Jejak Kaisar Ming di Bawah Pohon Mangga

Sebagai administrator yang kompeten, Zhang melakukan reformasi dalam berbagai bidang seperti mereformasi ekonomi dan pertanian.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 23 Des 2017, 07:00 WIB
Diterbitkan 23 Des 2017, 07:00 WIB
Jejak Kaisar Ming Di Bawah Pohon Mangga
Bokor, mangkok, dan piring keramik yang ditemukan di bawah pohon mangga. (foto:Liputan6.com/heri cs/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang Kisah jejak Dinasti Ming ini bermula ketika kegiatan Eko Warno mencangkul harus berhenti. Bukan karena hujan yang mendera bumi, namun cangkulnya terantuk sesuatu yang keras. Sejenak ia memeriksa cangkulnya, dan memastikan tak terjadi apa-apa.

Eko memeriksa benda keras yang mengenai cangkulnya. Dipungut, diamati dan tangannya mengusap benda itu membersihkan tanah yang masih menempel. Olala, ternyata itu adalah sebuah bokor logam yang sudah karatan.

Bokor karatan itu berada di bawah sepaian pecahan keramik. Mungkin piring atau mangkuk keramik itu hancur bersepai terkena cangkulnya. Entahlah.

"Saya mencoba melihat isi bokor itu. Warnanya sudah agak hijau seperti tembaga yang lama," kata Eko, Sabtu (23/12/2017).

Eko lalu bercerita bahwa ia memang sengaja mencangkul halamannya. Tak luas untuk ukuran kampung seperti Dusun Slamet, Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal. Hanya sekitar 4 x 4 meter saja. Tanah mulai di bawah pohon mangga itu hendak digemburkan dan diperindah dengan tanaman hias.Eko Warno ditemani arkeolog yang bertandang di rumahnya, mencoba menggali tempat berbeda untuk mencari artefak lain. (foto: liputan6.com/heri cs/edhie prayitno ige)Saat melihat isi bokor, Eko tertegun. Ada tumpukan mangkok keramik dengan diameter 12 cm lima buah dan yang ukurannya lebih kecil tiga buah. Untuk mangkok yang besar ada satu yang pecah, sedangkan mangkok-mangkok kecil ada penutupnya. Ada satu tutup mangkok yang sudah pecah. Ragam hias itu perpaduan warna biru dan putih.

"Hiasannya seperti ini. Naga, bunga, dan sulur-suluran," kata Eko.

 

Peninggalan Dinasti Ming

Peninggalan Dinasti Ming
Eko Warno beserta istri dan tetangganya menunjukkan lokasi ditemukannya mangkok keramik. (foto: Liputan6.com/heri cs/edhie prayitno ige)

Kejadian pada Jumat Wage (15/12/2017) itu berlangsung sore hari. Pada hari itu juga Eko langsung mengangkat bokor yang mencederai cangkulnya. Ia masih kaget saat mendapati pecahan keramik di bawah bokor.

Diduga sebuah mangkuk besar. Ada juga dua piring logam yang sudah berkarat warna kehijauan, sebuah wadah logam yang sudah keropos dan berkarat.

"Nah, paling bawah ada uangnya. Jumlahnya ratusan. Juga dari logam dan bolong di bagian tengah, namun diikat dengan tali," kata Eko.

Rumah yang ditinggali sekarang sebenarnya rumah warisan. Lahan itu pernah juga dijadikan kebun tebu karena disewakan kepada pabrik gula.

“Saat itu, ketinggian tanah lebih tinggi setengah meter dibanding sekarang,” kata Eko.

Eko Warno dan Sri Sugiyarti, sang istri heran. Apalagi tempat itu sebenarnya sudah ratusan atau mungkin ribuan kali dicangkul untuk menanam berbagai tanaman.

Singkong, kacang tanah, cabai, hanyalah contoh tanaman yang sudah ditanamnya. Usai ditanami tebu, lahan itu juga diolah untuk produksi batu bata. Di tempat seperti itu Eko menemukan mangkok keramik langka.

Kabar temuan bokor dan keramik di bawah pohon mangga itu segera menyebar. Kabar itu juga akhirnya sampai ke peneliti arkeologi yang langsung mendatangi rumahnya.

Arkeolog Tri Subekso dan Eko Warno meneliti mangkok keramik yang ditemukan. (foto : Liputan6.com/heri cs/edhie prayitno ige)Tri Subekso yang tengah meneliti peradaban di sekitar Gunung Ungaran, dan seorang arkeolog alumni Universitas Udayana Bali, Gentry Amalo langsung memeriksa temuan itu.

Menurut Tri Subekso benda-benda tersebut diperkirakan beredar masa pemerintahan Dinasti Ming di Tiongkok sekitar abad 15-16. Perkiraan ini didapat dari corak hiasan tulisan semacam stempel di bawah mangkok.

"Benda ini bisa jadi memiliki nilai sejarah yang tinggi. Butuh penelitian lebih lanjut. Semoga BPCB segera menerjunkan tim untuk meneliti temuan ini," kata Tri.

Pria yang akrab dipanggil Bekso itu menambahkan, apabila masih ada lokasi sebaran situs-situs klasik tersebut, sangat berkaitan secara kosmologis dengan keberadaan Gunung Ungaran yang dipandang sebagai pusat kosmis sebagai representasi dari Gunung Mahameru.

 

 

Kisah Wanli yang Dramatis

Kisah Wanli Yang Dramatis
Lukisan bergaya oriental menggambarkan kehebatan angkatan laut pasukan Wanli. (foto: Liputan6.com/ist/edhie prayitno ige)

Gentry Amalo juga berpendapat bahwa secara bentuk keramik dan ragam hias berupa naga, bunga dan sulur-suluran yang didominasi warna biru dan putih menunjukkan bahwa barang-barang yang diproduksi pada masa berkuasanya Dinasti Ming di Cina pada Abad 16–17 M. Dinasti Ming sendiri berkuasa selama tiga abad.

"Artefak dengan corak warna dan pola hias seperti ini biasa disebut dengan barang-barang Zhangzho (Swatow)," kata Gentry.

Di bagian dasar bagian luar, beberapa mangkuk ada stempel / cap bertuliskan huruf kanji. Stempel kaligrafi Cina ini berasal dari masa pemerintahan Kaisar Wanli. Ia adalah kaisar ke-13 dari Dinasti Ming.

Pemerintahannya adalah yang terpanjang di antara keenambelas kaisar Ming. Pada masa pemerintahannya Dinasti Ming mengalami penurunan drastis. Dia terlahir dengan nama Zhu Yijun.

Dalam Cheng Qinhua, Tales of the Forbidden City, Bejing: Foreign Languages Press, 1997 ditulis bahwa Zhu Yijun adalah anak yang cerdas sejak kecil. Diceritakan bahwa ia melihat ayahnya memacu kuda dengan sangat kencang.

"Ayah kaisar, engkau adalah penguasa di bumi, hal yang tidak baik akan terjadi bila ayah berkuda sekencang itu!” teriak Zhu Jiyun.

Saat itu ia masih enam tahun. Kaisar Longqing terkesan dengan sikapnya. Kaisar turun dari kudanya dan menggelarinya putra mahkota. Tahun 1572, Longqing wafat dan Zhu Yijun yang baru berumur 9 tahun naik tahta menggantikannya. Pemerintahannya dinamakan Wanli.

Pada sepuluh tahun pertama masa pemerintahannya, dia dibantu oleh ibu suri, ibunya, dan negarawan Zhang Juzheng. Zhang juga sudah menjadi gurunya. Zhang diangkat sebagai kanselir agung.

Sebagai administrator yang kompeten, Zhang melakukan reformasi dalam berbagai bidang seperti mereformasi ekonomi dan pertanian. Hal ini menciptakan stabilitas sosial.

Zhang meninggal pada tahun 1582. Wanli kemudian merasa bebas dari pengawasan Zhang. Para politisi yang tak suka Zhang menghasutnya untuk membatalkan program rancangan Zhang.

Dinasti Ming yang baru saja bangkit kembali mengalami kemunduran. Wanli mulai terjerumus dalam kebejatan moral dan pemborosan harta negara. Di istana belakang dia memiliki ratusan wanita yang siap dipanggil kapan saja, dia juga minum-minum tanpa terkendali dan setelah mabuk bisa membunuh siapa saja yang menyinggungnya.

 

 

Senjakala Sang Kaisar

kaisar ming
Lukisan Kaisar Wanli (foto: Liputan6.com/wikipedia/edhie prayitno ige)

Wanli membangun taman kerajaan baru dan memperluas yang lama. Untuk membangun makamnya yang mewah, dia mengerahkan 30.000 prajurit dan tukang, menguras kas negara dan memakan waktu hingga enam tahun. Pada masa itulah kemarahan rakyat bangkit dan pemberontakan petani mulai terjadi di berbagai tempat. 

Pemerintahannya keropos. Wanli sempat menyaksikan kekalahan tragis pasukan Ming dalam perang Sa'erhu (1619) melawan bangsa Mongol. Juli 1620, Wanli sakit dan memanggil menteri kepercayaannya, Zhang Weixian. Ia berpesan agar mendampingi putra mahkota Zhu Changluo mengurus negara. Dia meninggal bulan berikutnya dalam usia 56 tahun.

Kembali ke soal keramik di bawah pohon mangga. Menurut Gentry dari susunannya, bisa dijelaskan bahwa bagian atas adalah piring lebar dan bokor perunggu. Di bawahnya susunan mangkok dan yang paling bawah adalah uang kepeng dalam keadaan terikat pada seutas tali benang.

"Asumsi saya ini sengaja ditanam dan disusun sedemikian rupa untuk menyembunyikannya dari incaran orang jahat. Tentu ini butuh penelitian yang lebih dalam lagi dari banyak sumber data baik arkeologi maupun sejarah," kata Gentry.

Bagaimana mungkin Dinasti Ming yang sangat besar dan berkuasa itu meninggalkan jejak di bawah pohon mangga, tanah Jawa?

"Itu karena adanya interaksi budaya antara Cina daratan dan masyarakat Jawa pada masa itu," kata Gentry.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya