Asal Usul Cadas Pangeran
Cadas Pangeran adalah nama suatu tempat, kira-kira enam kilometer sebelah barat daya kota Sumedang, yang dilalui jalan raya Bandung-Cirebon. Pemberian nama ini terkait dengan pembangunan Jalan Raya Pos Daendels yang melintasi daerah ini. Karena medan yang berbatu cadas, lima ribuan jiwa pekerja kehilangan nyawanya. Hal ini membuat marah penguasa Kabupaten Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX (1791-1828) yang lebih populer dengan sebutan Pangeran Kornel, dan ia memprotes Daendels atas kesemena-menaan dalam pembangunan jalan ini.
Pertemuan Pangeran Kornel-Daendels di Jalan Cadas Pangeran
Patung Pangeran Kornel berhadapan dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Demikian masyarakat membubuhkan nama pada adegan itu. Bupati Sumedang, Sutardja (1983-1988), menginisiasi pembuatan patung tersebut untuk mengenang keberanian Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX atau Pangeran Kornel (1791–1828) menentang kesewenang-wenangan Daendels, Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811), saat pembangunan jalan raya pos Anyer-Panarukan di kawasan Cadas Pangeran, Sumedang.
Pangeran Kornel, menurut budayawan Raden Moch. Achmad Wiriaatmadja pada Cadas Pangeran, kala itu tidak tega melihat penderitaan rakyat saat pembangunan jalan raya penghubung antara Parakamuncang dan Sumedang. Pengerjaannya sangat sulit dan berbahaya, karena kondisi medan terjal ditambah kontur tanah sangat keras. Banyak pekerja tewas kala bekerja membelah jalan.
Saat Daendels datang melakukan inspeksi di Ciherang, Bupati Kusumadinata IX menyambut. “Tuan Mareskalek (Daendels) mengulurkan tangan hendak berjabat salam, maka Dalem Sumedang (Kusumadinata IX) menyambut dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang hulu keris yang telah diputar di pinggang dari belakang ke muka,” tulis R. Memed Sastrahadiprawira dalam Pangeran Kornel seperti ditulis merahputih.com.
Daendels kemudian bertanya mengapa jabat tangannya disambut tangan kiri. Bupati Kusumadinata IX lantas menceritakan beban kerja rakyat Sumedang dalam membangun jalan di Cadas Pangeran. Sang Mareskalek yang amat berambisi membangun jalan raya pos pun menerima dan menyerahkan pengerjaan kepada pasukan zeni Belanda.
Prof. Djoko Marihandono, sejarawan pengajar Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menelusuri data atau sumber historis terkait peristiwa pertemuan Daendels dan Kusumadinata IX di Ciherang. Penelusurannya meliputi koleksi Arsip Nasional RI dan arsip dari Centre d`accueil et de recherche des archieves nationales (CARAN) di Rue des Ecoles, Paris, Perancis, untuk penggarapan disertasi berjudul “Setralisme Kekuasaan Pemerintah Daendels di Jawa 1808-1811 : Penerapan Instruksi Napoleon Bonaparte”.
Djoko Marihandono melihat di salah satu bundel arsip Priangan, berisi korespondensi pengusaha bumi putera kepada pejabat Belanda, khususnya yang bertugas menjadi pengawas proyek Jalan Raya Pos, pada pertengahan tahun 1808 justru terlihat perbedaan sikap Kusumadinata IX terhadap pembangunan Jalan Raya Pos.
“Bupati Sumedang yang disebut-sebut dalam arsip tidak menyatakan keberatan sama sekali, bahkan menawarkan bantuannya lebih lanjut kepada penguasa kolonial jika masih diperlukan,” tulis Marihandono dalam “Mendekonstruksi Mitos Pembangunan Jalan Raya Cadas Pangeran 1808 : Komparasi Sejarah dan Tradisi Lisan”.
Menurut tradisi administrasi kolonial, lanjut Marihandono, setiap peristiwa, termasuk kedatangan seorang Gubernur Jenderal, pasti akan meninggalkan catatan dan laporan sangat panjang. Mulai laporan keberangkatannya, daerah mana saja kunjungannya, siapa saja tamunya atau orang dikunjungi, pasti akan tercatat lengkap dan tersimpan sebagai arsip. Anehnya, pertemuan Daendels-Kusumadinata IX tak terdokumentasi.
“Peristiwa pertemuan Gubernur Jenderal Daendels dan Pangeran Kusumadinata IX tidak tertulis dalam arsip mana pun,” tegas Marihandono.