Pemerintah Perlu Bentuk Regulasi yang Membatasi Penyebaran Ideologi HTI

Ketua Prodi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhamad Syauqillah, menilai Pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya bukan solusi tuntas.

oleh Tim News diperbarui 09 Mar 2024, 14:14 WIB
Diterbitkan 09 Mar 2024, 02:11 WIB
Penuhi SUGBK, Ribuan Anggota HTI Hadiri Rapat dan Pawai Akbar 2015
Jamaah Islam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengumandangkan yel-yel saat Rapat dan Pawai Akbar (RPA) 2015 bertema "Bersama Umat Tegakkan Khilafah" di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (30/5). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Prodi Kajian Terorisme SKSG UI, Muhamad Syauqillah, menilai Pembubaran HTI yang dilakukan oleh pemerintah sebenarnya bukan solusi tuntas. Sebab, organisasi tersebut masih bisa berkamuflase lewat gerakan bawah tanah dalam melakukan penyebaran paham ideologi yang berbeda dengan Pancasila.

Belum lama ini juga juga sempat viral di media sosial X, diduga organisasi HTI menggelar acara berkedok Metamorfoshow di TMII pada Sabtu, 17 Februari 2024 lalu.

Syauqillah pun menyoroti pentingnya tak terlena dengan tren penurunan angka kejahatan terorisme, karena pemikiran radikalisme dan ekstremisme masih mengancam ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI.

"Apakah dengan putusan membubarkan organisasi tersebut lalu kemudian pergerakan HTI berhenti, pada faktanya beberapa waktu yang lalu ada event yang cukup besar di salah satu kawasan di Jakarta di taman mini yang kemudian menyebarkan pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan HTI pembicaranya juga merupakan pentolan dari HTI," kata Syauqillah.

Untuk itu, ia kembali mengingatkan pemerintah untuk selalu waspada dengan kebangkitan kelompok HTI yang muncul memanfaatkan sejumlah momen. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya ribuan orang pada acara beberapa waktu lalu yang tentunya menjadi sinyal kuat bahwa organisasi tersebut masih eksis.

"Jadi apa yang harus dilakukan negara, pertama mungkin ini menjadi PR bersama, sebab dari sisi regulasi penyebaran ideologi yang berlainan dengan Pancasila yang sifatnya bertentangan dengan ideologi negara itu masih belum tercover dengan baik," jelasnya.

"Kita sudah sepakat pada 1945 Indonesia berdasarkan Pancasila dan NKRI artinya dengan konsepsi besar itu maka tidak ada satu mekanisme ijtihad yang lain atau dalam bahasa ulama yang kemudian menawarkan konsepsi yang baru," sambungnya.

Pemerintah Harus Tegas

Syauqillah menekankan bahwa pemerintah juga perlu meningkatkan ketegasan terhadap kampanye yang bertentangan dengan Pancasila. Jika perlu, membuat aturan khusus untuk melarang penyebaran ideologi anti-Pancasila.

Pasalnya, dalam era bebas bermedia sosial, netizen, khususnya perempuan dan anak muda, sangat rawan terpapar paham-paham dari kelompok radikal.

"Saya rasa perlu dilakukan dan kongkritnya seperti apa regulasinya harus jelas pertama negara harus melakukan satu upaya perumusan regulasi yang membatasi penyebaran ideologi yang seperti ini," ujar Syauqillah.

"Jika ada ideologi lain yang bersentuhan dengan ranah negara, negara harus ambil sikap seperti apa yang menurut saya penyebaran ideologi yang seperti ini perlu diatur atau dalam bahasa yang tegas kita harus melarang konsepsi penyebaran ideologi bernegara yang berlainan dengan Pancasila," lanjutnya.

Antisipasi

Syauqillah juga berharap agar pemerintah bergerak cepat dalam melakukan hal antisipasi membendung masalah yang terjadi saat ini. Untuk langkah awal bisa melalui edukasi kepada ormas-ormas dan generasi muda.

"Kita perlu edukasi kepada ormas-ormas keagamaan melalui MUI melalui Muhammadiyah dan berbagai macam ormas yang ada dan ini sangat penting. Edukasi yang dilakukan juga harus menyesuaikan apa yang ada di audience, kalau misalnya generasi muda maka disesuaikan edukasi itu dengan gaya dan pola generasi muda jadi ini yang menurut saya jadi tantangan untuk kita semua ke depan," tutupnya.

infografis journal
infografis Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya