Liputan6.com, Jakarta Penyedia jasa transportasi melakukan sejumlah cara agar lebih efisien dalam pengeluaran bahan bakar, salah satunya dengan konversi BBG dan menggunakan kendaraan listrik.
Untuk diketahui, Bahan Bakar Gas (BBG) lebih murah dibanding harga BBM atau Bahan Bakar Minyak, di mana 1 Liter Setara Pertalite (LSP) Rp 4.500. Sedangkan Pertalite dengan harga barunya sebesar Rp 10 ribu per liter.
Salah satu penyedia jasa transportasi yang menyiasati pengeluaran bahan bakar agar lebih efisien tersebut adalah PT Blue Bird Tbk.
Advertisement
Direktur Utama PT Blue Bird Tbk Sigit Djokosoetono mengatakan, pertumbuhan sektor transportasi darat tetap positif hingga akhir tahun, di tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu bahkan kenaikan BBM di dalam negeri.
"Melewati berbagai tantangan sepanjang perjalanan Bluebird melayani masyarakat Indonesia selama lebih dari 50tahun, kami optimis pertumbuhan sektor transportasi darat tetap positif hingga akhir tahun," kata Sigit, di Jakarta, Minggu (11/2022).
Untuk meningkatkan efisiensi biaya dan operasional yang berdampak pada layanan konsumen maupun kinerja perusahaan, perseroan selalu berupaya meningkatkan efisiensi operasional.
Bluebird telah melakukan beberapa langkah strategis, antara lain mengkonversi 23 persen dari total armada Bluebird yang beroperasional ke bahan bakar Compressed Natural Gas (CNG), melakukan pengadaan taksi listrik, efisiensi mesin melalui perawatan berkala dan inovasi bengkel.
Bluebird pun telah memenuhi komitmen Perusahaan untuk mewujudkan Visi Berkelanjutan Bluebird 50:30, yaitu mengurangi emisi karbon dan gas buang operasional Perseroan sebesar 50 persen pada tahun 2030.
Pemanfaatan BBG pada taksi Bluebird tersebut sejalan dengan optimalisasi pemanfaatan gas bumi yang sedang didorong pemerintah, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong pemanfataan Bahan Bakar Gas (BBG) pada sektor transportasi untuk membangun kemandirian energi.
Arifin mengatakan, Indonesia memiliki kandungan gas yang cukup besar, kondisi ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi pada sektor transportasi. Dengan begitu dapat menciptakan kemandirian energi, sebab tidak mengandalkan energi yang diimpor seperti Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Gas kita juga cukup besar dan itu kan lebih bagus, mandiri dengan kemampuan yang kita miliki sendiri daripada BBM," kata Arifin, kepada wartawan, Jumat (12/8/2022) lalu.
Tekan Impor BBM, Sektor Transportasi Diminta Pakai BBG
Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mendorong pemanfataan Bahan Bakar Gas (BBG) pada sektor transportasi untuk membangun kemandirian energi.
Arifin mengatakan, Indonesia memiliki kandungan gas yang cukup besar, kondisi ini bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi pada sektor transportasi. Dengan begitu dapat menciptakan kemandirian energi, sebab tidak mengandalkan energi yang diimpor seperti Bahan Bakar Minyak (BBM)
"Gas kita juga cukup besar dan itu kan lebih bagus, mandiri dengan kemampuan yang kita miliki sendiri daripada BBM," kata Arifin, kepada wartawan, Jumat (12/8/2022).
Menurut Arifin, untuk mendorong penggunaan gas bumi pada sektor transportasi perlu sosialiasi ke masyarskat yang lebih masif, seperti manfaat penghematan dan lebih ramah lingkungan.
"Nah itu lah manfaatnya, nah ini kan cuman kan masyarakat kita barang kali belum tahu manfaatnya BBG. Nah ini memang harus disosialisasikan," tuturnya.
Arifin mengakui, program konversi BBM ke BBG masih menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya pemasangan alat pengubah konsumsi bahan bakar dari BBM ke BBG atau konverter kit.
"Tantangannya adalah antara lain oke kita harus mengubah memodifikasi nah salah satu itu," ujar Arifin.
Dia melanjutkan, tantangan selanjutnya adalah menimbulkan minat masyarakat untuk menerapkan program konversi BBM ke Bahan Bakar Gas. Hal ini pun perlu didukung oleh pemerintah daerah seperti yang dilakukan di Semarang.
"Dalam arti kata berjenjang mulai dari unsur pemerintahannya samapi ke masyarakat. Contohnya yang sudah jalan di Semarang BBG ini sebaiknya bisa diikuti oleh daerah-daerah lain," pungkasnya.
Advertisement
Masih Impor BBM, Erick Thohir Sebut Kendaraan Listrik Bisa Jadi Penyeimbang
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyinggung perkara impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang masih dilakukan Indonesia. Sebagai jalan keluar, ia menilai penggunaan kendaraan listrik bisa jadi penyeimbang.
Erick Thohir menyebut Indonesia tengah serius menggarap ekosistem kendaraan listrik. Salah satunya dengan pembangunan pabrik baterai listrik. Sehingga, ia berharap produksi kendaraan listrik pun dilakukan di dalam negeri.
“Ini yang harus kita lakukan, apalagi yang namanya (membangun) EV Battery ini sebagai negara yang impor BBM, kita impor loh, sejuta (ton minyak mentah) lebih,” katanya dalam Kuliah Umum di Universitas Padjadjaran, Sabtu (23/4/2022).
“Tidak mungkin kita terus membiarkan penggunaan BBM ini kita tidak imbangi yang namanya mobil dan motor listrik,” imbuhnya.
Dengan demikian, Erick Thohir menginginkan adanya penggunaan yang seimbang antara kendaraan dengan BBM dan kendaraan listrik yang disebut lebih ramah lingkungan. Apalagi, potensi pasar di Indonesia diakuinya cukup besar.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor minyak mentah pada Maret 2022 sebanyak 959 ribu ton, turun dari februari 2022 sebanyak 1,18 juta ton. Jika dibandingkan pada Maret 2022, impor minyak mentah Indonesia mencapai 1,58 juta ton.
Namun, meski dengan penyeimbangan penggunaan kendaraan listrik, Erick menilai tak serta merta menghentikan impor BBM. Namun, penggunaannya bukan lagi untuk kendaraan yang digunakan secara langsung.
“Toh kalau mobil dan motor listrik ini berhasil mengalahkan mobil motor BBM, apakah kita tidak impor lagi? Impor lagi tetep BBMnya, untuk petrochemical, dimana turunannya sendiri salah satunya obat, bahan baku obat masih 95 persen impor. Jadi ini yang namanya ekosistem bersama,” papar Erick Thohir.
Gasifikasi Batu Bara
Lebih lanjut, Menteri Erick menyebut, hal yang sama juga perlu dilakukan di sektor batu bara. Hal ini masih terkait dengan hilirisasi sumber daya alam. Ia memandang dengan gasifikasi batu bara, bisa menekan impor LPG, yang saat ini diakuinya sebesar Rp 70 triliun.
“Padahal kalau batu bara di gasifikasi itu bisa menjadi DME (Dimetil Eter) salah satu pengganti LPG. Ini keseimbangan yang harus kita lakukan, sebuah perubahan inovasi yang pasti belum tentu semua orang suka tetapi harus kita jalankan,” katanya.
Dengan demikian, hal ini diyakini menjadikan Indonesia tak hanya sebagai negara yang terus bergantung terhadap negara lain. artinya, ada upaya untuk bisa berdaulat di sektor energi dengan melakukan hilirisasi.
“Tidak ada negara di dunia yang 100 persen berdaulat, tapi paling tidak kita harus bisa tekan daripada ketergantungan kita dengan bangsa lain,” katanya.
Advertisement