Rakyat Butuh Keberpihakan Pemerintah, Bukan Omnibus Law

Omnibus Law UU Cipta Kerja bukan senjata yang tepat untuk dikokang saat ini.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 06 Okt 2020, 11:40 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2020, 11:40 WIB
Demo Tolak Omnibus Law di Gerbang Pemuda
Massa yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) melakukan unjuk rasa di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Dalam aksinya mereka menolak rencana pengesahan RUU Cipta Kerja atau omnibus law. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah ingin mendorong investasi melalui Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Langkah ini menjadi salah satu akselerator pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19. Namun dalam prosesnya, UU ini menuai banyak kritik terutama dari buruh. Dimana ada sejumlah pasal yang dinilai merugikan buruh.

Executive Director at Indonesia Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menegaskan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja ini bukanlah senjata yang tepat untuk dikokang saat ini.

“UU ini tidak saja akan membuat masa depan kehidupan ekonomi para pekerja menjadi kurang pasti. Tapi juga akan melumpuhkan daya tawar para pekerja yang akan berimbas pada melemahnya salah satu struktur politik ketenagakerjaan nasional dalam kebijakan ekonomi Indonesia,” ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa (6/10/2020).

Melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja ini, pemerintah Indonesia sedang mengamputasi salah satu faktor ekonomi nasional yang mengatasnamakan narasi ekonomi yang belum terukur kemanfaatanya.

Lebih lanjut, Ronny menyebutkan UU ini justru akan membawa Indonesia menjadi negara jajahan ekonomi oleh negara besar, seperti China. Dimana sumber daya baik alam maupun manusia akan dikeruk melalui aturan yang minim tanpa jaminan yang jelas.

“Kecuali jaminan untuk aglomerasi kekayaan bagi oligar-oligar yang bersembunyi di balik naifnya pemberlakuan UU Cipta Kerja ini,” kata Ronny.

“Saya cukup yakin. Semua pihak di DPR dan pemerintah yang sangat menginginkan diberlakukan Omnibus Law, memahami risiko-risiko tersebut, tapi memilih untuk bergeming dan justru mendukungnya,” sambung dia.

Menyadari pendapatan Indonesia sebagian besar berasal dari konsumsi rumah tangga, Ronny menilai Pemerintah mestinya lebih fokus untuk memperbaiki sektor ini. Baik dari sisi permintaan maupun SDMnya. Dan bukan malah menerbitkan UU Omnibus Law.

“Bukan Omnibus Law yang dibutuhkan saat ini. Tapi justru keberpihakan pemerintah, terutama keberpihakan alokasi fiskal yang langsung mengarah pada penguatan permintaan dalam negeri dan penyediaan/penyiapan tenaga yang berkualitas,” kata Ronny.

Ia menjelaskan, penguatan sisi permintaan akan menumbuhkan optimisme para investor untuk masuk ke Indonesia karena ekonomi nasional masih diproyeksi berprospek untuk tumbuh. Sementara ketersediaan SDM yang handal akan mengurangi kesempatan para investor untuk menggunakan tenaga kerja asing, yang berarti pengutamaan atas tenaga kerja dalam negeri.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Buruh Tetap Gelar Mogok Kerja Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja

Ribuan Buruh Geruduk Gedung DPR Tolak Omnibus Law
Ribuan buruh melakukan aksi di depan Gedung DPR RI, Jakrta, Selasa (25/8/2020). Aksi tersebut menolak draft omnibus law RUU Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah kepada DPR. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tetap akan menggelar mogok kerja nasional pada 6-8 Oktober 2020. Di mana 32 serikat buruh dan beberapa federasi serikat buruh lainnya siap bergabung dalam unjuk rasa mogok kerja nasional ini. Mogok kerja ini untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan, mogok kerja nasional ini dilakukan sesuai dengan UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan UU No 21 Tahun 2000 khususnya Pasal 4. Dalam aturan ini disebut bahwa fungsi serikat pekerja salah satunya adalah merencanakan dan melaksanakan pemogokan.

 

“Selain itu, dasar hukum mogok nasional yang akan kami lakukan adalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik,” kata Said dalam keterangannya, Selasa (6/10/2020).

Mogok nasional ini akan diikuti 2 juta buruh dari rencana sebelumnya adalah 5 juta buruh. Buruh yang akan mogok kerja nasional ini meliputi sektor industi seperti kimia, energi, pertambangan, tekstil, garmen, sepatu, otomotif dan komponen.

Selain itu juga sektor elektronik dan komponen, industri besi dan baja, farmasi dan kesehatan, percetakan dan penerbitan, industri pariwisata, industri semen, telekomunikasi, pekerja transportasi, pekerja pelabuhan, logistik, perbankan, dan lain-lain.

Adapun sebaran wilayah 2 juta buruh yang akan ikut mogok nasional antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Tengerang Raya, Serang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung Raya, Semarang, Kendal, Jepara, Yogjakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan. Berikutnya adalah Aceh, Padang, Solok, Medan, Deli Serdang, Sedang Bedagai, Batam, Bintan, Karimun, Muko-Muko, Bengkulu, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, dan Lampung Selatan.

Selain itu, mogok nasional juga akan dilakukan di Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Mataram, Lombok, Ambon, Makasar, Gorontalo, Manadao, Bitung, Kendari, Morowali, Papua, dan Papua Barat.

“Jadi provinsi-provinsi yang akan melakukan mogok nasional adalah Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jogjakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Riau, Lampung, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat,” tegasnya.

Dalam aksi mogok nasional, buruh akan menyuarakan tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, antara lain tetap ada UMK tanpa syarat dan UMSK jangan hilang, nilai pesangon tidak berkurang, tidak boleh ada PKWT atau karyawan kontrak seumur hidup, tidak boleh ada outsourcing seumur hidup, waktu kerja tidak boleh eksploitatif, cuti dan hak upah atas cuti tidak boleh hilang, karyawan kontrak dan outsourcing harus mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.

“Sementara itu, terkait dengan PHK, sanski pidana kepada pengusaha, dan TKA harus tetap sesuai dengan isi UU No 13 Tahun 2003,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya