Bank Indonesia (BI) untuk keempat kalinya dalam setahun kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin (bps) lewat keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia. Langkah ini diambil sebagai salah satu bentuk antisipasi menghadapi kondisi nilai tukar rupiah yang kian melemah.
Tak hanya BI rate, kenaikan dengan tingkat yang sama juga diberlakukan untuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Dengan begitu FASBI saat ini berada di level 5,5%.
Economist of Asia Pasific and Market Analysis of City Research Helmi Arman bahkan menilai Bank Indonesia akan kembali menaikkan suku bunganya pada pertemuan serupa Oktober mendatang.
Dalam ulasannya, dia mengungkapkan BI akan sekali lagi menaikkan BI rate untuk yang terakhir kalinya sepanjang tahun ini. Setelah itu dia memprediksi pemerintah akan mengkaji efektifitas berbagai langkah kebijakan yang telah diambilnya.
Berikut analisa lengkap Helmi terhadap keputusan terbaru Bank Indonesia, Jumat (13/9/2013):
1. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI rate)Â dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) sebesar 25 bsp menjadi masing-masing 7,25% dan 5,5%
Konsesus memprediksi BI akan mempertahankan dua suku bunga utamanya tersebut, sementara Citi memprediksi kenaikan 25 bsp hanya akan berlaku untuk FASBI. Keputusan ini berarti kenaikan suku bunga mencapai 150 bps sepanjang tahun ini. Dalam pernyataan kebijakannya, BI telah menurunkan proyeksi rentang pertumbuhan ekonominya sebesar 0,3% menjadi 5,5%-5,9%.
2. Kenaikkan tersebut memberikan sinyal pengetatan moneter yang lebih kuat dan seharusnya memberikan dampak positif pada pasar
Suku bunga FASBI secara langsung berdampak pada pasar mata uang. Namun peningkatan BI rate yang saat ini sama dengan repo rate dalam koridor kebijakan moneter dalam negeri secara historis biasanya diikuti dengan suku bunga asuransi deposito. Maka kenaikan tersebut dapat memberikan sinyal yang lebih kuat (meski hingga saat ini, suku bunga asuransi belum mengikuti kenaikan BI rate yang mendadak diputuskan pada akhir Agustus lalu).
3. Citi menilai risiko penurunan pertumbuhan dari pengetatan kebijakan moneter tak akan begitu tinggi
Pertumbuhan ekonomi memang tengah melambat, tapi Helmi semakin yakin bahwa perlambatan dan kontraksi impor akibat pelemahan nilai tukar rupiah tak akan separah yang pernah terjadi pada 2008. Inflasi saat ini terus meningkat tapi harga material konstruksi masih dapat lebih rendah dibandingkan pada 2008 di tengah harga komoditas global yang terkendali.
Selain itu, terdapat dua faktor mikro spesifik yang dapat mengurangi dampak pelemahan rupiah untuk industri impor yang tinggi. Pertama, selisih laba antara perusahaan-perusahaan konstruksi besar lebih lebar daripada 2008. Kedua, pengenalan sejumlah produk mobil murah dari produsen Jepang yang dapat meredam pukulan terhadap penjualan di bidang otomatif.
Sementara dalam konteks memulihkan ketidakseimbangan eksternal, Helmi menilai keputusan BI menaikkan sejumlah suku bunganya sebagai salah satu bentuk instrumen pengetatan kebijakan moneter merupakan langkah yang tepat. Terlalu bergantung pada penyesuaian nilai tukar rupiah berpontensi menunda pemulihan pertumbuhan ke depannya. Hal ini dapat memberikan lebih banyak tekanan pada keseimbangan neraca perusahaan.
4. Prediksi peningkatan BI rate dan suku bunga FASBI masing-masing 25 bps pada Oktober mendatang sebelum benar-benar berhenti mengetatkan kebijakan moneter
Para pembuat kebijakan sepertinya sudah menyadari pentingnya memberikan sinyal kebijakan moneter yang lebih ketat melalui kenaikkan sejumlah suku bunga. Citi lebih lanjut memprediksi BI akan kembali menaikkan suku bunganya hingga data perdagangan menunjukkan titik balik.
Sejumlah perdagangan Agustus menunjukkan adanya jumlah defisit perdagangan telah berkurang, meski angkanya masih tinggi dan angka inflasi masih akan bergerak naik. Citi memprediksi angka inflasi perdagangan akan menyentuh lelve 9,2% pada akhir 2013.
Setelah RDG pada Oktober mendatang, Citi menilai BI akan berhenti menaikkan suku bunga dan mengkaji data yang ada serta dampak dari langkah-langkah yang diambil sebelumnya. (Sis/Igw)
Tak hanya BI rate, kenaikan dengan tingkat yang sama juga diberlakukan untuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI). Dengan begitu FASBI saat ini berada di level 5,5%.
Economist of Asia Pasific and Market Analysis of City Research Helmi Arman bahkan menilai Bank Indonesia akan kembali menaikkan suku bunganya pada pertemuan serupa Oktober mendatang.
Dalam ulasannya, dia mengungkapkan BI akan sekali lagi menaikkan BI rate untuk yang terakhir kalinya sepanjang tahun ini. Setelah itu dia memprediksi pemerintah akan mengkaji efektifitas berbagai langkah kebijakan yang telah diambilnya.
Berikut analisa lengkap Helmi terhadap keputusan terbaru Bank Indonesia, Jumat (13/9/2013):
1. Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI rate)Â dan Fasilitas Simpanan Bank Indonesia (FASBI) sebesar 25 bsp menjadi masing-masing 7,25% dan 5,5%
Konsesus memprediksi BI akan mempertahankan dua suku bunga utamanya tersebut, sementara Citi memprediksi kenaikan 25 bsp hanya akan berlaku untuk FASBI. Keputusan ini berarti kenaikan suku bunga mencapai 150 bps sepanjang tahun ini. Dalam pernyataan kebijakannya, BI telah menurunkan proyeksi rentang pertumbuhan ekonominya sebesar 0,3% menjadi 5,5%-5,9%.
2. Kenaikkan tersebut memberikan sinyal pengetatan moneter yang lebih kuat dan seharusnya memberikan dampak positif pada pasar
Suku bunga FASBI secara langsung berdampak pada pasar mata uang. Namun peningkatan BI rate yang saat ini sama dengan repo rate dalam koridor kebijakan moneter dalam negeri secara historis biasanya diikuti dengan suku bunga asuransi deposito. Maka kenaikan tersebut dapat memberikan sinyal yang lebih kuat (meski hingga saat ini, suku bunga asuransi belum mengikuti kenaikan BI rate yang mendadak diputuskan pada akhir Agustus lalu).
3. Citi menilai risiko penurunan pertumbuhan dari pengetatan kebijakan moneter tak akan begitu tinggi
Pertumbuhan ekonomi memang tengah melambat, tapi Helmi semakin yakin bahwa perlambatan dan kontraksi impor akibat pelemahan nilai tukar rupiah tak akan separah yang pernah terjadi pada 2008. Inflasi saat ini terus meningkat tapi harga material konstruksi masih dapat lebih rendah dibandingkan pada 2008 di tengah harga komoditas global yang terkendali.
Selain itu, terdapat dua faktor mikro spesifik yang dapat mengurangi dampak pelemahan rupiah untuk industri impor yang tinggi. Pertama, selisih laba antara perusahaan-perusahaan konstruksi besar lebih lebar daripada 2008. Kedua, pengenalan sejumlah produk mobil murah dari produsen Jepang yang dapat meredam pukulan terhadap penjualan di bidang otomatif.
Sementara dalam konteks memulihkan ketidakseimbangan eksternal, Helmi menilai keputusan BI menaikkan sejumlah suku bunganya sebagai salah satu bentuk instrumen pengetatan kebijakan moneter merupakan langkah yang tepat. Terlalu bergantung pada penyesuaian nilai tukar rupiah berpontensi menunda pemulihan pertumbuhan ke depannya. Hal ini dapat memberikan lebih banyak tekanan pada keseimbangan neraca perusahaan.
4. Prediksi peningkatan BI rate dan suku bunga FASBI masing-masing 25 bps pada Oktober mendatang sebelum benar-benar berhenti mengetatkan kebijakan moneter
Para pembuat kebijakan sepertinya sudah menyadari pentingnya memberikan sinyal kebijakan moneter yang lebih ketat melalui kenaikkan sejumlah suku bunga. Citi lebih lanjut memprediksi BI akan kembali menaikkan suku bunganya hingga data perdagangan menunjukkan titik balik.
Sejumlah perdagangan Agustus menunjukkan adanya jumlah defisit perdagangan telah berkurang, meski angkanya masih tinggi dan angka inflasi masih akan bergerak naik. Citi memprediksi angka inflasi perdagangan akan menyentuh lelve 9,2% pada akhir 2013.
Setelah RDG pada Oktober mendatang, Citi menilai BI akan berhenti menaikkan suku bunga dan mengkaji data yang ada serta dampak dari langkah-langkah yang diambil sebelumnya. (Sis/Igw)