Liputan6.com, Jakarta The Peanut Butter Falcon menjadi obat rindu bagi Anda yang kangen Shia LaBeouf. Bagi pencinta film di Indonesia, bisa jadi kali terakhir melihat Shia LaBeouf di film Fury bersama Brad Pitt. The Peanut Butter Falcon yang dibiayai 6,2 juta dolar AS (sekitar 86 miliar rupiah) menampilkan konsistensi akting Shia LaBeouf bersama Zack Gottsagen.
The Peanut Butter Falcon menjelma jadi kisah persahabatan yang menyisakan sensasi hangat di benak para penonton. Sederhana, sarat adegan berpetuah, dan tak ceriwis menceramahi audiens.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
The Peanut Butter Falcon memulai kisah lewat tiga bentuk kegagalan dari tiga pribadi berbeda. Zak (Zack Gottsagen) pemuda sindrom Down, ditinggalkan keluarga lalu dirawat negara. Ia ditempatkan di panti jompo di California Utara. Zak sekamar dengan kakek kesepian bernama Carl (Bruce Dern).
Suatu malam, karena gagal menjinakkan sepi, Zak kabur lewat jendela. Perawat Zak, Eleanor (Dakota Johnson) divonis gagal mengawasi pasien. Ia diminta mencari Zak hingga ketemu. Zak yang kabur hanya mengenakan celana dalam bersembunyi di sebuah kapal.
Kapal yang mengapung di dermaga itu lantas dipakai Tyler (Shia LaBeouf) kabur dari kejaran Duncan (John Hawkes) dan Ratboy (Yalewolf). Mereka memburu Tyler gara-gara membakar alat penangkap ikan senilai 12 ribu dolar AS. Dalam pelarian, Tyler bersahabat dengan Zak.
Kepada Tyler, Zak menyatakan keinginan bertemu pegulat profesional sekaligus bintang televisi, Salt Water Redneck (Thomas Haden Church). Tergerak rasa iba dan teringat mendiang saudara kandungnya, Tyler mengantar Zak bertemu idola. Sayang, sang idola kini hidup memprihatinkan.
Duo Zak dan Tyler
Kekuatan The Peanut Butter Falcon terletak pada naskah yang bergerak maju dengan sederhana. Film ini berfokus pada dua tokoh utama, Zak dan Tyler yang kacau.
Ini membuat Zak-Tyler sebagai tokoh utama terasa kokoh. Persahabatan keduanya yang semula dilandasi faktor kebetulan, perlahan terasa masuk akal, saling mengikat, membutuhkan, dan meneguhkan. Tyler ugal-ugalan dan kehilangan arah karena dibayangi kesalahan masa lalu. Zak kesepian dan ditinggalkan keluarga.
Dua figur ini bagai puzzle tidak utuh lalu menemukan kepingan yang hilang dalam diri lawan bicara. Pencarian kepingan hidup yang hilang didapat lewat dialog-dialog sederhana, proses trial and error, dan serangkaian aksi konyol kalau tak mau dibilang tolol.
Jika seseorang gagal menyelamatkan saudaranya. Jika seseorang salah langkah lalu jatuh bangun memperbaiki kesalahan. Jika kelemahan membuat seseorang tak layak disebut pahlawan. Apakah orang ini lantas pantas disebut penjahat? Ataukah ia tetap layak disebut berhati baik?
Advertisement
Kontemplatif
Sebagian dialog The Peanut Butter Falcon bersifat kontemplatif. Disajikan dalam adegan obrolan berkawan api unggun. Sebuah simbol perenungan mendalam untuk menciptakan efek hangat bagi mereka yang beku, lelah berbuat baik dan nyaris ingin jadi benalu. Shia LaBeouf terlihat tanpa beban.
Dasar ganteng, tampil berewok dan kumal pun tetap terlihat memukau. Apalagi saat shirtless, kami hanya bisa mengurut dada. Di sisi lain, Zack menyuguhkan performa meyakinkan.
Zack mencairkan suasana lewat gestur bersila di bibir laut, menembak lalu terpelanting, hingga ekspresi ketakutan. Semua mengalir natural lewat air muka, cara bicara, hingga postur tubuh yang agak bungkuk. Asyik melihat Shia-Zack yang di awal tampak berjarak perlahan cair bak saudara.
Di sisi lain, Dakota Johnson bukan pemanis buatan. Ia punya motivasi jelas dan memotivasi tokoh lain. Kegagalan menjalankan tugas membuat Eleanor belajar memaknai hidup yang karut marut menjadi lebih utuh.Ia bersenyawa dengan Shia lewat kondisi malu-malu kucing hingga menyadari tak mampu menolak takdir.
Film Persahabatan yang Penuh Cinta
Di luar penokohan yang kuat dan teknik bertutur sederhana, The Peanut Butter Falcon patut dipuji berkat keberanian menempatkan penderita sindrom Down di garis depan.
Ia yang semula korban keadaan (bukan korban perundungan) berposes lewat alur klasik from zero to hero. Menariknya, sineas sekaligus penulis naskah Tyler Nilson dan Michael Schwartz menghindari dramatisasi berlebih.
Karakter sindrom Down dibiarkan mekar tanpa terjebak adegan-adegan penguras air mata. Dua sineas ini hendak berkata, “So what gitu, loh kalau tokoh utamanya sindrom Down?”
Penderita sindrom Down juga manusia. Ia bisa merasakan sakitnya dibedakan, direndahkan, dan dilecehkan. Tyler yang bukan sindrom Down tak lantas ditempatkan sebagai penjaga. Ia malah belajar dari penderita sindrom Down. Kesadaran soal siapa pemilik hati baik sebenarnya didapat dari percakapan dengan orang yang dianggap lemah bahkan cacat.
The Peanut Butter Falcon salah satu film persahabatan terbaik tahun ini. Dibingkai dengan sinematografi bergaya dari close-up, panorama, hingga high-angle, membuat kita tak bosan mengikuti perjalanan para tokoh yang hidupnya tandus. Kehidupan tiga tokoh yang jadi poros film ini menyedihkan.
Namun, perjalanan mereka menyiratkan optimistis dan penuh cinta. Anda yang sedang kesepian, patah semangat, atau jatuh cinta tapi belum berbalas, bisa jadi beroleh kesembuhan atau minimal kelegaan lewat film ini.
Pemain: Shia LaBeouf, Dakota Johnson, Zack Gottsagen, Bruce Dern, Thomas Haden Church, John Hawkes, Yelawolf
Produser: Albert Berger, Christopher Lemole, Lije Sarki, David Thies, Ron Yerxa, Tim Zajaros
Sutradara: Tyler Nilson, Michael Schwartz
Penulis: Tyler Nilson, Michael Schwartz
Produksi: Armory Films, Lucky Treehouse
Durasi: 1 jam, 38 menit
(Wayan Diananto)
Advertisement