Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah kembali menunda penerapan pajak karbon. Rencana awal, pajak karbon akan diterapkan pada 1 Juli 2022. Ini merupakan penundaan kedua kalinya di tahun ini setelah sebelumnya juga pernah ditunda penerapannya pada April 2022.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, alasan penundaan penerapan pajak karbon karena lonjakan harga komoditas energi dan pangan dalam beberapa waktu ini. Kenaikan harga ini menghambat laju pertumbuhan ekonomi global.
"Saat ini, fokus utama pemerintah adalah menjaga perekonomian nasional dari rambatan risiko global yang salah satunya adalah peningkatan harga komoditas energi dan pangan global seiring terjadinya perang di Ukraina yang menyebabkan peningkatan inflasi domestik," ujar Febrio dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (24/6/2022).
Advertisement
Meski demikian, Pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batu bara dengan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada tahun 2022 sesuai amanat UU HPP. Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon.
Selain itu, Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan Pajak Karbon pada tahun 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) fen9 memensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal).
"Dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya," jelas Febrio.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Stabilisasi Harga Energi
Lebih lanjut, Febrio memastikan pemerintah akan memprioritaskan fungsi APBN untuk memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan subsidi dan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga.
APBN sebagai peredam guncangan (shock absorber) menjadi instrumen sentral dalam menjaga dan melindungi perekonomian dan rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global.
Kemudian, Pemerintah terus menguatkan upaya penanggulangan perubahan iklim dalam rangka melaksanakan komitmen jangka pendek, menengah, dan panjang.
Sebagaimana dimaklumi, dalam jangka menengah, Pemerintah telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka komitmen yang telah ditetapkan (Nationally Determined Contributions-NDC) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Advertisement
Target Mitigasi Perubahan Iklim
Dalam jangka panjang, di tahun 2021, Pemerintah telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (Long-Term Strategy For Low Carbon Climate Resilience/LTS-LCCR) di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.
"Pemerintah memiliki target mitigasi perubahan iklim yang jelas dalam jangka pendek hingga panjang. Untuk mencapai berbagai komitmen tersebut, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya yang dibutuhkan termasuk melalui bauran kebijakan (policy mix). Upaya ini juga terus diakselerasi untuk dapat mencapai target penanggulangan perubahan iklim lebih cepat," tutupnya.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com