Ekonom Indef: Akses Informasi Keuangan Perlu Aturan Hukum Jelas

Pemerintah telah merilis Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk kepentingan perpajakan.

oleh Agustina Melani diperbarui 10 Jun 2017, 15:00 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2017, 15:00 WIB
Ilustrasi Pajak
Ilustrasi Pajak (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memasuki era keterbukaan informasi keuangan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2018. Pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan aturan hukum jelas dan membenahi administrasi perpajakan untuk mendukung akses keterbukaan informasi keuangan tersebut.

Pemerintah pun telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Ekonom Indef Enny Sri Hartati menuturkan, pihaknya mendukung akses keterbukaan informasi keuangan tersebut. Indonesia mengikuti AEoI mendorong saling bertukar informasi data keuangan secara otomatis dengan negara lain yang ikuti AEoI. Selain itu, informasi keuangan dari lembaga keuangan tersebut, menurut Enny berguna untuk Direktorat Jenderal Pajak sebagai basis data perpajakan.

"Informasi keuangan dari bank dan sektor keuangan lainnya berguna untuk Ditjen Pajak sebagai bench mark karena mereka punya data wajib pajak. Apalagi Indonesia menerapkan sistem self assesment. Wajib pajak bisa melaporkan data tidak benar dan menghindari pajak," jelas dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (10/6/2017).

Akan tetapi, Enny menilai, Indonesia mengeluarkan Perppu untuk komitmen Indonesia berpartisipasi dalam AEoI tersebut hanya menyorot soal kondisi domestik ketimbang pertukaran data informasi keuangan dengan lain.

"Dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2017 di poin-poinnya hanya mengenai domestik saja. Misalkan mewajibkan bank memberikan informasi kepada Ditjen Pajak. Padahal AEOI itu juga mengetahui keberadaan informasi keuangan WNI di negara lain dan sebaliknya negara lain mendapatkan hal sama," tutur dia.

Selain itu, Enny menuturkan, Indonesia juga masih lemah dalam sistem kependudukan. Sisi lain Ditjen Pajak memanfaatkan keterbukaan informasi keuangan tersebut untuk basis pajaknya.

"Kita ini buruk dalam kependudukan. Saat ini jumlah saldo yang bisa diintip ditjen pajak minimal Rp 1 miliar. Informasi (keterbukaan keuangan) itu berguna bagi Ditjen Pajak bila punya single identity jadi data-data nasabah bisa diukur. Bisa lihat data bagi pemilik rekening Rp 1 miliar itu sudah bayar pajak, apakah piutang pajak. Ini belum optimal," ujar dia.

Oleh karena itu, Enny mengingatkan agar era keterbukaan informasi keuangan tersebut jangan menimbulkan kekhawatiran bagi pemilik dana. Adanya kekhawatiran dapat mendorong potensi aliran dana keluar, menurut Enny, hal itu yang perlu diantisipasi.

"Oleh karena itu aturan hukum mesti jelas dan administrasi perpajakan masih amburadul ini juga perlu dibenahi," kata Enny.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, saat ini era keterbukaan informasi keuangan secara global atau AEoI. Ini mendorong masyarakat untuk membayar pajak dengan benar. Namun memang pelaksanaan keterbukaan informasi keuangan di Indonesia dengan negara lain berbeda. Apalagi dari sumber daya manusia.

"Gap Indonesia dengan negara lain besar. Misalkan penerapan batas minimum saldo yang dilaporkan Rp 1 miliar di Indonesia. Di Singapura sekitar US$ 250 ribu takutnya ada arbitrase regulatory tetapi kini membuka account di luar negeri juga tidak mudah. Selain itu kemampuan sumber daya Ditjen Pajak perbedaan-nya dengan di luar terlalu besar," kata dia.

Akan tetapi, David menuturkan Indonesia memang perlu mendorong keterbukaan informasi perpajakan ini. Apalagi rasio pajak masih kecil. "Selain itu pendapatan bukan pajak diperkirakan masih kecil jadi pajak menjadi tujuan untuk penerimaan negara, dan ini didukung," ujar David.

 

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya