Liputan6.com, Jakarta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah menerbitkan peraturan yang mewajibkan setiap produsen Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) mencantumkan label peringatan bahaya senyawa kimia Bisfenol A (BPA) pada galon air minum dengan kemasan plastik polikarbonat.
Peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, mengatur dua pasal tambahan terkait pelabelan risiko bahaya BPA pada kemasan AMDK, yaitu 48a dan 61a, dengan tenggat waktu transisi empat tahun bagi produsen untuk melakukan penyesuaian.
Baca Juga
Aturan tersebut mengundang pro-kontra di kalangan pelaku usaha. Salah satunya dari asosiasi AMDK yang diketuai oleh korporasi multinasional yang menolak regulasi tersebut dengan alasan selama 40 penggunaan galon guna ulang polikarbonat puluhan tahun belum ada temuan masalah kesehatan akibat mengonsumsi AMDK tersebut.
Advertisement
Di sisi lain, sejumlah pihak mengapresiasi terbitkan peraturan BPOM karena dapat menekan peluang paparan risiko BPA.
“BPOM bisa memperkecil peluang paparan risiko BPA melalui pemberian label pada kemasan makanan dan minuman," kata Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Prof. Junaidi Khotib.
Ahli Farmakologi Universitas Airlangga itu menyebut bahwa langkah BPOM sebagai upaya melindungi kesehatan publik.
"Pelabelan itu bagian dari edukasi publik sekaligus bentuk perlindungan untuk masa depan anak-anak Indonesia,” ujarnya.
Uni Eropa Larang Kandungan BPA di Kemasan Makanan & Minuman
Di banyak negara, penggunaan senyawa kimia BPA untuk kemasan air minum dan lainnya semakin ketat dan bahkan dilarang. Sebanyak 27 negara yang bergabung dalam Uni Eropa sudah resmi mengumumkan kebijakan pelarangan penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman pada penghujung tahun 2024 ini.
UE juga sangat tegas, perusahaan hanya diberi waktu transisi selama 18 hingga 36 bulan untuk mematuhinya. Hal ini berbeda dengan BPOM yang memberikan tenggat waktu lebih lama yakni empat tahun kepada pengusaha AMDK untuk ikut regulasi pelabelan kemasan galon BPA.
Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan temuan uji migrasi BPOM sendiri pada AMDK galon polikarbonat, yang justru menghasilkan temuan yang mengkhawatirkan.
Berdasarkan uji migrasi BPOM pada AMDK galon polikarbonat (PC) sepanjang tahun 2021-2022, ditemukan bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA yang dipatok BPOM: yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan”, karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Kebijakan Indonesia yang lunak ini sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Investigasi surat kabar Washington Post (31/5/2009), mengungkapkan bagaimana para pemimpin industri yang menggunakan senyawa BPA berupaya melakukan perlawanan dengan segala cara, agar produk kemasan mereka tidak diregulasi. Meski ada lebih dari 100 publikasi penelitian tentang bahaya BPA, Food and Drug Administration (FDA atau BPOM-nya AS) masih belum meregulasi kemasan BPA, hanya karena mempertimbangkan dua hasil riset pro-BPA.
(*)
Advertisement