Liputan6.com, Jakarta Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie angkat suara terkait Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam) di 38 Provinsi oleh pemerintah.
Menurut dia, dua hal tersebut cukup kontradiktif dengan upaya penguatan pertahanan dalam menghadapi kompleksitas ancaman juga peningkatan profesionalitas militer.
“Wacana penambahan Kodam dan revisi UU TNI memiliki aroma perluasan peran militer di ranah sipil begitu kental,” kata Ikhsan dalam keterangan tertulis, Kamis (25/5/2023).
Advertisement
Ikhsan membedah, dalam konteks revisi UU TNI, hal tersebut terlihat dalam perluasan cakupan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) pada Pasal 7 ayat (2) dan jabatan sipil bagi prajurit aktif pada Pasal 47 ayat (2). Sementara dalam hal penambahan Kodam terlihat melalui pembentukan struktur TNI yang mengikuti struktur administrasi pemerintahan hingga ke daerah.
“Ini membuat TNI semakin dekat dengan peran-peran sipil di daerah. Penggelaran struktur TNI mengikuti struktur administrasi pemerintah tersebut juga bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UU TNI, sebagaimana dijelaskan pada bagian penjelasannya,” yakin dia.
Ikhsan percaya, kondisi dua wacana itu secara nyata memiliki dampak legitimasi perluasan peran militer di ranah sipil dari tingkat pusat (melalui revisi UU TNI) hingga ke tingkat daerah (melalui penambahan Kodam).
Dia menyayangkan, 25 tahun reformasi, yang mana salah satunya mengenai reformasi militer, nyatanya belum cukup membawa konsistensi perubahan dalam agenda reformasi militer.
“Atas dasar itu, SETARA Institute catatan, yakni agenda reformasi TNI seharusnya semakin mendorong TNI untuk benar-benar konsisten dan memfokuskan diri untuk penguatan bidang pertahanan negara, terutama dalam menghadapi ancaman dari luar,” tegas dia.
Ikhsan mendorong, TNI bisa lebih berfokus dengan kondisi global yang berada di era VUCA atau Volatility (volatilitas), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kompleksitas), Ambiguity (ambiguitas).
Artinya, ketidakpastian ancaman ke depannya dapat terjadi, sebagimana dunia dikejutkan dengan wabah Pandemi dan konflik Rusia-Ukraina.
“Dengan kondisi demikian, seharusnya membuat TNI mengutamakan orientasi ke luar (outward looking) dalam paradigma pertahanan negara,” saran dia.
Revisi UU TNI Belum Urgensi
Ikhsan mencatat, revisi UU TNI dan penambahan Kodam belum memperlihatkan urgensi, malah seolah memperlihatkan minimnya visi dan desain modernisasi pertahanan dalam menjawab tantangan kondisi global.
“Basis argumen yang disampaikan ke publik pun tidak relevan antara tujuan dan implementasi, yakni penguatan pertahanan menghadapi ancaman, tetapi dengan cara perluasan peran militer di ranah sipil,” heran dia.
Ikhsan mendalami, dinamika ancaman semakin berkembang dan seharusnya penguatan pertahanan dilakukan dengan cara-cara yang modern. Salah satunya adalah pemanfaatan teknologi pertahanan dan bukan dengan pengulangan cara-cara konvensional.
“Jadi akan lebih efektif juga jika penempatan Kodam difokuskan di daerah perbatasan maupun terluar guna memastikan pertahanan dan kedaulatan negara,” saran dia.
Menyikapi kritik terkait, Ikhsan pun meminta Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Udara (AU) sebagaimana amanat Konstitusi bisa mendorong agar TNI memperkuat kapasitas prajurit maupun kelembagaan, baik dengan penguatan alutsista, penguatan skill tempur prajurit, latihan militer gabungan.
“Update teknologi untuk penguatan pertahanan, hingga peningkatan kesejahteraan prajurit,” dia menutup.
Advertisement