Pernah di Depan Korea Selatan, RI Sekarang Justru Tertinggal

Sejak tahun 1970, Indonesia dan Korea Selatan berlomba-lomba untuk bisa menjadi negara maju.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 20 Mar 2015, 10:18 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2015, 10:18 WIB
Jokowi Pimpin Rapat Paket Kebijakan Ekonomi
Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (16/3/2015). Rapat membahas tentang paket kebijakan ekonomi pemerintah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk nomor empat terbanyak di dunia hingga saat ini masih belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya. Padahal dengan potensi tersebut, seharusnya Indonesia mampu menjadi sebuah negara yang mandiri.

Dalam lima tahun sekali, setiap presiden baru selalu dibebani pekerjaan rumah untuk mensejahterakan masyarakat dengan metode-motode swasembada pangan hingga kemajuan tekhnologi. Namun ternyata, pekerjaan rumah tersebut tak pernah selesai. Bahkan karena tak pernah selesai, Indonesia yang sempat menjadi negara yang lebih maju dari Korea Selatan, kini justru jauh tertinggal.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan, di kisaran tahun 1960, Indonesia pernah lebih maju dibanding dengan Korea Selatan. "Pada 1967, GDP (Gross Domestik Pruduct) Korea Selatan masih‎ US$ 4,7 miliar, dan Indonesia saat itu sudah US$ 5,9 miliar. Berangkatnya sama-sama, bahkan kita lebih maju," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, seperti ditulis Jumat (20/3/2014).

Di tahun tersebut, Indonesia dan Korea Selatan berlomba-lomba untuk bisa menjadi negara maju. Tapi apa yang terjadi? Setelah hampir 50 tahun, Indonesia justru tertinggal jauh dari negeri yang terkenal dengan budaya K-Pop tersebut.

Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih banyak dibandingkan Korea Selatan, dikatakan Jokowi harusnya Indonesia kini menjadi negara yang jauh lebih maju dari Korea Selatan.

Jokowi menjelaskan, kesalahan Indonesia terletak dalam tiga hal. Pertama terdapat pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

"‎Komitmen harus pada pemahaman bahwa korupsi harus diperangi bersama-sama, pemberantasan korupsi memiliki tiga aspek yaitu pencegahan, penindakan dan partsipasi masyarakat," papar Jokowi menerangkan mengenai kesalahan dalam kualitas SDM.

Sedangkan dalam hal SDA, Indonesia dinilai oleh Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut telah melakukan kesalahan terbesar dalam pengelolaannya. Di sekitar tahun 1970 saat terjadi booming minyak, Indonesia gagal membangun fondasi migas yang berkelanjutan. Padahal sumber minyak dan gas di Indonesia cukup besar.



Seharusnya Indonesia mampu membangun kilang-kilang minyak dan meningkatkan kapasitas produksi serta menciptakan kemandirian dalam hal eksplorasi saat sedang dalam periode booming minyak tersebut.

Untuk kesalahan kedua, dikatakan Jokowi, terjadi pada di kisaran tahun 1980 saat dunia sedang booming produk hasil hutan. Saat itu Indonesia tidak dapat menciptakan nilai tambah hasil hutan sehingga saat ini hutan Indonesia justru terus berkurang.

Sementara kesalahan ketiga yaitu terjadi di era tahun 2000.‎ Saat itu Indonesia tengah diuntungkan dengan melonjaknya permintaan dunia akan hasil tambang yang mana menjadi SDA andalan Indonesia.

Namun begitu, Indonesia hanya bisa memasok hasil tambang dalam bentuk mentah. Lagi-lagi, Indonesia dinilai lambat dalam menciptakan nilai tambah hasil tambahnya.

"Yang menyedihkan justu hasil tambang kita, coba lihat batu bara kita ekspor besar-besaran yang justru mendukung industrialisasi negara lain, mereka memproduksi, yang lebih memprihatinkan mereka ekspor ke Indonesia, dengan suka kita membeli, kekeliruan ini harus dihentikan," pungkas Jokowi. (Yas/Gdn)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya