Liputan6.com, Jakarta - Setidaknya, sudah satu bulan belakangan ini, tren remaja Citayam yang kerap ditemukan bergumul di pusat Kota Jakarta memunculkan sebuah fenomena baru. Banyak orang menyebutnya dengan 'Citayam Fashion Week' lantaran muda-mudi tersebut mengenakan pakaian yang sangat stylish.
Layaknya ajang Fashion Show di New York, mereka bak Supermodel yang berlenggak-lenggok di runway area Sudirman dan sekitarnya. Munculnya fenomena ini tidak terlepas dari figur-figur beken yang kerap diwawancarai oleh para tiktokers ataupun pegiat media sosial lainnya seperti Bonge, Roy hingga Jeje Slebewww.
Terlepas dari hal itu, pada kenyataannya fenomena ini cukup banyak menyita perhatian publik, tak terkecuali kalangan elite. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memunculkan istilah SCBD, merujuk singkatan dari nama empat wilayah yang berkaitan dengan fenomena ini, yakni Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok.
Advertisement
Tidak hanya dari kalangan kepala daerah, fenomena ini turut menyita perhatian kalangan menteri, sebut saja Sandiaga Uno. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI tersebut mengatakan, tren remaja Citayam yang belakangan ramai di pusat Kota Jakarta dinilai dapat membantu pariwisata.
Lebih lanjut, Sandiaga mengatakan viralnya kebiasaan baru anak-anak dan remaja dari Citayam di pinggir jalan Sudirman yang sedang menjadi topik hangat ini, menurutnya hal ini sebagai bentuk demokratisasi gaya hidup milenial.
Merujuk pada hal tersebut Kim Parker Dkk dalam tulisannya yang berjudul Generation Z Looks a Lot Like Millennials on Key Social and Political Issues, mengatakan generasi Z atau milenial sejatinya lebih menerima beberapa cara dalam mengekspresikan diri di tengah perubahan zaman dan mereka cenderung memiliki pandangan positif tentang perbedaan, dalam hal ini termasuk fesyen.
Artinya, dengan ramainya tren remaja tanggung ini secara tidak langsung dapat memunculkan kebiasaan baru di tengah perubahan zaman yang mendorong mereka untuk dapat bebas dalam berekspresi, khususnya dalam hal berpakaian.
Kembali pada istilah 'SCBD' yang dikemukakan oleh Anies Baswedan. Menariknya, hal ini mendapatkan respon serius dari Wakil Wali Kota Depok, Imam Budi Hartono yang mengatakan bahwa fenomena remaja SCBD menjadi tanda keinginan bergabungnya Kota Bogor, Depok, dan Bekasi (Bodebek) dengan DKI Jakarta.
Hal ini kemudian dipertegas oleh Muhammad Idris selaku Wali Kota Depok yang mengatakan masuknya Depok ke Jakarta dinilai akan menyelesaikan sejumlah permasalahan konvensional, seperti banjir.
Tidak hanya itu, menurut politisi PKS tersebut, ide penggabungan daerah penyangga menjadi Megapolitan mendapatkan dukungan dari banyak pihak termasuk Guru Besar IPDN sekaligus mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Ryaas Rasyid. Idris menilai Ryaas Rasyid menguatkan kembali akan rencana tersebut.
Melihat lebih dalam mengenai usulan tersebut, momentum dari fenomena 'Citayem Fashion Week' ini seakan menjadi booster tersendiri bagi Wali Kota Depok tersebut untuk menjadikan kotanya masuk menjadi bagian dari Jakarta.
Dalam konteks ini, Argumentasi tersebut masuk akal apabila mengacu pada tulisan Corey L. Guenther yang berjudul Psychological momentum and risky decision-making, di mana fenomena "Citayam Fashion Week" dapat ditafsirkan sebagai 'Momentum Psikologis' yang membuat individu mampu meningkatkan kinerja dalam berbagai hal termasuk meningkatkan wacana soal Depok gabung Jakarta.
Namun, dalam konteks Momentum Psikologi ini juga memiliki kelemahan, seperti meningkatkan keputusan yang beresiko—dengan cara memunculkan kepercayaan diri yang tinggi. sehingga, usulan tersebut tidak disambut baik oleh banyak pihak.
Hal ini telah dibuktikan dengan adanya ragam kritik dari berbagai pihak termasuk dari pelaku yang memunculkan fenomena 'Citayam Fashion Week' di mana para remaja tanggung tersebut mengaku tak setuju bila Depok digabung dengan DKI Jakarta.
Kendati demikian, meski usulan tersebut ramai digaungkan seiring dengan ramainya fenomena 'Citayam Fashion Week'. Namun, kenyataannya usulan tersebut bukan terjadi kali ini saja melainkan sudah terjadi sejak awal tahun 2000-an, ketika Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Sutiyoso atau 'Bang Yos' yang mengawali gagasan Depok gabung Jakarta.
Lagu Lama Kaset Baru
Istilah 'Lagu Lama Kaset Baru' mungkin agak tepat untuk melabeli peristiwa Depok gabung Jakarta yang kembali digaungkan. mengingat, usulan tersebut sejatinya bukan menjadi hal baru dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di Jakarta dan wilayah penyangganya.
Awal-mula Gagasan mengenai penggabungan wilayah penyangga dengan Jakarta sudah digaungkan sejak tahun 2000-an, di mana ketika Sutiyoso atau 'Bang Yos' menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. dia menciptakan konsep tentang Megapolitan yang terkait dengan tata ruang di perkotaan seperti Jakarta dan sekitarnya.
Dalam pemikirannya mengenai konsep ini, ia menyebut konsep megapolitian merupakan bentuk pertumbuhan alami yang sudah ada di berbagai negara. sebut saja Bangkok, yang dulunya sebagai kota mikro kemudian dibuat sebagai kota makro yang terus mengalami perkembangan sebagai kota inti bersama-sama dengan wilayah sekitarnya menjadi megapolitan. dilansir dari Antara
Menurut Robert E. Lang dalam tulisannya yang berjudul The origin, evolution, and application of the megapolitan area concept. menyebutkan, gagasan konsep megapolitan sudah dimulai sejak tahun 1961 oleh Jean Gothmann. ide tersebut kemudian dikembangkan oleh peneliti dari Urban Land Institute yang mengambil ide metropolis untuk diterapkan di seluruh penjuru Amerika Serikat dan memproyeksikan pertumbuhan wilayah perkotaan dengan skala besar hingga tahun 2000.
Dari sejarah tersebut, Robert kemudian melakukan evolusi terkait konsep megapolitan yang didefinisikannya sebagai kluster megapolitan dengan beberapa wilayah yang terhubung dengan jaringan, baik yang berbentuk akses perjalanan maupun logistik.
Berkaca pada konsep tersebut, gagasan mengenai Depok gabung Jakarta sebenarnya dapat menciptakan suatu hal positif, terlebih jika bertolak pada data komuter pekerja atau pergerakan pekerja asal depok yang mayoritas proporsinya bekerja di Jakarta. dilansir dari katadata.co.id
Hal ini juga dapat menjadi indikasi bahwa mayoritas warga depok sudah akrab dengan Jakarta. sebagaimana dituturkan oleh Wali Kota Depok Muhammad Idris yang menyebut Depok dan Jakarta memiliki keakraban dari segi kulturalnya.
Menurut Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga menilai, pernyataan Wali Kota Depok Mohammad Idris soal ide penyatuan wilayah penyangga menjadi Jakarta Raya adalah hal yang memang bisa diwujudkan.
Nirwono berpandangan bergabungnya Bodetabek dengan DKI Jakarta akan memperkuat posisi Jakarta sebagai kota bisnis seperti Tokyo Raya.
Terlepas dari kuatnya posisi Jakarta sebagai kota bisnis yang apabila wacana bergabungnya Bodetabek dengan DKI Jakarta dapat diwujudkan. Namun, langkah ini sepertinya memerlukan proses yang sangat panjang. Mengingat, ada konsekuensi politik yang harus ditempu seperti dihapuskannya DPRD Depok dan perubahan status otonom ke kota administrasi.
Advertisement
Depok Gabung Jakarta, Wacana Integrasi Politik?
Kendati disebut dapat menguatkan posisi Jakarta, banyak pihak yang mungkin masih bertanya-tanya, apa sebenarnya motif terkait usulan penggabungan kota penyangga dengan Jakarta setelah Pemerintah Kota (Pemkot) Depok 'getol' dengan ide penggabungan tersebut.
Tak sedikit yang menyebutkan bahwa ide terkait usulan tersebut tak realistis. Namun, yang lain berpandangan bahwa ide tersebut juga dapat memberikan dampak yang positif terhadap Jakarta dan kota penyangganya.
Salah satu faktor utama mengenai ide terkait penggabungan kota penyangga dengan Jakarta yang diusulkan Wali Kota Depok, menurutnya terdapat sejumlah keuntungan yang akan didapat seperti dalam bidang ekonomi hingga penanganan banjir dan sampah serta permasalahan konvensional lainnya.
Argumentasi tersebut masuk akal apabila berkaca pada penggabungan Township dan Borough of Princeton di New Jersey, Amerika Serikat. di mana penggabungan kedua kota tersebut mampu memberikan dampak positif dalam hal penanganan masalah sampah dan pajak daerah.
Menelisik lebih dalam konteks usulan ini, faktor integrasi penyelesaian masalah konvensional dan ekonomi menjadi yang utama. Namun, bukan berarti faktor lainnya dapat disepelekan. Misalnya, integrasi politik.
Persoalan integrasi politik akan menjadi signifikan. mengingat, bergabungnya Depok ke Jakarta akan menggeser status wilayah otonomi menjadi kota administrasi, di mana konsekuensinya DPRD Depok harus dihilangkan. Hal ini tentu akan menjadi persoalan panjang yang melibatkan perubahan-perubahan sebagian aturan maupun undang-undang. Terlebih persoalan ini juga akan melibatkan berbagai keputusan partai politik.
Leon N. Lindberg dalam tulisannya yang berjudul Political Integration as a Multidimensional Phenomenon Requiring Multivariate Measurement, integrasi politik menyiratkan bahwa sejumlah pemerintah mulai membuat dan menggunakan sumber daya bersama untuk berkomitmen dalam mengejar tujuan tertentu dan bahwa mereka melakukannya dengan mengesampingkan beberapa atribut faktual seperti kedaulatan dan otonomi pengambilan keputusan.
Berkaca pada pandangan Leon, dalam konteks ide penggabungan Depok dengan Jakarta, faktor integrasi politik sepertinya dapat menjadi faktor yang lebih utama dibandingkan dengan integrasi penyelesaian masalah konvensional, mengingat hal ini menyangkup semua faktor-faktor yang dikemukakan oleh Wali Kota Depok.
Namun, hal ini bisa dipandang berbeda dalam tatanan politik Indonesia, alih-alih disebut dapat memberikan keuntungan, justru hal ini bisa disebut sebagai wacana politis kepala daerah. terlebih Wali Kota Depok tersebut sudah menjabat selama 10 tahun lebih sejak tahun 2011, yang artinya di masa-masa selanjutnya mungkin dirinya sudah tidak dapat ikut dalam kontestasi pilkada.
Terlepas dari hal itu, penjelasan terkait wacana politik ini masih sebuah pandangan semata. mengingat, motif yang sebenarnya terjadi dibalik usulan tersebut memang masih menjadi misteri, terlebih ide penggabungan tersebut bertolak pada fenomena 'Citayam Fashion Week' yang berarti secara urgensi bisa dikatakan wacana reaksional.