wakil Direktur PT Adonara Propertindo, Anja Runtuwene
Wakil Ketua KPK. Lili Pintauli Siregar. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut perbuatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli Siregar masuk ke dalam ranah pidana. Bahkan, Lili bisa diancam dengan pidana penjara selama lima tahun.

"Pasal 65 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas menyebutkan adanya ancaman pidana penjara hingga lima tahun bagi komisioner yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak berperkara di KPK," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Selasa (31/8/2021).

Kurnia menyarankan agar Dewan Pengawas KPK segera melaporkan perbuatan Lili kepada Kepolisian. Sebab, Dewas KPK menyatakan Lili terbukti bersalah melanggar kode etik lantaran berkomunikasi dengan Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial terkait kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.

"Dewas harus melaporkan Lili Pintauli Siregar ke Kepolisian. Langkah hukum ini bukan kali pertama dilakukan oleh KPK. Pada tahun 2009 lalu, Komisioner KPK Bibit Samad Riyanto juga pernah melakukan hal tersebut tatkala melaporkan Antasari Azhar karena diduga bertemu dengan Anggoro Widjaja, Direktur PT Masaro Radiokom di Singapura," kata Kurnia.

Selain itu, Kurnia juga meminta Kedeputian Penindakan KPK untuk mendalami potensi suap di balik komunikasi Lili dengan Syahrial. Sebab, pembicaraan antara Lili dan Syahrial dalam konteks perkara yang sedang ditangani oleh lembaga antirasuah itu.

"Jika kemudian terbukti adanya tindak pidana suap, maka Lili Pintauli Siregar dapat disangka dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara seumur hidup," kata Kurnia.

Pada Senin, 30 Agustus 2021, Dewas KPK menjatuhkan sanksi berat terhadap Lili Pintauli Siregar. Lili terbukti melakukan dua pelanggaran, yaitu, menyalahgunakan pengaruhnya sebagai komisioner untuk kepentingan pribadi, serta berhubungan langsung dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.

Menurut Kurnia, putusan Dewas KPK ini terbilang ringan dan tak sebanding dengan tindakan yang dilakukan Lili. Menurutnya, Lili secara sadar melakukan perbuatan tersebut.

"Perbuatan Lili Pintauli dapat disebut sebagai perbuatan koruptif, sehingga Dewas KPK seharusnya tidak hanya mengurangi gaji pokok Lili, tetapi juga meminta yang bersangkutan untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisioner KPK," kata Kurnia.

 

** #IngatPesanIbu 

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

#sudahdivaksintetap 3m #vaksinmelindungikitasemua

Desak Pengunduran Lili Pintauli

FOTO: KPK Kembali Tahan Tersangka Korupsi Pengadaan Tanah Jakarta
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar saat rilis penahanan Direktur PT Adonara Propertindo, Tommy Adrian di Gedung KPK, Jakarta, Senin (14/6/2021). Selain menahan Tommy Adrian, dalam kasus yang sama KPK juga telah menahan Yoory C Pinontoan dan Anja Runtuwene. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Kurnia menuturkan, ada sejumlah alasan, baik secara yuridis maupun moral, yang melandasi permintaan pengunduran diri terhadap Lili. Pertama, tindakan Lili sudah memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

Regulasi itu menyebutkan bahwa Komisioner KPK berhenti karena terbukti melakukan perbuatan tercela.

"Tidak hanya dua perbuatan yang disampaikan oleh Dewas saja, Ombudsman RI dan Komnas HAM RI juga menemukan adanya malaadministrasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Komisioner KPK -salah satunya Lili-, dalam penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan bagi pegawai KPK," kata dia.

Pada regulasi lain, menurut Kurnia, yakni Bab II Angka 2 Etika Politik dan Pemerintahan TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, menegaskan pejabat publik harus siap menanggalkan jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran dan tidak mampu memenuhi amanah yang diberikan kepadanya.

"Kedua, putusan etik yang dikenakan kepada Lili semakin memperburuk citra KPK di tengah masyarakat," kata Kurnia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya