Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah untuk melonggarkan ekspor mineral (konsentrat) dinilai realistis. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 beserta turunannya yaitu, Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 dan 6.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mengatakan, perpanjangan kelonggaran ekspor mineral sebagai keputusan yang realistis di tengah masih carut-marutnya program hilirisasi.
"Kebijakan tersebut merupakan keputusan paling realistis yang memungkinkan diambil pemerintah," kata Hikmahanto, di Jakarta, Kamis (19/1/2017).
Menurut dia, hal yang tidak kalah penting, dalam aturan tersebut diatur ketentuan tegas terhadap perusahaan tambang yang tidak melaksanakan hilirisasi. "Saya kira itu yang terbaik. Meskipun setiap keputusan tentu tidak akan bisa memuaskan seluruh pihak," ujar dia.
Dia menambahkan, Peraturan Pemerintah nomor 1 Tahun 2017 sudah berkeadilan, tidak berpihak kepada perusahaan tambang besar dan kecil.
Sebab, pemerintah sudah mengakomodasi seluruhnya seperti bauksit dan nikel yang tidak terserap di dalam negeri mendapatkan kesempatan untuk ekspor, dengan syarat membangun smelter.
Hikmahanto mengungkapkan, pemerintah sebelumnya memang sudah memberikan waktu kepada perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) dalam jangka waktu 5 tahun. Tapi, nyatanya, sampai saat ini belum ada smelter yang terbangun kecuali nikel.
Dengan mempertimbangkan keberlangsungan kegiatan operasi, maka Pemerintah saat ini memutuskan kembali memperpanjang kelonggaran ekspor, keputusan tersebut dinilainya realistis.
“Kegiatan usaha tambang tidak bisa diberhentikan begitu saja. Makanya saya bilang, membuka kembali keran ekspor mineral mentah merupakan keputusan yang realistis,” jelas dia. (Pew/Nrm)