Tingginya Impor Jadi Penyebab Tekanan pada Rupiah

Besarnya impor khususnya barang konsumsi berdampak pula kepada pelemahan rupiah.

oleh Merdeka.com diperbarui 03 Jul 2018, 17:30 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2018, 17:30 WIB
Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Kenaikan impor dari 14,46 miliar dolar AS pada Maret 2018 menjadi 16,09 miliar dolar AS (month-to-month). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyebutkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor menjadi salah satu alasan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Peneliti Indef, Esa Suryaningrum, menyebutkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap impor bisa memperparah depresiasi nilai tukar rupiah. Selain itu, angka impor yang tinggi juga ikut membayangi inflasi.

"Fenomena terkait dengan inflasi adalah ketergantungan atau dominasi impor. Jadi kita ini memang impor baik bahan konsumsi maupun bahan baku sangat besar," kata Esa, Selasa (3/7/2018).

Esa mengungkapkan rasio impor terhadap ekspor di Indonesia cukup besar. Pada 2017 rasio mencapai 91,23 persen dan lebih besar lagi di 2018 ini.

Besarnya impor khususnya barang konsumsi tersebut berdampak pula kepada pelemahan rupiah. "Nah karena rasio impornya terhadap ekspor relatif sangat tinggi karena lebih dari 90 persen, berakibat kepada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS," ujarnya.

Jika hal tersebut dibiarkan akan terasa pada kenaikan harga-harga barang konsumsi, makanan dan minuman, serta Bahan Bakar Minyak (BBM). "Dampaknya, pasti harga-harga melonjak juga kemudian daya beli akan melemah." tutrur dia.

Reporter: Yayu Agustini Rahayu

Sumber: Merdeka.com

Neraca Perdagangan RI Defisit US$ 1,52 Miliar di Mei 2018

Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Ekspor April sebesar 14,47 miliar dolar AS lebih rendah ketimbang Maret 2018 yang mencapai 15,59 miliar dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia Mei 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,52 miliar. Pada bulan tersebut, ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 16,12 miliar, sedangkan impornya mencapai US$ 17,64 miliar.

‎Kepala BPS, Suhariyanto menjelaskan, sebenarnya ekspor pada Mei mengalami pertumbuhan cukup baik, yaitu sebesar 10,9 persen dibandingkan April 2018. Namun nilai impor juga tumbuh cukup besar yaitu 9,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

"Pada Mei kita masih mengalami defisit US$ 1,52 miliar.‎ Pertumbuhan ekspor bagus tapi pertumbuhan impor jauh lebih tinggi, itu yang menyebabkan defisit. Ini dipengaruhi kenaikan harga minyak cukup besar. Kita berharap bulan depan bisa suplus,"‎ ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin (25/6/2018).

Dia menjelaskan, selama April-Mei 2018 pergerakan komoditas di pasar internasional masih mengalami ketidakpastian pasti. Ada komoditas yang mengalami kenaikan namun ada juga yang mengalami penurunan harga.

‎"Yang mengalami kenaikan antara lain batubara nikel, aluminium dan copper‎. Ada beberapa komoditas nonmigas yang mengalami penurunan harga seperti minyak kernel, emas, timah,"

Sebagai contoh, lanjut Suhariyanto, menurut catatan BPS ‎harga minyak mentah mengalami kenaikan dari bulan ke bulan. Jika pada April 2017, sebesar USD 67,43 per barrel, sementara pada Mei naik menjadi USD 72,46 per barrel.

‎"‎Dengan perkembangan harga sepanjang April-Mei berpengaruh pada ekspor-impor Indonesia," tandas dia. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya