Pramoedya Ananta Toer adalah seorang sastrawan asal Indonesia. Pria yang lahir pada tanggal 6 Februari 1925 dianggap sebagai salah satu penulis paling produktif sepanjang sejarah sastra Indonesia.
Lahir dan besar di Blora, Pramoedya menempuh pendidikannya di Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, sebelum menjadi juru ketik untuk surat kabar pada masa penjajahan Jepang.
Selepas menghabiskan masa tahanan di tahun 50an, ia kembali ke Indonesia dan bergabung dengan Lekra, salah satu organisasi kiri pada masa itu. Bergabungnya Pramoedya ke dalam Lekra membuat gaya tulisannya banyak berubah dan mulai rajin mengkritik pemerintahan Soekarno.
Pria yang sudah makan asam garam sebagai tahanan dalam dua periode (Orde Lama dan Orde Baru) ini pernah dilarang menulis, khususnya ketika ia menghabiskan masa penahanan di Pulau Buru. Namun dedikasinya yang tinggi terhadap dunia menulis membuat ia melahirkan tetralogi Pulau Buru yang terdiri dari empat novel bertema sejarah Indonesia.
Selama 81 tahun hidupnya, suami dari Hajah Maemunah Thamrin ini telah menulis tak kurang dari 50 karya, yang 41 di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Ia juga telah meraih berbagai penghargaan prestisius seperti Centenario Pablo Neruda, Chili pada tahun 2004.
Istri yang berpulang
Hajah Maemunah Thamrin, istri novelis ternama Indonesia Pramoedya Ananta Toer, meninggal dunia pada Sabtu (8/1) sekitar pukul 11.45 WIB. Jenazah Maemunah Thamrin saat ini disemayamkan di rumah duka di Jalan Multikarya 11 Nomor 26, Utankayu, Jakarta Timur.
Kabar mengenai wafatnya istri Pramoedya ini diterima Kantor Berita Antara dari putri Pramoedya Ananta Toer, Astuti Ananta Toer; Kabar ini diperoleh melalui layanan pesan singkat (SMS).
Sang suami, Pramoedya Ananta Toer, lebih dahulu meninggalkan dunia fana. Empat tahun silam, tepatnya 30 April 2006, sastrawan mengembuskan napas terakhir di rumahnya di kawasan Utan Kayu, Jaktim. Sastrawan yang dua kali dinominasikan menerima Nobel ini meninggal karena komplikasi diabetes dan jantung [baca: Pramoedya Ananta Toer Meninggal Dunia].(ANS)
Nobel yang Tak Kunjung Datang
Ia adalah Pramoedya Ananta Toer. Usulan tersebut terutama didasarkan pada novel-novel yang dihasilkannya di Pulau Buru, yang dikenal sebagai tetralogi Bumi Manusia: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
4 novel itu berlatar kisah pergerakan nasional dibalut kehadiran sejumlah tokoh seperti Minke dan Annelies Mallema. Semua cerita tersebut didedahkan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya diasingkan di Pulau Buru, 1965-1979.
Indonesianis dari Universitas Cornell, AS, Ben Anderson menulis, "Tidak ada panorama dahsyat seperti ini dalam fiksi-fiksi lain oleh penulis dari Asia Tenggara dalam 50 tahun terakhir."
Setelah bebas, Pramoedya menerbitkannya secara bertahap pada 1980-1988. Kejaksaan Agung segera melarang peredarannya tak lama setelah diterbitkan. Karya-karya itu dituding mengandung pesan Marxisme-Leninisme.
Bersama ribuan orang lain, Pramoedya dikirim ke Pulau Buru dan dipenjarakan selama 14 tahun. Tanpa proses pengadilan.
Penahanan ini adalah buntut Gerakan 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dituding bertanggung jawab. Pimpinan, kader, dan simpatisannya dikejar atau dibunuh. Pramoedya dianggap terlibat dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang berafiliasi ke PKI.
Dalam kasus Pramoedya, aparat militer juga menyita rumahnya, membakar koleksi buku dan sejumlah naskah yang belum diterbitkan.
Ada sejumlah spekulasi mengapa Nobel tak mampir ke Pram. Salah satunya, penerjemahan ke bahasa Inggris yang buruk. Ini membuat kualitas kesusastraannya merosot.