Liputan6.com, Tapanuli Utara Kemenyan merupakan salah satu dari sekian banyak Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang menjadi komoditas penting bagi masyarakat khususnya di Tapanuli, Sumatera Utara (Sumut).
Sebagai komoditas prioritas, kemenyan juga memiliki tantangan, diantaranya ditinggalkan hingga diganti pisang. Temuan ini menjadi titik awal untuk mulai lebih serius, mengingat tantangan lebih besar yakni krisis pangan, air, dan energi sudah di depan mata.
Hal tersebut terungkap saat Diseminasi Hasil Riset – Penelitian Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Mata Pencaharian Masyarakat di 4 desa di Tapanuli Utara yang digelar Green Justice Indonesia.
Advertisement
Baca Juga
Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) yang melakukan penelitian, Hendri Sitorus mengatakan, penelitian ini dilakukan di Desa Simardangiang, Pangurdotan, Pantis, Kecamatan Pahae Julu, dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara.
Tujuan riset untuk memetakan apa saja HHBK yang sedang diakses oleh masyarakat, yaitu tentang pola pemanfaatannya kemudian nilai ekonominya. Dalam riset itu menemukan kemenyan menjadi prioritas, di mana ada 3 desa yang masyarakatnya cukup bergantung di atas 50 persen ekonominya dari hasil kemenyan, yaitu Simardangiang, Pangordotan dan Pantis. Sementara di Dusun Hopong itu sudah meninggalkan kemenyan karena mereka sudah konversi ke pisang.
Hendri memaparkan hasil riset HHBK di 4 desa di Tapanuli Utara. Dikatakannya, dari aspek produksi, masyarakat sudah memiliki akses terhadap tanah walaupun berstatus hutan. Hal tersebut belum terlalu terjamin karena belum ada perizinan.
"Selama ini masyarakat menganggap bahwa itu wilayah adat mereka. Wilayah kelola mereka sebetulnya ada potensi konflik kepentingan livelyhood masyarakat dengan hutan lindung. Sebetulnya masyarakat boleh untuk mengambil HHBK," kata Hendri, Selasa (11/7/2023).
Aspek produksi lainnya adalah, untuk mendapatkan 1 Kilogram (Kg) mereka harus membersihkan, menderes, membuat lubang keluarnya getah kemenyan, bahwa harus dilakukan dengan memanjat sekitar 10 pohon per hari, hasilnya baru bisa dipanen 6 bulan kemudian.
Ada bulan-bulan tertentu yang tidak stabil produksinya, dan ini menjadi tantangan bagi petaninya. Untuk mendapatkan 1 Kg mereka harus 10 kali manjat berapa meter, dan mereka harus tinggal di hutan beberapa hari.
"Itu menjadi tantangan tersendiri. Kemudian tidak adanya harapan petani terhadap harga. Petani merasa itu belum menguntungkan, tapi tidak ada pilihan juga," Hendri menuturkan.
Dikatakannya, dari segi harga, harapan petani itu lebih tinggi karena sulitnya memanen, sehingga semestinya dihargai lebih mahal. Saat ini harga kemenyan untuk kualitas grade 1 sekitar Rp 300.000 per Kg, sementara yang paling rendah Rp 80.000 per Kg.
"Intinya, ada persoalan tidak transparansinya harga kemenyan. Petani itu tidak tahu harga di nasional berapa dari survei ini, mereka hanya tahu itu dari pengepul lokal. Transparansi harga merupakan faktor penting, karena selama ini petani hanya bermain di level bahan baku mentah," ungkapnya.
Dikonversi Jadi Pisang
Diterangkan Hendri, dalam riset ini pihaknya menemukan di Dusun Hopong petani sudah mengganti kemenyan menjadi pisang. Pilihan tersebut diambil karena faktor ekonomi, rasionalitas, dan analisa risiko, yaitu bisa jatuh saat bekerja.
"Pisang kan lebih jelas harganya. Tapi sama aja itu, kan masih di wilayah hutan juga, cuma itu bukan HHBK, karena sudah dikultivasi, sudah ditanam, artinya monokultur juga," terangnya.
Menurut Hendri, salah satu solusi dari masalah ini adalah membuka market dan koperasi. Kemudian masyarakat diberdayakan menjadi pengumpul, membangun jaringan. Misalnya bersama pendamping dengan melacak berapa kebutuhan kemenyan untuk Gereja Katolik.
"Untuk di petani juga butuh capacity building terkait dengan standar transaksi nasional SNI kemenyan, ssehingga tidak bergantung kepada pengumpul. Ada posisi tawar dengan pengetahuan," ujarnya.
Advertisement
Komoditas Penting
Wakil Bupati Tapanuli Utara, Sarlandi Hutabarat mengatakan, kemenyan merupakan komoditas yang penting bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Persoalan saat ini bagaimana menumbuhkembangkan petani kemenyan.
"Mudah-mudahan pertemuan ini menjadi strategi untuk membantu petani kemenyan. Secara regulasi, ini harusnya nasional, tidak bisa lokal. Harus ada regulasi dari menteri. Pertama untuk melestarikan, menjamin petani kemenyan ini dan market, tapi harganya dimainkan tengkulak. Ini harusnya ada pemasaran yang lebih adil, yang bisa difasilitasi kementerian," sebutnya.
Pemerhati Masyarakat Adat, Abdon Nababan mengatakan, yang harus dipersiapkan itu adalah menghadapi tantangan, karena sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, secara iklim cocok menjadi pertanian. Tapi secara tanah, karena tipis, maka program yang harus dibangun adalah mengembangkan gerakan kompos, karena bahannya ada.
"Jadi pertanian selaras alam itu mestinya menopang ini dengan kelestarian alam, karena kalau tidak dilakukan maka ancamannya adalah nanti air," Abdon menuturkan.
Menurut Abdon Nababan, riset ini tidak boleh hanya berhenti di 4 desa, tetapi ditingkatkan ke lingkup yang lebih luas. Jika sumber air akan semakin langka dan akan menjadi sumber perang di masa depan, dan daerah ini bisa menjadi target, apalagi ada Danau Toba. Ditambah lagi, tidak mungkin terus menerus mengandalkan energi fosil tetapi energi baru terbarukan.
"Daerah ini kaya dengan energi terbarukan, sehingga ini akan menjadi tempat yang diperebutkan. Dengan situasi seperti itu, maka kepastian hak rakyat menjadi sangat penting. Karena hanya hukum yang bisa melindungi," katanya.
Menjadi Sumber Inspirasi
Abdon Nababan juga berpandangan, hasil riset ini masih sempit, namun bisa menjadi sumber inspirasi untuk melihat lebih besar. Dari 4 desa, dinaikkan levelnya menjadi 4 pembelajaran, sebagai knowledge untuk memikirkan bagaimana mengelola ekosistem Batang Toru.
"Secara metodologi sudah oke, tapi itu hanya HHBK yang eksisting, memberikan kontribusi kepada ekonomi. Belum yang potensial. Kalau prospecting itu tadi HHBK-nya lebih dari itu, supaya manfaatnya bisa kelihatan dalam skala mempersiapkan masa-masa krisis pasca 2030. Tantangan kita itu krisis pangan, energi dan air," bebernya.
Abdon menambahkan, ketika iklim semakin parah, kawasan pesisir akan semakin tidak nyaman dihuni, mereka akan mencari tempat yang nyaman di atas. Karena krisis yang terjadi ini menyangkut 3 hal krisis pangan, krisis energi dan krisis air.
"Ketiga sumber daya ini melimpah di Tanah Batak. Kalau kita mempersiapkan diri sejak sekarang, maka kita akan menjadi tempat pusat dari seluruh solusi persoalan global masyarakat. Pilihan ada di tangan kita, mau menjadi korban krisis itu atau menjadi solusi untuk krisis," katanya.
Advertisement
Perkuat Perekonomian Masyarakat
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, pihaknya sudah mendampingi masyarakat Simardangiang, Pantis, Pangurdotan, dan Hopong selama 3 tahun untuk memperkuat perekonomian masyarakat dan sekaligus melindungi hutan.
"Kita juga sudah bikin beberapa pesta adat seperti Parung-Parung tahun lalu bersama Bapak Bupati (Tapanuli Utara). Jadi ini acara kita yang kedua dengan Pemkab Tapanuli Utara. Pertama dulu launching buku dilanjut dengan pesta Parung-Parung, dan kali ini kita maju selangkah untuk melakukan survei atau riset tentang HHBK," katanya.
Disebutkan Dana Tarigan, riset ini untuk memetakan HHBK apa saja yang dikelola dan belum dikelola secara maksimal. Menurutnya, hasil riset ini menjadi pengetahuan yang ditindaklanjuti dengan Pemkab Tapanuli Utara nantinya. Pihaknya berharap dapat terus bermitra dengan dan memperkuat ekonomi masyarakat.
"Sekarang juga kami mempersiapkan bersama kepala desa Simarjangiang dan 3 desa lain mendorong sentra pembibitan kemenyan dan HHBK lainnya," tandasnya.