Liputan6.com, Jakarta - Komisi B DPRD DKI Jakarta meminta Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum (PAM) Jaya segera menindaklanjuti catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dia ingin masalah laporan keuangan itu dibenahi secara menyeluruh dengan cara digitalisasi, transaksi hingga inventarisasi aset.
Pasalnya, Ketua Komisi B DPRD DKI Jakarta Fraksi PKS Ismail ini menilai opini disclaimer yang diberikan BPK terhadap laporan keuangan PAM Jaya tahun 2022 tidak terjadi instan.
Menurut dia, ada kelemahan penataan bisnis saat pengelolaan air di Jakarta ada di bawah kendala swasta, yakni PT Palyja dan PT Aetra selama 25 tahun terakhir. Dia menyebut, jika melihat pengarsipan baik terkait aset maupun data-data keuangan dan transaksi PAM Jaya sangat lemah.
Advertisement
"Makanya tadi kita dorong untuk mereka segera membuat satu perencanaan digitalisasi transaksi dan aset sehingga ini akan semakin menekan peluang terjadinya kesalahan yang mengakibatkan adanya temuan BPK," kata Ismail dalam keterangan resmi, Rabu (14/6/2023).
Sebelumnya, dalam rapat paripurna penyampaian laporan hasil pemeriksaan (LHP) atas penggunaan APBD tahun anggaran 2023 beberapa waktu lalu Anggota V BPK RI Ahmadi Noor Supit memberikan opini disclaimer kepada PAM Jaya berdasarkan empat pertimbangan.
Pertimbangan pertama, aset tetap sampai dengan 1986 setelah revaluasi dan aset tetap bangunan serta instalasi yang diperoleh pada 1997 dicatat bersamaan tanpa didukung rincian setiap asetnya. Pertimbangan kedua, pengelolaan persediaan bahan baku air tak produktif dan tidak tercatat dengan baik.
Kemudian pertimbangan ketiga, pencatatan transaksi hasil kerja sama PAM Jaya dengan pihak swasta di rekening penampungan (escrow) per 31 Desember 2022 senilai Rp790,58 miliar tak disajikan dalam laporan posisi keuangan. Kemudian, saldo dana Rp48,42 miliar belum jelas hak dan kewajibannya.
Pertimbangan Selanjutnya
Lalu Pertimbangan keempat, pencatatan utang uang jaminan langganan (UJL) tidak didukung dengan daftar rincian yang lengkap dan akurat sehingga saldo utang UJL sebesar Rp 53,32 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya.
Direktur Utama PAM Jaya Arief Nasrudin mengakui kelemahan sistem pengarsipan yang membuat sebagian aset mereka tidak tercatat dengan pembukuan yang baik. Dia mengatakan, temuan BPK itu menjadi cambuk bagi perbaikan tata kelola aset perusahaan PAM Jaya.
"Jadi kalau yang temuan BPK itu aset detailnya yang tahun 1986 sebelum dikerjasamakan dengan pihak Aetra dan Palyja. Sebenarnya ya kelemahan kita ada di pengarsipan," katanya.
Dia mengakui itu sebagai kelemahan pengelolaan perusahaan. Sebab, selama 25 tahun pengelolaan air minum diserahkan ke pihak ketiga, PT Palyja dan PT Aetra, perapihan data aset nyaris terbengkalai.
"Tapi sekali lagi ini bagian dari kelemahan korporasi yang selama ini kan 25 tahun kita jadi penonton. Sekarang waktunya kita untuk bergerak mandiri. Cuma memang butuh waktu. Ini kan baru 4.5 bulan dari kita ambil alih mulai tanggal 2 Februari kemarin," ungkap dia.
Advertisement