Liputan6.com, Jakarta - Senin Pagi, 18 September 1944 Hans Luning tak pernah menyangka ledakan yang mengguncang Kapal Junyo Maru berujung pada tenggelamnya bahtera milik Kekaisaran Jepang tersebut. Saat itu, ia pikir ledakan berasal dari boiler kapal.
Dalam memoarnya yang dikutip dari National Geographic Indonesia, Hans Luning menulis tentang dua ledakan yang menenggelamkan kapal kargo Junyo Maru. Ledakan pertama dan kedua hanya berselang beberapa detik.
"Asap mesiu menerpa kami. Sirene kapal meraung menyadarkan kami bahwa kapal telah terkena torpedo. Suasana panik. Kapal kami masih tinggi di air, tapi tanpa berpikir lebih lanjut, saya melompat ke laut," katanya.
Advertisement
Junyo Maru dijuluki kapal neraka karena fasilitasnya yang tak layak, ditambah awaknya yang kejam dan beringas. Kapal kargo itu mengangkut 6.500 orang dengan kondisi berdesakan. Mereka terdiri dari 2.300 tawanan perang Belanda, Inggris, Australia, Indonesia, dan Amerika Serikat.
Sisanya 4.200 warga pribumi atau kuli Jawa yang dijadikan romusha untuk menggarap jaringan kereta api di Sumatera untuk mengangkut batu bara yang akan dikapalkan ke Singapura.
Kondisi di dalam kapal sungguh tak manusiawi. Nyaris tak ada air minum bagi para penumpangnya. Fasilitas toilet pun tidak disiapkan, kecuali beberapa kotak yang diedarkan untuk buang hajat.
Setiap sudut kapal seakan hanya berisi penderitaan. Bagaimana tidak, tahanan di dek atas terpapar angin dan hujan tiap malam hari, serta terik matahari tropis yang brutal sepanjang siang. Sementara penumpang yang ada di bawah bak terpanggang di oven baja.
Mereka yang sakit, lemah, dan kurus tinggal bersesak-sesakan. Tempat tidur terisi penuh oleh mereka yang tak berdaya. Sejumlah tahanan hanya bisa berdiri, yang lain jongkok.
Penderitaan itu dimulai pada 14 September 1944, tepat hari ini, 77 tahun silam. 6.500 orang yang merupakan tawanan perang dan kuli romusha dijejalkan ke dalam kapal berukuran panjang 405 kaki dan lebar 53 kaki tersebut. Kapal kargo buatan 1913 itu diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Padang.
Seperti dikutip dari artikel yang ditulis Robert Barr Smith di Historynet.com, sebelum kapal berlayar, bau tubuh dan kotoran manusia amat menyengat. Banyak tahanan menderita malaria atau disentri, bahkan keduanya. Beberapa meninggal dan yang lainnya menjadi gila.
Tak ada perlengkapan penyelamat diri dalam kapal itu. Hanya beberapa rakit yang ditumpuk di dek. Jaket pelampung tersedia khusus bagi para kelasi dan perwira Jepang.
Ditorpedo Inggris
Kapal Junyo Maru berlayar melewati Gunung Anak Krakatau, menyusuri pantai barat Sumatera, menuju Padang. Namun di tengah perjalanan, Junyo Maru ditorpedo kapal selam Inggris, HMS Tradewind di perairan dekat Kota Muko Muko, Bengkulu.
Inggris tak mengetahui bahwa kapal milik Kerajaan Jepang itu mengangkut tawanan perang. Dua torpedo ditembakan ke bagian depan kapal serta buritan.
Kapal barang itu mulai tenggelam, diawali dari buritan. Kepanikan pun terjadi. Para tahanan di bawah hanya memiliki satu tangga besi untuk lari. Mereka berebut. Perkelahian pun pecah.
Sejumlah orang terdengar menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, 'Wilhemius'. Pun lantunan tembang 'Ambon, Haroekoe Saparoea' berkumandang. Lainnya melontarkan sumpah serapah, berteriak panik, atau berdoa.
Ledakan kuat kemudian terjadi, Junyo Maru tenggelam ke laut. Buih merah muncul saat buritan kapal masuk ke air. Bukan dari darah, tapi dari daun merah yang ditimbun di gudang.
"Aku melihat kapal tenggelam. Di dek depan, para romusha yang tak bisa berenang berjatuhan saat Junyo Maru dalam posisi nyaris vertikal dan kemudian menghilang ke dalam laut," kata salah satu tawanan perang, Willem Punt.
Nasib Junyo Maru pun berakhir di Samudera Hindia pada 18 September 1944. Sebanyak 5.620 orang tewas dalam kecelakaan laut paling dahsyat di tengah Perang Dunia II itu. Korban terbanyak adalah kuli pribumi yang dijadikan romusha, mencapai 4.000 jiwa.
Korban selamat bertumpu nyawa pada rakit dan puing kapal. Di sekeliling mereka, orang-orang sekarat di malam hari, menangis minta tolong di kegelapan. Lolongan putus asa bersahutan, tapi tak ada bantuan yang tiba.
Saat fajar, kapal korvet Jepang kembali, menarik mereka yang masih hidup dari air. Sisanya hilang.
Mereka yang selamat tak lantas lega. Sebanyak 680 orang penyintas dipaksa mengerjakan jaringan rel kereta Pekanbaru yang membentang sejauh 220 kilometer.
Salah satu korban yang selamat menulis, hanya 96 tawanan yang bertahan hidup. Tapi tak ada satu pun korban selamat di antara para romusha yang malang.
Untuk mengenang peristiwa nahas tersebut, Stichting Herdenking Junyo Maru mendirikan Monumen Junyo Maru di Ereveld Leuwigadjah, Cimahi, Jawa Barat. Monumen tak hanya ditujukan bagi mereka yang tewas dalam bencana kapal neraka, namun juga untuk semua yang binasa di laut kala perang 1942-1945.
Plakat monumen yang diresmikan 21 September 1984 itu tertulis, "Herdenking Slachtoffers Zeetransporten 1942-1945, Stichting Junyo Maru".
Advertisement