Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia Mei 2018 mengalami defisit sebesar US$ 1,52 miliar. Pada bulan tersebut, ekspor Indonesia tercatat sebesar US$ 16,12 miliar, sedangkan impornya mencapai US$ 17,64 miliar.
Kepala BPS, Suhariyanto menjelaskan, sebenarnya ekspor pada Mei mengalami pertumbuhan cukup baik, yaitu sebesar 10,9 persen dibandingkan April 2018. Namun nilai impor juga tumbuh cukup besar yaitu 9,17 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Baca Juga
"Pada Mei kita masih mengalami defisit US$ 1,52 miliar. Pertumbuhan ekspor bagus tapi pertumbuhan impor jauh lebih tinggi, itu yang menyebabkan defisit. Ini dipengaruhi kenaikan harga minyak cukup besar. Kita berharap bulan depan bisa suplus," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin (25/6/2018).
Advertisement
Dia menjelaskan, selama April-Mei 2018 pergerakan komoditas di pasar internasional masih mengalami ketidakpastian pasti. Ada komoditas yang mengalami kenaikan namun ada juga yang mengalami penurunan harga.
"Yang mengalami kenaikan antara lain batubara nikel, aluminium dan copper. Ada beberapa komoditas nonmigas yang mengalami penurunan harga seperti minyak kernel, emas, timah,"
Sebagai contoh, lanjut Suhariyanto, menurut catatan BPS harga minyak mentah mengalami kenaikan dari bulan ke bulan. Jika pada April 2017, sebesar USD 67,43 per barrel, sementara pada Mei naik menjadi USD 72,46 per barrel.
"Dengan perkembangan harga sepanjang April-Mei berpengaruh pada ekspor-impor Indonesia," tandas dia.
Prediksi Sebelumnya
Neraca perdagangan Mei 2018 diprediksi masih mencetak defisit sekitar US$ 1,1 miliar. Penyebabnya karena kinerja impor lebih tinggi dibanding ekspor yang tertekan akibat kebijakan perdagangan negara lain maupun perang dagang.
"(Neraca perdagangan) Mei ini diperkirakan kembali defisit US$ 1,1 miliar," kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Senin (25/6/2018).
Ia mengatakan, proyeksi defisit neraca perdagangan dipicu karena kenaikan laju impor seiring meningkatnya permintaan impor barang konsumsi dan bahan baku menjelang Lebaran. Defisit dari minyak dan gas (migas) pun dinilainya berpotensi naik.
"Sementara dari sisi ekspor, ada koreksi harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan beberapa komoditas, sehingga nilai ekspor secara tahunan diperkirakan hanya naik 6-7 persen," jelasnya.
Lebih jauh kata Bhima, imbas perang dagang memukul ekspor produk unggulan Indonesia, seperti CPO dan karet. Beberapa negara mitra dagang, di antaranya Uni Eropa dan India memperketat atau memproteksi perdagangannya.
"Defisit perdagangan akan kontraktif ke kondisi ekonomi karena menekan pertumbuhan net ekspor. Motor lainnya, konsumsi rumah tangga sedang masa pemulihan, jadi andalannya cuma dari net ekspor dan investasi," ujarnya.
Defisit neraca perdagangan, Bhima melanjutkan, akan berpengaruh terhadap kenaikan permintaan valuta asing (valas), sehingga rupiah bisa kembali melemah.
"Kondisi ini bisa berlanjut ke semester II jika ketidakpastian harga komoditas berlanjut, dan perang dagang memburuk," ucapnya.
Bhima memproyeksikan defisit neraca perdagangan masih akan berlanjut hingga Juni. Pendorongnya karena naiknya permintaan impor saat Ramadan dan Lebaran.
"Sedangkan kinerja ekspornya rendah karena libur panjang Lebaran. Sehingga produksi industri turun," tandas Bhima.
*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di Liputan6.com.
Advertisement